Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh menyelenggarakan Aceh Economic Forum (AEF) dengan mengusung tema “Pengembangan Ekosistem Syariah dalam Mendukung Pengembangan dan Hilirisasi Produk Unggulan”.
Kegiatan yang bertempat di Ballroom Hotel Grand Permata Hati Kota Banda Aceh turut mengundang beberapa narasumber yaitu M. Karebet Wijayakusuma, MA (Berka Semi Strategika – tim penyusun riset Komoditi/Produk/Jenis Usaha Unggulan UMKM), Prof Nazaruddin AW, MA (Plt. Ketuai IAEI Aceh), Tissa Aunilla (Co Founder Pipiltin Cocoa).
Kegiatan AEF merupakan kegiatan rutin Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh dalam rangka mengkomunikasikan perkembangan ekonomi terkini yang telah disusun dalam Laporan Perekonomian Provinsi (LPP) Aceh edisi bulan Februari 2022.
Dalam paparannya sebagai keynote speaker, Achris Sarwani selaku Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh menyampaikan bahwa tugas Bank Indonesia di daerah adalah sebagai strategic advisor bagi pemerintah daerah, BI menyusun LPP berdasarkan data, informasi, survei, kajian serta penelitian yang telah dilakukan sebagai masukan kepada stakeholders dalam pengembangan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan IV 2021, tumbuh sangat tinggi yaitu 7,39%. Namun, pertumbuhan tinggi tersebut masih didominasi oleh Lapangan Usaha (LU) Pertanian dan LU Perdagangan. Sedangkan untuk LU Industri Pengolahan masih minim kontribusinya untuk ekonomi Aceh.
“Rendahnya porsi lapangan usaha industri pengolahan menunjukkan bahwa hasil pertanian di Aceh mayoritas langsung dijual dan minim dilakukan pengolahan sehingga berdampak pada kurangnya penciptaan nilai tambah ekonomi di Aceh” ujar Achris.
Lebih lanjut, Kepala Perwakilan BI Aceh menyampaikan bahwa saat ini masih terdapat defisit neraca perdagangan antar daerah di Provinsi Aceh. Secara tren, angka defisit neraca perdagangan antar daerah di Aceh selalu meningkat sampai dengan puncaknya pada tahun 2020 yang tercatat sekitar Rp44 triliun.
Angka tersebut mengalami penurunan di tahun 2021 yang tercatat Rp35,7 triliun. Defisit neraca perdagangan sebagian besar disebabkan oleh pembelian barang-barang yang tidak dapat diproduksi di Aceh seperti kendaraan bermotor, spare part, bahan bakar.
Selain itu, terdapat beberapa komoditas yang juga mengalami defisit meskipun dapat diproduksi di Aceh seperti komoditas daging ayam ras dan telur ayam ras. Hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi pemerintah daerah dan seluruh stakeholders untuk meningkatkan produksi komoditas yang masih defisit yang dapat diproduksi di Aceh agar dapat memperkecil defisit neraca perdagangan antar daerah.
Selain pemaparan tentang kondisi ekonomi terkini, dalam AEF juga disampaikan mengenai hasil penelitian Komoditas/Produk/Jenis Usaha (KPJU) Unggulan UMKM Provinsi Aceh pada tahun 2021.
Penelitian tersebut merupakan hasil kerja sama antara Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh dengan Berka Semi Strategika yang dilaksanakan pada tahun 2021.
Dalam diseminasinya, M. Karebet Wijajakusuma, MA menyampaikan bahwa KPJU disusun di seluruh Kota/Kabupaten mulai dari tingkat Kecamatan hingga tingkat Provinsi dengan mendasarkan informasi dari narasumber ahli, dan dilakukan pembobotan per sektor lapangan usaha.
Berdasarkan hasil penelitian KPJU tahun 2021, berikut 5 peringkat teratas komoditas unggulan di Provinsi Aceh: (1) padi; (2) makanan/kue khas Aceh; (3) toko sembako; (4) toko kelontong; dan (5) kelapa sawit.
Plt. Ketua IAEI Aceh, Prof. Nazaruddin AW, MA dalam paparannya menyampaikan bahwa perlunya mendorong sosialisasi dan mengkomunikasikan tentang ekonomi syariah pasca implementasi Qanun Lembaga Keuangan Syariah, karena masih cukup rendahnya literasi ekonomi/keuangan syariah di Aceh yaitu tercatat 21% dengan tingkat inklusivitasnya adalah 41%.
Lebih lanjut, pemanfaatan pembiayaan syariah di Aceh juga masih didominasi untuk penggunaan konsumtif dibandingkan dengan produktif. Sehingga hal tersebut belum optimal dalam memberikan multiplier effect untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya narasumber ketiga yaitu Tissa Aunilla, Co-Founder Pipiltin Cocoa menyampaikan materi tentang Sustainability Cocoa in Indonesia atau pengembangan coklat yang berkelanjutan di Indonesia.
Menurut Tissa, biji cocoa di Indonesia merupakan salah satu yang terbaik di dunia dan digunakan untuk produk-produk premium di negara terkenal penghasil coklat seperti Swiss dan Belgia.
Namun, dari sisi produksi, jumlah produksi Cocoa mengalami penurunan dari tahun-ke tahun. Pada tahun 2010 produksi Cocoa Indonesia merupakan paling besar ke-3 di dunia dengan produksi sekitar 800.000 ton per tahun.
Pada tahun 2020 produksi Cocoa Indonesia hanya berkisar 200.000 ton per tahun dan menjadi negara produsen Cocoa nomor 6 di dunia. Dalam melakukan bisnisnya, Pipiltin Cocoa bekerja sama langsung dengan petani untuk memotong jalur distribusi sehingga memberikan harga yang lebih baik kepada para petani.
Cocoa yang berasal dari Aceh sendiri menurut Tissa memiliki keunikan tersendiri karena memiliki kadar kepekatan yang paling tinggi sehingga memiliki cita rasa yang lebih pahit dan baik digunakan untuk kesehatan.
Kesimpulan dari diskusi Aceh Economic Forum (AEF) 2022 dengan tema Pengembangan Ekosistem Syariah dalam Mendukung Pengembangan dan Hilirisasi Produk Unggulan, bahwa diperlukan integrasi yang kuat antara pembangunan sektor riil dengan kesiapan sektor keuangan syariah untuk menciptakan hilirisasi produk unggulan, dan meningkatkan inklusi ekonomi bagi masyarakat Aceh. Diantaranya, model bisnis yang dapat dibangun dan diimplementasikan yaitu integrasi sektor bisnis dan aktivitas sosial, serta pemanfaatan seluruh instrumen ekonomi syariah yang ada di Aceh.