Muzakkarah: Wujudkan Keberlanjutan Aceh melalui Qanun Tata Ruang Berbasis Syariat

Elemen masyarakat, dari kalangan sipil, ulama, hingga akademisi, mendesak Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk mengeluarkan kebijakan tata ruang berlandaskan pandangan islam.

Hal tersebut menindaklanjuti hasil Muzakarah Kebijakan Ruang Aceh Berkeadilan Ekologis yang dilaksanakan di Grand Permata Hati Hotel pada Selasa (24/12) oleh WALHI Aceh.

Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin menyebutkan, “Kita mendorong upaya revisi Qanun RTRW Aceh dengan menerapkan prinsip syariah dalam kebijakan tata ruang di Aceh.” ujarnya.

Mencerminkan keseimbangan hubungan dengan semua lini, manusia dengan sang Khalik, antar manusia, serta hubungan manusia dengan lingkungan.

Ia menambahkan, “Ada tujuh rekomendasi yang dihasilkan, untuk dipertimbangkan dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh dalam revisi Rancangan Qanun Tata Ruang Wilayah Aceh.”

Pertama, Mendesak Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk segera mengesahkan Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh pada tahun 2025.

Kedua, Masyarakat sipil mendorong Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk menerapkan prinsip dasar dalam kebijakan ruang Aceh berdasarkan perspektif Islam. Salah satunya adalah prinsip Tauhid, yang menekankan bahwa ruang adalah ciptaan Allah yang harus dihormati dan dikelola dengan penuh tanggung jawab.

Selain itu, prinsip Khalifah mengingatkan bahwa manusia memiliki tugas untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan membangun wilayah demi kesejahteraan umat. Juga prinsip ‘Adalah (Keadilan), yakni keadilan dalam distribusi lahan, pemanfaatan ruang, dan alokasi sumber daya.

Maslahah, yaitu prioritas pada kemanfaatan umum tanpa merugikan pihak tertentu atau merusak lingkungan. Tawazun (Keseimbangan), yaitu menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Point ketiga, Mendesak Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk memastikan Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh berlandaskan syariat Islam serta mampu menciptakan pembangunan yang harmonis, mencakup hubungan manusia dengan Allah, hubungan antar sesama, dan hubungan manusia dengan lingkungan.

Keempat, Mendesak Gubernur Aceh untuk transparan dalam menyediakan data dan informasi mengenai pengelolaan sumber daya alam, termasuk di sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutanan.

Point selanjutnya, Dalam proses penyusunan dan pembahasan Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh serta peraturan lainnya, perlu memberikan ruang yang luas bagi partisipasi bermakna dari berbagai pihak, termasuk ulama, cendekiawan muslim, masyarakat adat, kelompok perempuan, kelompok rentan, dan pihak-pihak lain yang memiliki keahlian atau pengetahuan terkait rancangan tersebut.

Keenam, Mendesak Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh untuk mengesahkan dan menetapkan kawasan perlindungan satwa, wilayah kelola masyarakat, hutan adat, koridor satwa, serta Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai bagian dari Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh.

Dan terakhir, Sebelum pengesahan Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh harus mendapatkan rekomendasi dari Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh sesuai dengan ketentuan Qanun Aceh Tentang Tata Cara Penyampaian pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.

Langkah ini bertujuan agar pembangunan di Aceh tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek, tetapi juga melindungi generasi mendatang.

Edukasi tentang pentingnya tata ruang berkelanjutan kepada masyarakat dan pemangku kepentingan diakui sebagai bagian yang krusial dalam mendukung visi ini.

“Tuntutan tersebut disampaikan sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata ruang Aceh yang adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan visi pembangunan berbasis perspektif Islam” sebut Shalihin.(Nurul Ali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads