Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Aceh M Jafar, menegaskan diperlukan respons cepat dari seluruh pemangku kepentingan di Aceh untuk mengatasi virus Polio, meskipun baru satu kasus yang ditemukan.
“Walaupun baru satu kasus yang ditemukan, kita tidak bisa lengah. Jika kita lalai, ancaman virus ini bukan tidak mungkin akan menyebar ke berbagai daerah,” kata M Jafar dalam sambutannya pada kegiatan Pertemuan Advokasi dan Sosialisasi SUB PIN Polio atau Outbreak Response Immunization (ORI) untuk penanganan kasus lumpuh layu di Aceh, Jumat (25/11/2022).
Dalam acara yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia dan berlangsung di hotel di Hermes Palace itu, tampak dihadiri oleh Pj Ketua Tim Penggerak PKK Aceh Ayu Marzuki, Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto, dan sejumlah perwakilan dari kepala daerah lainya di Aceh.
M Jafar mengatakan, pertemuan yang membahas langkah-langkah Advokasi dan Sosialisasi terkait ORI untuk penanganan Kasus lumpuh Layu di Aceh, sangat penting diselenggarakan sebagai langkah awal memperkuat pencegahan guna memberikan perlindungan kepada anak-anak Aceh agar terhindar dari penyakit lumpuh layu atau Polio.
Apalagi, kata Jafar, Kementerian Kesehatan telah menyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB) atas temuan kasus tersebut. Penetapan status KLB tersebut memungkinkan pemerintah untuk mengkoordinasikan seluruh lembaga kesehatan guna menanggulangi ancaman penyakit itu.
“Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501 tahun 2010, status KLB diberikan pada kejadian kesakitan atau kematian secara epidemiologi di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, yang indikasinya bisa menjurus pada terjadinya wabah,” kata Jafar.
Karena itu, Jafar menegaskan diperlukan langkah cepat untuk penanggulangannya salah satunya melalui rekomendasi terkait upaya penanggulangan efektif dan intensif yang akan dihasilkan dalam pertemuan ini. Untuk itu, semua peserta diharapkan bisa berperan aktif menyukseskan pertemuan ini, sehingga temuan kasus di Pidie tidak sampai menjadi sebuah wabah yang mengancam anak-anak Aceh.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan pengendalian Penyakit, dr. Maxi Rein Rondonuwu, mengatakan cakupan imunisasi rutin di Indonesia mengalami penurunan signifikan termasuk imunisasi polio yaitu Oral Polio Vaccine (OPV) dan Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV), hal itu terjadi lantaran pandemi Covid-19 yang membuat proses pemberian imunisasi tidak berjalan optimal.
“Walaupun kasus polio akibat virus polio liar sudah tidak ditemukan lagi di Indonesia selama lebih dari 10 tahun, namun penyakit ini masih mungkin terjadi di wilayah Indonesia, karena importasi virus dari negara lain atau virus vaksin yang bermutasi di daerah dengan cakupan imunisasi polio yang rendah dalam jangka waktu lama, seperti yang ditemukan di Pidie yang diakibatkan oleh Vaccine-Derived Polio Virus Type 2 (VDPV2),” terang Maxi.
Sebab itu, ungkap Maxi, Komite Ahli Eradikasi Polio dan Komite Penasehat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization) telah merekomendasikan agar dilakukan pemberian imunisasi novel Oral Polio Vaccine Type 2 (nOPV2) kepada seluruh sasaran anak usia 0 bulan sampai dengan 12 tahun.
Lebih lanjut, kegiatan yang akan dilaksanakan berupa Sub Pekan Imunisasi Nasional (SUB PIN) dengan sejumlah 2 putaran di seluruh wilayah Aceh yang dimulai pada minggu kelima bulan November tahun 2022 dengan target cakupan minimal 95 persen.
Oleh karena itu, ia menginginkan agar kegiatan tersebut berjalan dengan lancar dan dapat mencapai target yang ditetapkan, diperlukan persamaan persepsi supaya kegiatan SUB PIN Polio akan mendapat dukungan dari seluruh perangkat daerah di Provinsi Aceh dan berjalan sesuai target.