Pola represi yang menargetkan para akademisi dan mahasiswa yang terang benderang mengancam kebebasan akademik dan perkembangan pendidikan tinggi Indonesia di masa mendatang, menurut Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Scholar at Risk (SAR).
Dalam pengajuan bersama ke Universal Periodic Review PBB untuk Indonesia, KIKA dan SAR menyoroti tekanan luas dan tindakan yang ditargetkan oleh aktor negara dan universitas yang menghukum dan membungkam kebebasan berpendapat, penyelidikan, dan ekspresi akademis sejak Maret 2017.
Para akademisi mendapatkan serangan penuntutan hukum baik secara pidana maupun perdata, termasuk di bawah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kontroversial, untuk ekspresi kritis terhadap pemerintah, menjadi saksi ahli dalam proses persidangan, dan berbicara tentang temuan hasil riset di ruang publik.
Mahasiswa sering menghadapi penangkapan dan kekerasan polisi karena memprotes ketidakadilan dan mengutuk korupsi, serta tindakan pendisiplinan oleh universitas karena mengajukan pertanyaan dan gagasan yang tampaknya kontroversial — insiden yang menimbulkan kekhawatiran serius atas kebebasan akademik siswa dan hak kebebasan berekspresi.
Pengajuan tersebut melihat apa yang disebut “UU Sistem Nasional Iptek” dari 2019 yang bagi banyak sarjana lokal menimbulkan kekhawatiran atas ruang yang menyusut untuk penelitian yang diizinkan dan pertukaran aktivitas akademik secara internasional.
Akademisi juga tetap kecewa atas ancaman terhadap otonomi universitas yang dilancarkan oleh sistem pengangkatan rektor yang berpotensi korupsi. “Kami mengutuk serangan terhadap para sarjana dan mahasiswa dan menyerukan kepada masyarakat internasional untuk bergabung dengan kami bergandengan tangan dalam membela kebebasan akademik di Indonesia,” kata Dhia Al Uyun, Ketua KIKA yang berasal dari dosen Universitas Brawijaya.
Sejak Desember 2017, KIKA telah mengumpulkan para akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil untuk membahas keadaan kebebasan akademik dan peluang untuk mendukung komunitas pendidikan tinggi, termasuk dengan mempromosikan Prinsip-Prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik. Siklus pelaporan ini melihat pembalikan yang mengganggu dari perbaikan yang dilaporkan sehubungan dengan kebebasan akademik yang telah dibuat sejak akhir rezim Suharto pada tahun 1998.
Menurut Academic Freedom Index (AFi)—alat yang dikembangkan oleh Global Public Policy Institute (GPPi), Friedrich-Alexander-Universität Erlangen-Nürnberg (FAU), V-Dem Institute, dan SAR—peringkat ahli untuk menghormati kebebasan akademik turun dari 0,75 pada tahun 2000 menjadi 0,65 (dari 1,00) pada tahun 2021. Merosotnya kondisi jaminan kebebasan akademik, seperti yang ditunjukkan oleh AFi dan insiden yang dilaporkan dalam pengajuan UPR bersama, menimbulkan keprihatinan serius atas masa depan pendidikan tinggi Indonesia.
“Para akademisi dan mahasiswa memainkan peran penting dalam masyarakat sipil Indonesia yang dinamis,terutama mempromosikan keadilan sosial dan hak asasi manusia untuk secara terbuka membahas korupsi pemerintah dan masalah lingkungan,” kata Daniel Munier, Senior Advocacy Officer di SAR.
“Komunitas pendidikan tinggi Indonesia sangat penting untuk masa depan negara dan membutuhkan kebebasan akademik dan dukungan dari para pemimpin pemerintah. Tanpa tanah subur, para sarjana dan mahasiswa Indonesia terhalang dalam kemampuan mereka untuk mendorong kemajuan ilmiah, sosial, ekonomi, dan budaya negara.
Menjelang peninjauan, yang dijadwalkan pada November 2022, KIKA dan SAR mendesak negara-negara anggota PBB untuk meminta Indonesia untuk (1) melindungi dan mempromosikan kebebasan akademik, otonomi universitas, dan hak asasi manusia terkait; (2) menahan diri dari upaya represif dan upaya kriminalisasi; (3) membentuk ombudsman yang dapat menanggapi masalah kebebasan akademik di masing-masing instansi perguruan tinggi; (4) merevisi UU ITE agar sesuai dengan standar dan kewajiban hukum nasional dan internasional yang berkaitan dengan kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi; dan (5) memperkuat otonomi universitas dan menurunkan/mengantisipasi risiko korupsi di lembaga pendidikan tinggi negeri, termasuk dengan memungkinkan kontrol senat universitas yang lebih besar atas penunjukan rektor.