Cerita Korban yang Selamat dari Gempa dan Tsunami Aceh

Dua dekade pasca bencana kemanusian yang melanda Aceh, kenangan tragedi tsunami masih membekas dalam ingatan para korban selamat.

Berikut kisah yang diceritakan oleh Ade Zahara dan Alta Zaini, dua saksi hidup yang tidak hanya mengatasi kehilangan besar, tetapi juga berjuang untuk bangkit dan memulai kembali kehidupan mereka setelah 20 tahun.

Ade Zahara menceritakan di hari itu ketika gempa besar mengguncang rumahnya di Ajun, Pekan Bada, Aceh Besar. Saat itu, dia bersama ibunya sedang mempersiapkan pesta pernikahan keluarga. “Kami sedang berada di dapur ketika gempa pertama terjadi, ksemua lari keluar rumah,” ungkapnya mengenang peristiwa tersebut.

Setelah gempa pertama reda, mereka kembali ke rumah dan menata ulang barang-barang yang berjatuhan, namun, tiba-tiba gempa kedua datang lebih dahsyat. Kali ini, disertai dengan air yang naik ke darat, “Kami melihat orang-orang berlarian ke arah Simpang Ajun Jempit, ada kabar air menuju ke arah (darat) kami” ujarnya. Namun, mereka tidak tahu apa itu air yang dimaksud, mengingat tidak ada hujan atau sejarah banjir bandang di kawasan tersebut.

Dengan kebingungan, Ade dan keluarganya akhirnya ikut berlari menuju tempat yang lebih aman. Rumah tiga lantai miliknya masih utuh, namun lantai bawahnya hancur. “Ada sekitar seratusan yang selamat karena berlindung di rumah, tapi anehnya, yang punya rumah malah lari ke tempat lain” kenangnya dengan pilu.

Ade dan tiga anggota keluarganya selamat, namun tidak demikian dengan sebagian besar keluarga besarnya. “Dari 11 orang di rumah saya, hanya 4 orang yang selamat, termasuk saya, kakak, abang ipar, dan seorang keponakan. Ibu saya meninggal dunia pada hari tsunami itu juga” ingatnya.

Tak hanya keluarga, Ade juga kehilangan sanak kerabat baik dari pihak ayah maupun ibu karena mereka tinggal di Kawasan pesisir, “Sebagian besar keluarga besar tinggal di daerah dekat Pantai, waktu tsunami datang, hanya sedikit yang selamat” lanjutnya.

Setelah tsunami, Ade merasa sangat kehilangan, “Saat lebaran, saya bahkan tidak tahu harus ke mana.” Meskipun begitu, semangatnya untuk bertahan muncul setelah melihat sepupunya yang masih kecil bisa melanjutkan hidup meski kehilangan kedua orang tuanya. “Hidup harus terus berjalan,” katanya.

Kisah serupa juga datang dari Alta Zaini, seorang warga Aceh yang juga selamat dari tsunami yang meluluhlantakan rumah dan membuatnya kehilangan Istri dan anak-anaknya. Malam sebelum kejadian, anak perempuannya, Tasya yang baru berusia 6 tahun, mengalami mimpi yang aneh.

“Tasya bermimpi rumah kita dan rumah-rumah tetangga rata dengan tanah karena terbakar,” cerita Alta. Ia dan keluarganya tidak tahu bahwa mimpi tersebut menjadi sebuah pertanda.

Setelah gempa terjadi, Alta berjalan ke keluar untuk mengecek Meunasah (tempat kumpul saat ada acara desa atau agama) yang dikatakan telah miring seperti yang disebutkan Geuchik (Pemimpin Desa).

“Saat saya menuju menasah, warga mulai berteriak bahwa air laut telah sampai ke rumah mereka. Awalnya saya tidak percaya karena jarak (pantai) nya sekitar 3 kilometer, tapi saat saya balik orang (keluarga) dan rumah sudah tidak ada lagi” cerita Alta dengan sedih.

Setelah air surut, Alta mencari anaknya, Jeffrey, yang akhirnya ditemukan selamat meskipun harus melewati puing-puing rumah dan mayat-mayat yang berserakan. “Jeffrey sempat terlepas dari tangan ibunya. Dalam keadaan pasrah, ia merasa ada papan yang membawanya ke atap rumah hingga seorang warga menariknya ke tempat yang lebih aman” ujar Alta.

Selama tiga hari tiga malam, Alta mencari istri dan anaknya yang hilang. Ia tidur di emperan toko dan bertahan hidup dengan bantuan dari orang lain.

Setelah hari-hari penuh duka, akhirnya Alta menerima kabar bahwa ia harus pergi ke Medan, mengikuti saran keluarganya untuk menghindari wabah penyakit.

Meskipun merasa hancur, Alta tidak menyerah. “Saya sempat ingin mengakhiri hidup, tapi saya sadar bahwa saya masih punya anak” tuturnya.

Dua puluh tahun berlalu, namun kenangan akan tsunami itu masih membekas kuat dalam diri Alta. Ia menceritakan tragedi itu agar bisa melepaskan beban emosionalnya. “Saya sering mengunggah foto anak dan istri saya di media sosial, berharap mereka melihat dan tahu bahwa saya masih hidup,” ungkapnya.

Baik Ade Zahara maupun Alta Zaini, meskipun melalui perjalanan yang sangat berat, keduanya tangguh luar biasa. Ade kembali ke Aceh setelah sempat tinggal di Medan dan Surabaya. Ia menemukan kekuatan untuk bertahan dengan melihat semangat hidup sepupunya yang masih kecil. Di sisi lain, Alta memulai kembali hidupnya setelah bertemu dengan teman lama yang membantunya kembali bekerja.

Ade kini telah pindah dan menetap di negara lain mengikuti suaminya, ia aktif di Diaspora Indonesia di Iran, dan Alta, menjadi Kepala Desa Lampulo, bersama warganya berusaha mengembalikan Lampulo sebagai desa yang maju dan siap menghadapi bencana.

“Saya berterima kasih karena bisa memberikan kontribusi besar bagi desa saya. Lampulo kini menjadi desa wisata terbaik nasional,” ungkap Alta bangga.

Sebagai negara yang rawan bencana, Indonesia, khususnya Aceh, harus terus meningkatkan kesadaran dan kesiapan masyarakat untuk menghadapi potensi bencana alam, baik itu gempa bumi, tsunami, atau bencana lain.

“Sebagai orang Indonesia, kita harus belajar berteman dengan bencana alam, harus waspada, siap, dan memiliki informasi yang cukup untuk menghadapi situasi seperti ini” tutup Ade.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads