Peran selama bertahun-tahun, kusta telah menghantui manusia dan menyebabkan penderitaan fisik serta stigma sosial yang kuat.
Namun, dalam sejarah perjuangan kusta, ada cerita inspiratif tentang bagaimana kolaborasi antara pemerintah, pemimpin agama dan komunitas/kelompok masyarakat untuk menghapus stigma dan membawa harapan bagi mereka yang terkena dampak penyakit ini.
Kusta telah menjadi momok yang menakutkan sejak zaman kuno, sering dianggap sebagai kutukan atau hukuman atas dosa tertentu. Orang yang terkena kusta diisolasi dari masyarakat, dikucilkan, dan kehilangan hak-hak dasar mereka. Kondisi ini memperburuk penderitaan pasien kusta.
Pemerintah Aceh melalui Dinas Kesehatan bidang Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) mengambil tindakan konkret untuk memerangi kusta dengan membuat program Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 dalam peningkatan pengendalian penyakit menular yang berfokus pada pencegahan dan pengendalian penyakit menular prioritas, salah satunya adalah kusta.
Kepala Dinas Kesehatan Aceh yang diwakili oleh Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Aceh dr. Iman Murahman mengatakan program P2PM di kabupaten/kota dalam upaya optimalisasi kegiatan program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
Dengan identifikasi kendala, solusi, logistik, sumber daya manusia dan sumber dana serta menyusun langkah-langkah konkret.
“Terkait yang menjadi perhatian khusus adalah pada penyakit Kusta, Tuberkulosis, HIV-AIDS, Hepatitis, Malaria, DBD, Diare, Filariasis, Kecacingan, ISPA” tutur dr. Iman
Komunitas/kelompok masyarakat mulai menyadari kusta sebagai penyakit yang dapat diobati dan bukanlah kutukan atau hukuman. Selain itu, muncul inisiatif kerja sama, di mana masyarakat bersatu dengan menjadi kader penyuluh kesehatan di desa mereka untuk mendukung secara moral dan medis pasien kusta serta menangani kusta secara menyeluruh.
Rizayana, salah satu kader penyuluh kesehatan di Desa Teupin Raya, Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh timur bercerita keprihatinannya pada masyarakat di Desanya terduga menderita Tuberkulosis, hingga akhirnya pada tahun 2010 ia menggagas berdirinya Komunitas Peduli Tuberkulosis {TBC} dan Kusta (KPTK) di desanya.
Meski awal berdirinya hanya berfokus pada penyakit TBC namun seiring berjalan, komunitas KPTK mengembangkan fokus mereka pada penyakit kusta yang juga berasal dari bakteri (Mycobacterium) yang sama namun spesies yang berbeda (TB: Mycobacterium Tuberculosis; Kusta: Mycobacterium Leprae).
“Penularannya sama tapi lebih cepat kuman TBC dibandingkan kuman kusta. Kalau kusta itu kontak yang terus menerus bahkan bertahun (pasien kusta dengan anggota keluarga) dan inkubasinya bisa lebih lama” jelas dr. Iman.
Melalui komunitas tersebut, Rizayana mendorong masyarakat di Desanya untuk berpartisipasi aktif dalam deteksi dan pengobatan kusta sejak dini, meningkatkan kesadaran akan pentingnya diagnosis dan intervensi yang cepat.
Kolaborasi untuk Eliminasi kusta dan menghapus stigma juga dilakukan oleh NLR Indonesia dan menjadi fokus isu yang mereka lakukan dengan berbagai pihak seperti dengan Kementerian Kesehatan RI 2024 dengan meluncurkan dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kusta 2023-2027.
Dikutip dari kbr.id, RAN eliminasi kusta ini mencantumkan 4 strategi yang akan digunakan dalam 5 tahun ke depan, yaitu (1) Menggerakkan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang tersedia di Masyarakat (Masyarakat); (2) Meningkatkan kapasitas sistem pelayanan dalam melakukan pencegahan, penemuan dini, diagnosis dan penatalaksanaan kusta secara komprehensif dan berkualitas (Akselerasi); (3) Meningkatkan integrasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan dan fasilitas kesehatan, baik pemerintah maupun swasta (Integrasi); dan (4) Menguatkan komitmen, kebijakan dan manajemen program dalam penanggulangan kusta (Komitmen, kebijakan, dan manajemen).
Peran agama juga sama pentingnya dalam melawan stigma kusta, Tengku (Pemimpin agama/Ulama) memiliki peran penting dalam dakwah Islami, mengedukasi dan pemahaman dalam tausiah yang disampaikan tentang pentingnya kesehatan dan mengubah paradigma negatif tentang kusta dari “penyakit berbahaya” menjadi “penyakit yang dapat disembuhkan.”
Islam mengajarkan bersikap baik, toleransi dan berkeadilan sebagai dasar untuk memerangi diskriminasi dan menawarkan dukungan moral kepada mereka yang terkena dampak. Pasien kusta juga harus suportif dalam pengobatan agar mereka sembuh.
“Memberi pengertian kepada mereka (pasien kusta) bahwa tidak perlu lagi merasa minder, merasa bersalah (diisolasi), tapi yang sangat penting, bagaimana sekarang itu mereka (pasien kusta) mematuhi, mendengar dan mengamalkan (menjalankan) apa yang diperintahkan oleh para dokter kepada mereka” kata Tengku Faisal Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Perjuangan melawan kusta mencakup mengatasi stigma dalam kerjasama lintas sektor memungkinkan masyarakat yang lebih ramah dan inklusif di mana setiap orang dihargai dan memiliki kesempatan untuk hidup dengan martabat. Dengan keberagaman dapat membangun dunia yang lebih adil dan berkelanjutan dan mengatasi masalah kesehatan global seperti kusta.
Masyarakat akan lebih memahami dan peduli terhadap pasien kusta. Untuk memastikan bahwa setiap orang yang terkena kusta dapat hidup tanpa rasa takut dan diskriminasi, terus ditekankan pentingnya pendidikan, kesadaran, dan dukungan semua elemen masyarakat.
Dalam kolaborasi ini, mereka memegang peran masing-masing namun saling terhubung dalam tujuan akhir yaitu menghapus kusta dan stigmanya. Kolaborasi ini mencakup banyak hal, mulai dari penyuluhan masyarakat tentang gejala kusta dan metode penularan kusta hingga upaya untuk meningkatkan akses kesehatan yang lebih baik serta peran agama dalam kehidupan.
Pemerintah berusaha untuk mengurangi prevalensi kusta dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Pemimpin agama, memberikan tausiah edukasi dan mengajak kepada menerapkan amar ma’ruf nahi munkar dalam aspek kehidupan dan komunitas/kelompok masyarakat menjadi kader kepedulian terhadap pencegahan dan penularan kusta.
Pada akhirnya, bersama menghapus kusta dan stigma dari masyarakat melalui metode yang holistik dan kolaboratif. Karena kusta dapat disembuhkan, kusta tidak mudah menular.
Artikel ini adalah bagian dari program Fellowship “Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA)” dari NLR Indonesia bersama Anterokini.
Oleh: Nurul Ali