“SEKITAR tahun 2000 lalu, beliau dikenal dengan nama kecil Nyak Sop di lingkungan keluarga besar dayah”. Begitu cerita Tgk Buqaini Tanjongan kepada saya ketika memperkenalkan sosok Muhammad Yusuf bin Abdul Wahab — yang sekarang dikenal dengan Tu Sop — saat itu.
Tgk Bulqaini punya rencana untuk “menjodohkan” Nyak Sop sebagai calon wakil bupati Bireuen untuk mendampingi saya sebagai calon bupati periode pertama tahun 2002-2007 lalu.
Di kalangan aktivis Aceh, Tgk Bulqaini Tanjongan, selain ketua umum RTA (Rabitah Taliban Aceh) juga salah seorang deklator NGO SIRA. Dan, ia termasuk salah seorang pedukung saya maju bupati Bireuen melalui pemilihan DPRK Bireuen waktu itu.
Nyak Sop alias Tgk Muhammad Yusuf (Tu Sop) baru pulang pendidikan dari Makkah waktu itu. Usianya jauh lebih muda dari saya, baru sekitar 30-an tahun. Sementara saya 40 tahun. “Orangnya mudah bergaul, menguasai manajemen umum dipadukan pendidikan agama dan bisa mengoperasikan komputer,” ucap Tgk Bulqaini seperti mempromosikan Tu Sop.
Menyebut komputer di kalangan pasantren Aceh, waktu itu, masih pro-kontra. Masih ada penilaian “budaya baru” masuk dayah. Namun semenjak pulang dari Timor Tengah, kata Tgk Bulqaini, Nyak Sop punya keinginan agar pendidikan dayah juga diberi sentuhan pendidikan umum dan kejuruan.
Begitulah cerita Tgk Bulqaini dalam beberapa kali diskusi membahas tentang sosok Nyak Sop, baik dengan saya maupun dengan tim pemenangan/tim sukses (timses) calon bupati. Meski sudah banyak bercerita, tapi Tgk Bulqaini belum memperkenalkan Nyak Sop secara langsung bertatap muka dengan saya.
Sementara itu, timses “ring 1” terus mencari-cari tokoh alternatif yang dinilai cocok sebagai wakil bupati Bireuen kala itu.
Pencarian akhirnya menemukan nama Amiruddin Idris. Sementara nama Nyak Sop tinggal dalam catatan memori pribadi saya sebagai tokoh muda potensial kalangan dayah di Kabupaten Bireuen.
Begitulah. Waktu sangat cepat berlalu.
Bertemu Tu Sop
Tensi politik era pasca DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh, bagaikan api dalam sekam. Sekitar tahun 1998 sampai 2002 merupakan awal-awal priode pertama tumbangnya Orde Baru dan munculnya Era Reformasi.
Di Aceh, momentum itu ditandainya dengan pencabutan status darurat militer (DOM) oleh Panglima TNI Jendral Wiranto. Saya membaca pernyataan pecabutan DOM Aceh, saat berada di Pelabuhan Krueng Gekuh, Lhokseumawe, Aceh Utara. Suasana mencekam masih dirasakan masyarakat Aceh waktu itu.
Di celah-celah itu masih ada bayangan ketakutan dari kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI. Pemerintah RI tetap berusahan agar roda pemerintahan tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Setelah berpisah dari kabupaten induk Aceh Utara, pemerintahan Bireuen dinakhodai oleh Pejabat (PJ) Bupati Bireuen Hamdani Raden. Sosok ini yang berjasa mengantarkan kabupaten itu menyelenggarakan pilkada melalui pemilihan DPRK.
Maka, untuk periode pertama, pemilihan di DPRK mengantarkan Mustafa A Glanggang dan Amiruddin Idris sebagai bupati dan wakil bupati Bireuen. Pada acara pelantikan yang berlangsung di halaman pendopo bupati itulah Nyak Sop menyampaikan ucapan selamat kepada saya.
Sambil menatap wajahnya, saya menyampaikan sesuatu kepadanya. “Insya Allah kita akan saling bersilaturrahmi, ya.”
Sekitar pertengahan tahun 2003, setahun lebih menjabat di Bireuen, selepas shalat Isya datang rombongan tokoh muda, pengusaha, dan masyarakat Jeunieb ke pendopo tempat istirahat bupati. Di atarannya Tgk Muhammad Yusuf, Haji Adi Jeunieb, dan beberapa nama lain yang tidak saya ingat lagi.
Pertemuan awal itu berlangsung sekita 2 jam. Kami saling uji gagasan. Tu Sop sangat piawai dalam mengemas program pemberdayaan masyakat terkait pendidikan dan pembinaa masyarakat kecil pedesaan.
Setelah itu, lama kami tidak bertemu lagi. Sebab, sejak akhir tahun 2003 Aceh diberlakukan Darurat Militer (DM). Bireuen termasuk salah satu derah “hitam” dalam catatan Panglima DM Aceh, selain Aceh Utara dan Pidie.
Begitu juga, di celah-celah pelaksanaan DM, saya melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh ulama, seperti Abu Tumin Blang Bladeh. Saya ajak mereka berdialog dengan Panglima dan Darem Aceh Utara. Di kalangan ulama, terlibatlah tokoh muda bernama Tgk Muhammad Yusuf (Tu Sop).
Praktis di penghujung masa DM, saya semakin aktif melakukan pertemuan dengan mendatangi beberapa dayah, termasuk Al Aziziah Jeunieb pimpinan Tu Sop. Dalam setiap kujungan ke sana, mereka tetap menyediakan tempat dan waktu untuk saya melakukan dialog dengan santri senior di dayah itu.
Banyak sekali program yang dipaparkan kepada saya kala itu. Diantaranya, Tu Sop berencana mendirikan usaha percetakan, studio penyiaran radio, dan TV pasantren. Ia juga menyinggung kemungkinan membuka perkebunan dengan merintis koperasi dan membentuk yayasan dayah.
Begitu banyak program yang dirancang untuk masa depan Al Aziziah. Saya sempat menyarankan untuk mengadopsi program dan gaya AA Gim dengan Darut Tauhiit-nya di Jawa Barat. Pesantren modern ini mendokumentasikan setiap ceramah dan pengajian umum dalam bentuk video lalu dipasarkan serta dipublikasikan kepada umum.
Saya juga sarankan agar mendidik para santri senior menjadi penulis. Sehingga, isi pidato dan gagasan Tu sop dapat dikumpulkan menjadi buku yang disusun dalam bentuk bunga rampai, menjadi bahan bacaan santri dan masyarakat umum. [bersambung]
Catatan : Mustafa A Glanggang