Meskipun prevalensi penyakit kusta telah berkurang, penyakit ini masih sarat akan stigma negatif dan diskriminasi di tengah masyarakat. Kondisi tersebut mempengaruhi pasien kusta secara fisik dan emosional, menyebabkan mereka merasa terisolasi secara sosial.
Dalam hal ini, dukungan keluarga dan tenaga kesehatan juga masyarakat luas diperlukan karena dapat memotivasi pasien kusta untuk sembuh dan memerangi stigma.
Anak-anak yang memiliki orangtua kusta seringkali menghadapi masalah emosional dan sosial yang berbeda. Mereka rentan mengalami tekanan dari teman-teman dan orang-orang di masyarakat umum yang tidak memahami sifat penyakit yang sebenarnya tidak mudah menular ini.
Anak-anak dari pasien kusta mampu memberikan dukungan emosional kepada orangtua mereka dengan menjadi pendengar, membuat lingkungan yang mendukung, dan menjadi contoh bagi teman dan lingkungan masyarakat tentang kusta.
Partisipasi mereka dalam kegiatan sosial dan kampanye penyuluhan dapat membantu menyebarkan informasi yang benar tentang penyakit ini, mengurangi ketakutan, dan meningkatkan pemahaman masyarakat.
Namun, untuk mewujudkan jabaran di atas membutuhkan dukungan dari lingkungan yang suportif dan kerjasama semua pihak, tak terkecuali keterlibatan petugas kesehatan.
Dukungan petugas kesehatan termasuk perawat, dokter, dan petugas kesehatan lainnya juga sangat penting. Selain memberikan perawatan medis yang menyeluruh, peran petugas kesehatan dinilai dapat mendorong pasien dan keluarga pasien kusta mampu mengatasi dan melewati fase berat itu.
Keterlibatan petugas kesehatan dalam ikut mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakat tentang penyakit ini, sehingga secara perlahan ketakutan dan stigma negatif yang masih melekat pada penyakit kusta akan memudar dan menghilang.
Banyak cerita dari anak-anak pasien kusta, berusaha tegar dan kuat menghadapi stigma terhadap mereka, lalu perlahan mulai bangkit, memilih untuk menjadi agen perubahan dengan cara mereka masing-masing. Tujuannya, tentu untuk menghilangkan stigma tentang penyakit kusta, pasien kusta dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK).
Ada juga cerita yang seharusnya dimunculkan agar dukungan kepada mereka yang mengalami kusta menggema ke seantero pelosok bumi namun harus diredam karena alasan-alasan untuk melindungi identitas dan menghindari dampak yang lebih luas terhadap keluarga dan diri mereka di lingkungan sosial mereka.
Cerita pasien kusta berikut yang diceritakan oleh anak pasien menjadi contoh inspiratif, bagaimana pasien mau terbuka tentang sakitnya, ia mendapatkan dukungan untuk sembuh dari keluarga dan petugas kesehatan. Menggambarkan dukungan positif untuk terus berusaha melewati prahara penyakitnya.
Risma (bukan nama sebenarnya) adalah seorang anak dari pasien kusta di Aceh Besar, Ia tak hanya tanggap, namun juga anak yang berbakti. Sejak tahu salah satu orangtuanya mengalami kusta, ia mengambil alih tanggung jawab orangtuanya.
Dalam menjalankan tanggung jawabnya, salah satu tantangan Risma adalah merasa sedih jika orangtuanya sedang sedih. layaknya seorang anak yang menyayangi orangtua, Risma berupaya menghibur dengan menemani dan menjadi pendengar yang baik.
“Paling suntuk aja kalo di dalam, jadi orangtua (pasien kusta) nanti duduk sebentar di luar (teras rumah), paling itu aja, sih!” tutur Risma saat diwawancara.
Orang tua Risma didiagnosis kusta pada tahun 2023, awalnya ia berobat ke rumah sakit lalu dokter melakukan pemeriksaan detail karena keluhan gatal yang tak kunjung sembuh meski sebelumnya telah menggunakan salep kulit.
Saat salep habis, gatal kulit yang tadinya mereda kembali muncul bahkan menjadi lebih parah.
“Awalnya itu dikira alergi, jadi beli salep aja di Apotik, udah habis obat, kok tumbuh lagi, malah bertambah jadi kayak Scabies, terus ke rumah sakit, di sana lah baru tahu kalo orangtua sakit itu (kusta)” ucapnya dengan nada datar.
Fitria, petugas kesehatan yang membidangi pelaksana pencegahan dan penularan penyakit di puskesmas desa Risma tinggal, menyebutkan begitu mendapatkan laporan tentang pasien tersebut, puskesmas langsung bertindak dan telah melakukan langkah-langkah penanganan seperti pemeriksaan lanjutan pada pasien, juga telah melaporkan temuan kasus ini ke dinas kesehatan.
“Ini kan kasus pertama di sini, jadi begitu tahu ada, kami (puskesmas) langsung membentuk tim dan ke lapangan, berjumpa dengan pasien dan memeriksa secara detail. Dalam waktu dekat kita juga akan melakukan skrining keluarga dan masyarakat di lokasi sekitar pasien” kata Fitria.
Sikap kooperatif pasien dan keluarga pasien, Risma, terhadap penyakit yang sedang dialami orang tuanya dipuji oleh petugas puskesmas, karena dinilai sangat penting dalam perawatan dan pengendalian penyakit kusta.
“Sikap terbuka mereka (pasien dan keluarga) sangat penting karena akan memudahkan tugas kami juga untuk pemeriksaan dan perawatan pasien selama masa pengobatan” kata Maya, Kepala Puskesmas di desa Risma.
Ia melanjutkan “Jadi tetap pendampingan ada, dan skrining akan dilakukan, yang paling penting, pasien harus patuh dan mau minum obat, kusta pasti sembuh.”
Ditanya, bagaimana agar masyarakat juga paham tentang penyakit kusta ini agar menghindari (hilang) stigma negatif? Maya menjelaskan “Perlu dilakukan sosialisasi, petugas puskesmas juga melakukan itu agar masyarakat teredukasi, kita (semua pihak) tidak mengucilkan tapi menyemangati pasien agar sembuh. Kalo masyarakat sudah paham dan mengerti, jadi perlahan stigma itu pasti hilang.”
Tentang kusta, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae ini banyak muncul di daerah tropis seperti Indonesia. Bakteri M. leprae senang dengan kondisi lembab. Sehingga sanitasi yang ada di lingkungan haruslah bersih.
Meskipun kusta adalah penyakit menular yang telah lama dikenal namun faktanya penularan kusta tidak terjadi dengan mudah. Penularan kusta memerlukan kontak yang berulang dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Kusta dapat disembuhkan melalui perawatan medis yang tepat dan bukan kutukan seperti yang dianggap selama ini.
Perjalanan kesembuhan pasien kusta bergantung pada diri sendiri namun juga bergantung pada dukungan masyarakat. Mereka (pasien kusta) membutuhkan dukungan emosional dan psikologis.
Lebih dari itu, edukasi masyarakat, membuat lingkungan yang inklusif, penyebaran informasi yang akurat dan meningkatkan kesadaran bahwa kesembuhan kusta adalah tujuan yang dapat dicapai.
Disela-sela wawancara, Risma menyampaikan harapan agar sang orangtua dapat segera sembuh dan kembali seperti sedia kala, ceria dan tersenyum.
Artikel ini adalah bagian dari program Fellowship “Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA)” dari NLR Indonesia bersama Anterokini.
Nurul Ali