Kusta Dalam Perspektif Islam: Hanya Ujian Kehidupan Bukan Penyakit Kutukan

Apa yang terlintas dipikiran Anda saat mendengar kata “kusta”? Mungkin Anda akan berkata penyakit menular kronis dan menakutkan atau mengingatnya sebagai penyakit kutukan. 

Tidak dipungkiri jika stigma itu masih ada namun jika menelaah kembali mengapa anggapan itu ada di masa lampau? Jawaban yang paling mendekati adalah pengetahuan dunia kedokteran pada saat itu belum seperti hari ini.

Dalam jurnal sejarah Islam tentang Kajian Historis Terhadap Wabah pada Masa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam (571-632 M) dituliskan jika kusta pernah menjadi wabah namun tidak diketahui dengan pasti tahun terjadinya.

“Telah menceritakan kepada kami Waki’ berkata: telah menceritakan kepada kami An Nahas dari seorang syaikh di Makkah, dari Abu Hurairah berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “jauhilah penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari kejaran singa”. (HR. Ahmad No. 9345).

Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengajarkan doa agar selalu terlindung dan terhindar dari penyakit. Doa tersebut dimaksudkan bagi kita untuk meminta perlindungan dari segala bentuk wabah penyakit dapat menimbulkan keburukan bagi manusia.

Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih, dari Anas radhiyallahu anhu bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam berdoa:

Allāhumma innī a‘ūdzu bika minal barashi, wal junūni, wal judzāmi, wa sayyi’il asqāmi.
Artinya: “Ya Allah, aku berlindung padamu dari belang, gila, kusta dan penyakit-penyakit buruk”. 

Kusta menjadi penyakit yang ditakuti kala itu, namun di sisi lain, Nabi juga disebutkan pernah membaiat orang dengan kusta, bahkan makan bersama. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan at-Tirmidzi.2

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memegang tangan seorang penderita kusta, kemudian memasukkannya bersama tangan Beliau ke dalam piring. Kemudian Beliau mengatakan: “makanlah dengan nama Allah, dengan percaya serta tawakal kepada-Nya” (HR at-Tirmidzi).

Kusta dalam bahasa arab yaitu judzam, yang berarti memotong atau terpotong, karena kondisi penderita kusta yang telah lanjut dan telatnya penanganan. 

Dalam pandangan Islam, setiap penyakit adalah bagian dari ujian hidup termasuk kusta, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae ini perlu disikapi dengan iman dan tawakal.

Diceritakan, suatu ketika Nabi Yunus Alaihi Sallam pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, “Hai Jibril, tunjukkan padaku sosok manusia yang paling taat beribadah di dunia ini!” Jibril menjawab seraya berisyarat dengan menunjukkan pada sosok laki-laki yang tangan, kaki serta pandangan matanya hilang akibat penyakit kusta (al-judzam). 

Meskipun dalam keadaan demikian, ia tidak bosan berucap: “Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan tangan, kaki dan kedua mata ini sebagai karunia dari-Mu. Dan kini telah Engkau hilangkan semuanya, juga atas kehendakmu, namun masih Kau beri aku pengharapan kepada-Mu.”3
Kisah hikmah tersebut dapat menjadi cermin, bahwa segala penyakit termasuk kusta pada hakikatnya merupakan ujian ketakwaan bagi seorang hamba, bukan kutukan maupun keturunan. 

Mendalami perspektif Islam, pemahaman terhadap penyakit kusta bukan sekadar penyakit fisik semata, melainkan juga peluang untuk menggali makna kehidupan dan menjalani takdir dengan kepatuhan kepada Allah. 

Sehingga tidak sepantasnya memberi anggapan buruk pada mereka yang mengalami penyakit kusta. Ketua Majelis Permusyawaratan (MPU) Aceh, Tengku Faisal Ali tidak membenarkan dengan sikap dan pemberian stigma kusta sebagai kutukan, karena setiap penyakit pasti lah ada sebab dan penawarnya.

“Ngga benar, mengatakan orang yang terkena kusta adalah penyakit kutukan, dan itu tidak boleh. Penyakit itu diberikan oleh Allah semata-mata karena ada faktor tertentu, jadi bukan kutukan” kata Tengku Faisal saat dihubungi via Whatsapp.

Menghindari pasien kusta atau orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) tentu memberi dampak kesehatan emosional yang akan berpengaruh ke mental mereka karena merasa dikucilkan dan ditolak, ini tidak sesuai dengan norma-norma Islam yang menjunjung nilai Prikemanusiaan.

“Sesuai perkembangan jaman, dengan teknologi di masa sekarang, mereka yang terkena kusta tidak perlu dikucilkan seperti yang dulu, dan Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan” ujar Tengku Faisal.

Langkah baik yang harusnya dapat dilakukan untuk mendukung pasien kusta dan OYPMK dengan merangkul dan menyemangati proses pengobatan dan kesembuhan dengan menitik-beratkan kepada semangat kepedulian dan tenggang rasa. 

Pentingnya edukasi pada setiap lapisan masyarakat tentang isu kesehatan terutama kusta menjadi tanggungjawab bersama dalam mengatasi dan mencegahnya, seperti peran pendakwah yang selalu menyampaikan dan menyerukan untuk berbuat baik (amar ma’ruf) kepada siapa pun dan menjauhi sifat buruk (nahi munkar).

“Dai ini kan menyeru kepada kebaikan, amar ma’ruf nahi munkar. Itu yang memang didakwahkan oleh Ulama-Ulama Kita” ujar Tengku Faisal. 

Al Quran menunjukkan bahwa ketentuan Allah yang Maha Adil dan Maha Bijaksana mencakup setiap ujian. Sebagai orang yang Allah tetapkan untuk diuji, penyakit kusta yang mereka alami menjadi ujian bagi mereka. 

Kesabaran mereka dan kepatuhan mereka kepada Allah sangat penting untuk menangani cobaan. Diskriminasi terhadap pasien kusta dan OYPMK dilarang dalam Islam. 

Edukasi kusta juga dilakukan oleh organisasi nirlaba NLR  dalam mempercepat dunia tanpa kusta dan lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas, dengan melibatkan masyarakat bersama mengikis stigma negatif tentang kusta melalui program Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA).

Karena sejatinya, dengan penanganan yang baik dan benar penyakit kusta dapat disembuhkan, penyakit kusta tidak mudah menular. 

“Artikel ini adalah bagian dari program Fellowship “Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA)” dari NLR Indonesia bersama anterokini.”

Oleh: Nurul Ali

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads