Tampung Aspirasi Lembaga Penyiaran DPRA Adakan RDPU

Komisi I DPRA mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terhadap Rancangan Qanun Aceh Tentang Penyiaran Aceh di ruang utama Gedung DPRA dengan mengundang lembaga penyiaran televisi dan radio serta instansi terkait, 9 November 2023.

Mendapat giliran pertama menyampaikan pendapatnya, CEO Antero FM, Uzair mengatakan ada sejumlah hal penting yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Rancangan Qanun Penyiaran Aceh, antara lain, tidak adanya jaminan apapun soal pendanaan kewajiban membuat konten, advokasi pembiayaan untuk KPIA harus bersumber dari APBN, dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) radio yang tidak komprehensif.

“Seharusnya sebelum masuk ke RDPU ini kita sudah lakukan banyak dialog dulu, apa yang harus disusun, seperti apa inventaris masalah. Daftar Inventaris Masalah banyak sekali yang belum tercantum dalam raqan ini. Nanti baru kita petakan dari DIM itu mana solusinya,” ujarnya.

Senada dengan Uzair, Owner Three FM, Wira Dharma mengatakan beberapa hal dalam Rancangan Qanun Penyiaran Aceh masih terasa ambigu. Misalnya, tentang Pasal 18 yang mewajibkan durasi paling sedikit 60 persen untuk Program Siaran Aceh.

“Yang menjadi ambigu adalah dalam pasal per pasal tidak menjelaskan secara detail program yang dimaksud itu apa. Apakah program berbahasa Aceh? Apakah konten lokal itu penyiar siaran dianggap konten lokal, atau konten yang berbudaya, atau konten religi? Kalau konten yang seperti itu yang dimaksud maka ada operational cost yang harus kita tanggung bersama. Ini dari mana?” tanyanya.

Sisi lain, Perwakilan dari Serambi FM dan Kompas TV, Muhammad Din berpendapat media selain sebagai industri juga hadir sebagai pilar demokrasi sehingga jika terganggu maka proses demokratisasi yang ada, baik secara nasional maupun daerah tidak akan berkembang secara baik. Menurutnya semua pihak terutama pemerintah dan anggota dewan perlu memikirkan bagaimana agar lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio bisa hidup secara sehat dan bisa melaksanakan tugas-tugasnya, baik dalam konteks industri maupun dalam konteks sebagai bagian dari pilar demokrasi.

“Jadi, tidak sekedar membuat peraturan dan batasan-batasan. Sehingga industri media ini bisa tumbuh secara sehat,” ucapnya.

Sementara itu, Pemerhati Penyiaran, Safir menilai ada tiga aspek yang tidak tercantum dalam Raqan Penyiaran Aceh, yaitu tidak ada pasal pelarangan, pengawasan terhadap lembaga penyiaran perbatasan, dan siaran lokal. Dia mengusulkan dalam Qanun Penyiaran Aceh harus memastikan adanya keterlibatan khusus pemerintah Aceh sebagai pembina lembaga penyiaran televisi dan radio seluruh Aceh.

Perwakilan dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Azwardi Ma’rifatullah juga hadir memberikan masukan. YARA menyoroti Pasal 16 ayat (4) ketika dikaitkan dengan Pasal 135 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) maka tidak ada korelasinya karena wewenang yang diberikan dalam UUPA kepada pemerintah Aceh adalah untuk menjaga isi atau sirkulasi produk pers dan penyiaran agar tidak bertentangan dengan nilai Islam. Namun, untuk pengayaan budaya dalam melaksanakan keistimewaan Aceh, yaitu masuk dalam unsur penguatan adat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh.

Sementara dalam Pasal 18, YARA menyebutkan bahwa perintah wajib yang dibebankan kepada lembaga penyiaran radio perlu disertai juga dengan anggaran kepada radio atau lembaga penyiaran yang menyiarkan program dalam bahasa Aceh. Ini juga menjadi bagian dari kewajiban pemerintah Aceh dalam menjalankan keistimewaan Aceh dalam bidang adat yang harus dibiayai dari APBA.

Menanggapi masukan dan saran, Pemerintah Aceh yang diwakili oleh Plt. Karo Hukum Muhammad Junaidi mengatakan bahwa tujuan akhir produk qanun ini harus meningkatkan lapangan kerja bagi penduduk Aceh bukan justru menjadi penghambatnya. Semua masukan dari para peserta sudah dicatat dan akan dibedah satu-persatu.

Menutup pertemuan, Ketua Komisi I DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaki mengatakan Raqan Penyiaran Aceh masih bersifat rancangan qanun maka saran dan masukan yang disampaikan oleh peserta RDPU akan dicatat dan dibahas kembali bersama dengan Tim Biro Hukum Pemerintah Aceh. Dia menyambut positif masukan yang diberikan dan membuka peluang bagi pihak-pihak dari lembaga penyiaran di daerah yang tidak hadir untuk menyampaikan pendapat dan saran secara tertulis melalui email Komisi I DPR Aceh. (Lia Dali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads