Media massa memiliki peran sentral dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat karena berfungsi sebagai penghubung penting antara audiens dan informasi.
Media massa pastilah menyediakan informasi yang akurat, mendalam, dan berimbang untuk membantu masyarakat memahami isu-isu yang terjadi pada masa sekarang dan menjadi permasalahan yang masih hangat dibicarakan.
Media massa memiliki kekuatan besar untuk memberikan pemahaman dan mempengaruhi opini publik, tetapi juga dapat menjadi alat yang mematikan apabila tidak bijak dan berkepentingan seperti memanfaatkan dan kekuatan yang dimiliki untuk menyampaikan berita yang tidak akurat atau dengan sensasionalisme yang dapat merusak gambaran tentang suatu masalah.
Ada tanggung jawab dan etika yang diperlukan dalam penyusunan berita untuk memastikan bahwa informasi tidak hanya akurat tetapi juga mempromosikan keseimbangan dan pemahaman yang sehat di kalangan masyarakat.
Seperti ketika menuliskan informasi tentang penyakit seperti kusta yang masih menjadi isu sensitif karena masih dianggap menakutkan dan melekat stigma negatif.
Meskipun penyakit kusta menjadi isu masalah kesehatan global, kusta distigmatisasi dan tidak dipahami oleh masyarakat sehingga media massa berperan penting dalam mengedukasi masyarakat tentang penyakit ini karena tidak hanya menyebarkan informasi yang benar tetapi juga menghapus stigma salah yang telah lama ada.
Aini, pendidik di salah satu sekolah swasta di Aceh Besar berbagi cerita tentang pengalamannya yang beberapa kali kerap mendapati pemberitaan yang terkesan menyudutkan korban atau pasien suatu penyakit.
“Nggak cuma di media sosial, kalo di medsos kita udah paham lah, yang bisa memfilter informasi itu kan diri kita sendiri. Tapi, ini juga kita jumpai dan baca di media berita lhoh!, gimana coba perasaan yang ngalamin kalo baca tulisan yang menyudutkan tentang diri dia? Mungkin ini nggak hanya tentang kusta tapi dalam konteks pada umumnya”
Ia menyayangkan masih ada berita yang tidak berimbang dengan narasi masih terkesan menyudutkan dan mengentengkan sudut pandang seorang korban atau pasien suatu penyakit.
“kadang suka kesel kalo baca berita kayak gitu! Jadi mikir, ini yang nulis, apa ngga ada perasaan (empati) waktu nulisnya, ya? Apa lagi kalo tentang perempuan yang kebetulan salah (tersangka), udah lah tersudutkan terus” imbuhnya.
Dalam situasi ini, pemberitaan kusta yang sensasional dapat menimbulkan ketakutan dan kecemasan yang tidak perlu. Agar tidak menggiring opini publik secara tidak seimbang, harus mempertimbangkan dengan cermat judul dan bahasa yang digunakan.
Untuk menghindari pembuatan cerita yang berlebihan, fokus pada fakta dan konteks yang jelas dapat menghadirkan informasi yang edukatif dan membantu memudarkan stigma tentang penyakit kusta itu sendiri.
“Meski kita juga memuat terkait penyakit ini, perlu juga kita memberi tempat bagi pasien dan keluarga pasien kusta. Apa yg mereka rasakan, perspektif itulah yg kita kedepankan sehingga stigma-stigma itu hilang, yang ada empati dan kemanusiannya” kata Saniah, jurnalis perempuan di Banda Aceh.
Ia mencontohkan jurnalisme empati sebagai salah satu bagian dari jurnalistik dan jenis tulisan yang dapat menarik simpati pembaca serta mengedukasi dengan menyentuh sisi kemanusiaan yang ditulis dengan penuh empati.
“Bagusnya menulis dengan sisi human interest (kemanusiaan), hadirkan dalam feature. Walaupun itu penyakit menular dan tidak dapat diulas dengan mendalam, tapi tidak ada kesan tulisan itu menakutkan ketika dibaca masyarakat karena kita tampilkan sisi kemanusiaan” tambah Saniah.
Untuk memastikan bahwa informasi yang diberikan dapat dipercaya oleh masyarakat, sumber informasi yang dapat dipercaya, seperti ahli medis dan lembaga kesehatan resmi, harus diprioritaskan.
Di sisi lain, ketika akurasi dan keterbukaan menjadi tanggungjawab media massa untuk memberikan informasi yang akurat dan dapat diandalkan.
Sangat penting untuk memastikan bahwa kode etik dalam menghadirkan identitas narasumber juga harus dikedepankan.
Seperti, informasi detail tentang pasien kusta yang tidak ingin dipublikasi karena alasan kekhawatiran akan dikucilkan oleh lingkungannya harus dihormati.
Tabrani Yunis, pengamat pendidikan dan pegiat media anak memberikan pandangannya.
“Sebenarnya dalam hal menulis, awalnya ada proses izin pada narasumber, apakah menulis berita atau menulis yang lain” ujarnya
“Jika ia adalah korban (pasien kusta) ada larangan menyebutkan nama, cukup inisial saja. Yang kedua juga malah sekarang dengan penggunaan gambar-gambar atau foto. Kalau buat korban merasa malu ya harusnya tidak menampilkan wajahnya.”pungkas Tabrani.
Pemberitaan berimbang dapat mencerminkan upaya untuk mengatasi stigma dan diskriminasi terhadap pasien kusta dan OYPMK, melibatkan masyarakat dalam diskusi yang terbuka untuk mengubah persepsi yang buruk, disamping itu media massa memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi masyarakat tentang penyakit kusta.
“Makanya itu, ada rambu-rambu yang harus diikuti oleh pemberita, saya yakin jurnalis juga cukup paham tentang itu dan memperhatikan kode etiknya di dalam pemberitaan yang semacam itu, berita harus objektif” imbuhnya Tabrani.
Peran media massa menjadi penting dalam mengedukasi masyarakat tentang penyakit kusta karena mereka tidak hanya menyebarkan informasi yang benar tetapi juga menghapus stigma negatif yang telah lama ada. Kusta tidak mudah menular, kusta adalah penyakit yang dapat disembuhkan.
Artikel ini adalah bagian dari program Fellowship “Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA)” dari NLR Indonesia bersama Anterokini.
Nurul Ali