Wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan kemungkinan kembalinya bank konvensional di Aceh mencuat kembali akibat belum maksimalnya layanan bank syariah. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri kedua dari 10 seri wawancara.
Qanun Aceh No. 11 tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah merupakan butir-butir regulasi yang mengatur kegiatan lembaga keuangan syariah di bawah naungan syariat Islam. Produk hukum pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan melibatkan tokoh dan ulama Aceh ini mewajibkan lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh beroperasi berdasarkan prinsip syariah.
Qanun LKS ditetapkan pada 2018 dan berlaku penuh pada 2022 dengan beralihnya transaksi keuangan masyarakat Aceh dari sistem konvensional ke sistem syariah. Namun, peralihan tersebut telah menimbulkan keresahan bagi nasabah, terutama bagi kalangan dunia usaha yang merasa terbebani dengan berbagai hambatan dalam melakukan operasi bisnisnya. Ini menunjukkan bank syariah belum mampu memberi pelayanan optimal bagi masyarakat Aceh.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Saiful Bahri mengakui terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi dan kebijakan Qanun LKS sehingga kemudian muncul wacana untuk melakukan revisi terhadap produk hukum tersebut.
Senada, pengamat hukum Mawardi Ismail mengatakan Qanun LKS memiliki banyak kelemahan substantif yang merugikan Aceh terutama dalam geliat dunia usaha. Dia mendorong agar Qanun LKS direvisi agar pelaksanaannya memberikan manfaat dan keuntungan, bukan justru menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat Aceh.
Dia juga meminta para akademisi dan intelektual yang terlibat dalam perumusan naskah akademik Qanun LKS untuk tampil memberikan penjelasan dan solusi kepada masyarakat Aceh atas dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan Qanun LKS ini.
Berikut wawancara lengkap jurnalis anterokini.com dengan Mawardi Ismail.
Apa tanggapan Anda terhadap rencana revisi Qanun LKS?
Seperti kita tahu Qanun LKS ini sudah ditetapkan tahun 2018, Qanun No. 11 Tahun 2018. Nah, diawal-awal saya sudah mewacanakan bahwa qanun ini harus direvisi. Mengapa harus direvisi? Karena dari baca sepintas waktu itu, saya menemukan banyak kelemahan substansi yang merugikan Aceh. Sehingga waktu itu saya menyarankan segera direvisi agar kelemahan-kelemahan itu bisa kita perbaiki. Cuma pada waktu itu kuat sekali dorongan yang mengatakan jangan direvisi. Tapi tidak pernah mereka memberikan solusi: bagaimana mengatasi kelemahan-kelemahan substansial yang ada pada qanun tersebut?
Kalau kelemahan dari sisi operasional mungkin mudah diatasi. Misalnya, persoalan administrasi, persoalan yang sekarang ini macet segala macam. Itu kan kendala-kendala operasional. Namun, bukan soal kendala operasional tersebut, tapi hambatan-hambatan substantif atau kelemahan substantif yang material yang terdapat dalam qanun itu merugikan masyarakat Aceh dan hanya menguntungkan bank-bank syariah yang mendapat limpahan nasabah.
Dalam sebuah seminar yang saya ikuti, para pedagang kecil menengah mengeluh. Apa keluhan mereka? Mereka mengatakan, “Pak, dulu sebelum qanun ini ada, vendor kami banyak dari luar daerah, dari Medan. Kami ini pedagang telur. Deal beli Rp500 ribu telur. Nah, ketika sudah deal, kami tinggal pergi ke ATM. Kami kan punya ATM Mandiri, dari ATM Mandiri masuk ke Mandiri si vendor itu. Biayanya berapa? Nol rupiah. Nah, sekarang bagaimana? Pada waktu itu biayanya Rp6.500. Siapa yang bayar? Ya, kami.”
Dulu tidak bayar, sekarang harus bayar. Mengapa harus bayar? Diperlakukan sebagai transfer antar bank. “Bapak jangan melihat -Ini kata mereka ya, saya ulang kembali- Bapak jangan melihat ini Rp6.500 sekali transaksi. Seperti kami ini dalam satu hari kadang-kadang bisa 5-6 kali, Pak. Kalau 5-6 kali transaksi, berapa kami harus bayar?”
Nah, ini dampak dari adanya monopoli sistem bank syariah ini. Tidak ada solusi. Tidak ada solusi apapun. Kita baca seluruh qanun itu. “Tidak ada solusi, yang ada pemberlakuan qanun ini sudah menimbulkan kerugian bagi kami.”
Belum lagi ada komunitas tertentu yang bank garansinya tidak bisa dikeluarkan oleh bank syariah. Ada seorang pengusaha waktu itu. Dia pengusaha rokok. Bank syariah tidak bisa memberikan bank garansi untuk bisnis rokok, padahal bisnis rokok itu milyaran katanya. “Kami terpaksa main kucing-kucingan. Buka rekening di Medan.”
Nah, ini semua dan banyak lagi kendala investasi. Ada investor luar yang hanya mau bank korespondennya adalah bank-bank besar sedangkan bank-bank syariah itu kan bank-bank kecil waktu itu. Jadi, kendala-kendala ini tidak ada solusinya dalam Qanun LKS. Sayangnya juga. sampai dengan sekarang ini saya belum pernah mendengar para ahli menyampaikan apa solusinya untuk maslah-masalah substantif tadi. Tidak ada, yang ada apa? “O, ini kita sudah kembali bersyariah, ini, ini. Saya tidak setuju.”
Ini bukan persoalan setuju atau tidak setuju. Persoalannya adalah bagaimana caranya agar kendala-kendala atau hal yang menimbulkan kemudaratan dan kerugian itu bisa teratasi. Begitu seharusnya dan itu terbuka jalan dengan merevisi qanun ini, yaitu menambah misalnya satu pasal yang khusus mengatur cara-cara mengatasi kendala tersebut.
Nah, yang menarik lagi begini, biasanya pemerintah dalam hal ini pemerintah Aceh, eksekutif dan legislatif, ketika membuat sebuah kebijakan yang memberikan keuntungan bagi satu pihak, dia akan mendapat kontribusi. Misalnya, ketika diberikan hak monopoli kepada sistem ini maka bank-bank yang mendapat keuntungan ini harus memberikan kontibusi untuk Aceh. Saya lihat dalam qanun ini tidak ada. Kita memberi keuntungan kepada orang lain dan mewajibkan kemudaratan kepada rakyat sendiri. Itu yang terjadi sekarang. Kalau pertanyaannya, “Apakah ada cara untuk memperbaiki ini?” Ada banyak cara. Ada banyak jalan menuju Mekkah.
Jalan yang terlihat sekarang ini adalah buka dulu ruang diskusi. Lakukan kajian yang komprehensif lalu berdialoglah dengan pelaku-pelaku ekonomi kecil. Baru kemudian kita ambil sebuah kesimpulan: bagaimana kebijakan yang diambil untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut?
Jadi bukan, “Oh, Ini beginilah. Beginilah.” Malah ada yang mengatakan orang akan murtad. Seolah-olah dia jadi Tuhan. Saya baca itu. Jangan gampang-gampanglah menuduh orang murtad. Bagi saya sebenarnya persoalannya ringan-ringan saja, cuma ada tidak kemauan itu? Kalau ada kemauan maka ada banyak jalan.
Hal apa saja yang mestinya menjadi perhatian untuk direvisi?
Akibat kebijakan ini pedagang kecil teraniaya. Kita buat norma, bagaimana ada satu norma yang bisa mengembalikan -saya tidak bicara mengembalikan bank konvensional- bagaimana caranya bisa mengembalikan kemudahan-kemudahan yang dulu pernah diperoleh oleh para pedagang kecil ini? Harus diberikan ruang di dalam qanun ini. Itu saja. Rumusannya bagaimana? Ya, kita duduk musyawarah. Cuma kita tetap berkutat, “Oh, pokoknya jangan! Pokoknya. Pokoknya.”
Sampai sekarang ini, saya belum melihat, mana ahli-ahli yang merancang naskah akademik itu? Tampil kedepan. Jelaskan apa solusi untuk ini. Jangan bersembunyi.
Dalam qanun LKS tidak disebutkan secara tegas soal kewajiban menutup bank konvensional, apa penjelasan Anda?
Pertama, pasal 2 mengatakan bahwa bank-bank yang beroperasi di Aceh berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Lalu, ada pasal peralihan di pasal 5 yang mengatakan bank-bank yang selama ini belum melaksanakan, artinya belum menjadi bank syariah maka wajib menyesuaikan operasional dengan qanun ini. Qanun ini kan syariah. Kalau wajib menyesuaikan apa artinya? Artinya, semua bank itu harus menerapkan prinsip syariah. Memang tidak dikatakan tutup. Tidak dikatakan tarik. Tapi ketika dikatakan dalam tempo tiga tahun Anda wajib menjalankan operasional dengan prinsip syariah. Artinya, di luar itu tidak boleh kan?
Memang tidak ada kalimat tegas mengatakan seperti itu, tapi kalau kita lihat pasal 2 ayat pertama mengatakan berdasarkan prinsip syariah. Lalu, di peralihannya dikatakan diberi waktu tiga tahun, dalam tempo tiga tahun kita harus mengoperasionalkan bank ini dengan prinsip-prinsip syariah. Itu artinya apa? Yang non-syariah tidak boleh.
Kalau dalam qanun sebelumnya, Qanun No. 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, di situ masih hanya mengatakan bahwa bank-bank yang selama ini mengendalikan operasionalnya dengan non-syariah wajib membuka unit usaha syariah. Itu qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, tahun 2014. Nah, sekarang qanun yang baru, tahun 2018. Qanun yang baru tentu mengalahkan qanun yang lama.
Rencana revisi ini menimbulkan reaksi pro kontra di masyarakat, apa yang Anda sikapi dari pemahaman publik terhadap substansi Qanun LKS ini?
Ya, itu tadi, para ahli itu. Para ahli itu harus menjelaskan. Misalnya, ada kendala pedagang-pedagang kecil kalau mentransfer uang ke Medan dulunya gratis sekarang dia harus membayar. agar tidak harus bayar bagaimana? Caranya rumuskanlah satu norma yang mengatakan bahwa nanti kalau mereka transfer maka tidak ada kerugian. Jadi yang penting begini, kebijakan yang diambil pemerintah tidak boleh menimbulkan kerugian kepada rakyat.
Anehnya begini: rakyat dirugikan, provinsi Aceh tidak mendapatkan keuntungan apapun. Jadi, yang untung siapa? Bank-bank yang mendapat limpahan nasabah. Katakanlah dulu BSM yang sekarang menjadi BSI. Lalu, Bank Aceh bagaimana? Bank Aceh tidak mendapat limpahan nasabah. Dia berdiri sendiri kan? Yang mendapat limpahan nasabah itu, dulu dari Bank Mandiri ke Bank Syariah Mandiri, Bank BNI ke Bank Syariah BNI, dari Bank BRI ke Bank BRI Syariah. Tiga bank ini mendapat limpahan nasabah yang luar biasa. Kalau sebelumnya mungkin nasabahnya hanya 1000, setelah kebijakan qanun ini nasabahnya menjadi 10.000. Nah, ini kan keuntungan yang luar biasa besar. Sekarang kita tanya, kontribusinya untuk Aceh apa? Tidak ada, tapi dampaknya kepada masyarakat apa? Kerugian. Kan keugian yang ada, nyata, faktual.
Apa yang kita harapkan? Saya sangat berharap kepada teman-teman, terutama akademisi dan para intelektual yang turut serta terlibat dalam perumusan nasakah akademik qanun LKS ini supaya tampil ke depan memberikan penjelasan, “Ini solusinya. Kalau dulu Anda rugi maka sekarang dengan solusi ini Anda tidak rugi lagi.” Berikan solusi itu. Jangan bersembunyi.
Sementara itu kalau dicermati dari naskah akademik Qanun LKS tentang konsep “bagi hasil” ternyata dalam praktiknya tidak sesuai dengan yang dijalankan oleh bank syariah di Aceh dan Indonesia, lalu mengapa bank syariah itu diberikan keistimewaan untuk beroperasi di Aceh?
Itu soal politik. Soal kebijakan itu sulit kita untuk berkomentar. Apakah bagi hasil itu berbeda dengan riba? Saya jarang sekali berkomentar tentang riba. Sekarang ini semua bunga bank dianggap riba. Yang saya baca-baca bahwa riba itu haram. Ya. Itu tidak ada pilah-pilah, tetapi apakah semua bunga bank itu riba? Itu tunggu dulu.
Coba dibaca, masa’ ulama sekaliber Mahmud Syaltut, itu kan Rektor Al-Azhar dulu. Kemudian ada beberapa lagi ulama-ulama besar yang lain. Mereka mengatakan itu bukan riba. Artinya, ada dua pendapat. Filafiyah. Sama seperti Qunut Subuh. Nah, harusnya ini dibuka. Jangan disembunyikan. Saya melihat ada kecenderungan menyembunyikan yang ini, tapi menampilkan yang satu lagi, lalu kemudian diprovokasi. Seharusnya dibuka keduanya. Sekarang terserah masyarakat mau pilih yang ini atau yang itu. Sebab dikeduanya itu ada para ulama besar.
Saya agak ini juga ketika ada orang mengatakan boleh pilih surga atau neraka. Seolah-olah kalau memilih bank konvensional sudah masuk neraka. Apa dia Tuhan yang bisa menentukan itu? Hal-hal seperti ini yang seharusnya menjadi konsen dari para intelektual akademik.
Sekarang begini saja. Kita dorong mereka agar tampil memberikan solusi. Itu yang diharapkan. Kita tidak macam-macamlah. Tidak usah berdebat. Tidak usah saling tuding sana, tuding sini. Bilang ini masuk neraka, itu masuk surga. Ini daging sapi, itu daging babi. Tidak usah begitu. Singkat saja. Qanun ini, ini akibatnya. Ada tidak solusinya? Kalau tidak ada solusinya, mari kita cari bersama, tapi harus ada itikat baik.
Langkah-langkah apa saja yang mesti ditempuh untuk merevisi Qanun LKS ini?
Kita ada mekanisme tata cara pembentukan qanun. Salah satu qanun yang dibentuk adalah perubahan, Nah, melalui perubahan ini nanti ada yang bisa ditambah dan ada yang bisa dikurangi. Jadi, yang penting adalah political will dulu. Ada tidak political will untuk memperbaiki kekeliruan ini? Kalau political will-nya ada maka jalan bisa dicari. Insyaallah. (Lia Dali)