Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tentang rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang perubahan Qanun penyelenggaraan Pendidikan Aceh nomor 14 tahun 2014 pada Selasa (14/11/2023) di Gedung Utama DPRA.
Beberapa perubahan yang dilakukan dalam qanun tersebut disebut perlu dilakukan agar dapat berfungsi optimal sesuai kurikulum muatan lokal Aceh dan kurikulum Nasional yang sedang berjalan yaitu kurikulum Merdeka.
“Qanun tersebut adalah usulan inisiatif dari komisi VI DPRA , hal terkini, mengharuskan qanun tersebut direvisi untuk penyesuaian tentang penyelenggaraan pendidikan, secara garis besar, ada lima yang menjadi isu krusial dari revisi qanun ini” kata Bardan Sahidi, anggota komisi VI dari DPRA.
Iya menjelaskan yang menjadi point penting dalam pertimbangan yaitu integritas pendidikan umum dan agama di Aceh, Penyelenggaraan pendidikan Aceh caroeng meliputi ‘pintar, beradap dan berakhlak’, selanjutnya penyelenggaraan sistem pendidikan di daerah ‘terdepan, terluar dan tertinggal’.
“Terluar adalah di pulau terluar sedangkan tertinggal di daerah yang masih pedalaman, sehingga perlu penyetaraan melalui hasil belajar lulusan perkotaan dengan dua daerah tersebut,” ujar Bardan.
Isu ke empat yang menjadi pertimbangan adalah jaminan 20 persen APBA untuk pendidikan dan yang terakhir pemerataan distribusi tenaga kependidikan ke seluruh Aceh. Qanun tersebut juga membahas kurikulum yang memiliki muatan lokal selain itu catatan penting adalah pendidikan dayah modern dan dayah salafi.
Bardan menyebutkan penyusunan qanun ini dengan memperhatikan kearifan lokal kemudian tata laksana penyelenggaraan pendidikan yang selama ini sedang dan telah berjalan di Aceh.
Pengamat Pendidikan Aceh, Tabrani Yunis mengatakan sampai hari ini kurikulum pendidikan Islami yang telah dirancang sebelumnya belum ada penerapan.
“Terkait perbaikan raqan itu, terus terang saya belum membaca jadi sulit bagi saya mengomentari, namun jika benar dilakukan maka hal pertama yang harus dilakukan, luruskan kembali dulu kiblat pendidikan Aceh, mau ke mana? Apabila mau seperti pendidikan yang Islami maka akan seperti apa?, akan diterapkan seperti apa? dan bagaimana mekanismenya” ujarnya.
Menurutnya, terkait raqan tersebut hal lain yang perlu diatur adalah peran Majelis Pendidikan (MPD) Aceh, di mana ia menyayangkan lembaga tersebut belum memenuhi dan melaksanakan tugasnya dengan baik sejak awal terbentuk.
“Menurut saya itu mubazir ya dan kalau perlu tutup saja, karena MPA (baca;MPD) tidak melaksanakan perannya dengan baik sehingga tidak ada koordinasi tata pelaksanaan pendidikan di Aceh” tuturnya.
Ia menjelaskan seharusnya MPD tidak hanya berperan sebagai lembaga pemberi rekomendasi kepada gubernur namun tidak mengawal, jika demikian sekolah juga dapat memberi rekomendasi di mana mereka di lapangan dan real. (Nurul Ali)