Wacana tentang penghentian Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) telah menjadi topik pembicaraan yang luas di Aceh akhir-akhir ini. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri terakhir dari 4 seri wawancara.
Pemerintah Aceh akan menghentikan pembayaran premi kesehatan 2,2 juta masyarakat Aceh mulai 1 April 2022. Premi tersebut selama ini ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Penghentian ini dilakukan dengan harapan masyarakat mampu bisa langsung melanjutkan pembayaran premi BPJS secara mandiri.
Selama ini ada empat kategori premi Kesehatan di Aceh, antara lain yang ditanggung JKA sebanyak 2,2 juta jiwa, peserta mandiri 123 ribu orang, 801 ribu merupakan PNS/TNI. Sementara masyarakat yang ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) berjumlah 2,1 juta jiwa.
Jika merujuk pada angka data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa masyarakat miskin di Aceh sebesar 15 persen atau berjumlah 850,26 ribu jiwa pada September 2021. Namun, pemerintah pusat menanggung 2,1 juta JKN-KIS untuk Aceh. Tidak hanya menanggung masyarakat miskin, tetapi juga sebagian besar masyarakat mampu atau masyarakat menengah ke atas.
Akademisi dari Universitas Syiah Kuala (USK), Elly Sufriadi menyayangkan bahwa selama ini Pemerintah Aceh tidak pernah menelisik dari 2,1 jiwa beban premi yang dibayarkankan itu apakah benar-benar layak atau tidak. Ini terjadi karena Pemerintah Aceh tidak memiliki basis data yang konkrit soal siapa yang berhak dan tidak berhak.
Menurutnya JKA tetap dilanjutkan, tetapi tidak dengan skema seperti sekarang ini. Pemerintah Aceh harus memastikan bahwa yang menerima dan dibayar adalah pihak yang benar-benar berhak.
Berikut wawancara lengkap Jay Musta dari Kantor Berita Radio Antero dengan Elly Sufriadi yang disiarkan secara live dalam program Selebrasi Pagi 102 FM, Selasa (22/3/2022).
Bagaimana agar JKA tepat sasaran?
Ya, dari sisi waktu sebenarnya ini terlambat. Masalah tumpang-tindih, terlalu besar anggaran, keinginan agar JKA tetap lanjut. Itu kan sebenarnya bukan sekarang sudah dimulai. 2019 Pemerintah Aceh juga pusing waktu itu antara melanjutkan atau menghentikan kerja sama dengan BPJS. Masalahnya adalah kita juga tidak bisa melihat bahwa ini kemudian dihentikan dengan serta merta. Problem utamanya di mana? Dalam basis data. Pemerintah Aceh tidak memiliki basis data yang konkrit soal siapa yang berhak dan tidak berhak.
Saya akan urutkan sedikit data. Bahwa yang diberikan oleh Jamkesmas dari pusat itu sekitar 1,8 juta penduduk Aceh. Nah, ini mengcover 36 persen lebih penduduk Aceh sementara angka kemiskinan kita cuma 15,5 persen data September 2021. Artinya adalah yang diberikan oleh pusat dalam bentuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) ini melebihi dari angka kemiskinan kita, termasuk di situ yang rentan miskin, hampir miskin, atau istilah lain di sebut dengan desil empat. Memang antar provinsi persentasenya berbeda-beda secara rata-rata nasional 40 persen, tetapi Aceh 36 persen, Papua 75 persen, dan DKI cuma 11 persen lebih. Lalu setelah 1,8 juta jiwa, penduduk Aceh juga ada sekitar 930.000 peserta BPJS dari kalangan PNS, TNI-Polri, karyawan BUMN, karyawan swasta, beserta keluarga. Itu termasuk juga kemudian yang BPJS Mandiri sekitar Rp30.000. Artinya apa? Ada sekitar 2,5 sampai 2,2 juta jiwa penduduk Aceh yang selama ini dibayar oleh pemerintah Aceh iuran BPJS-nya sebesar Rp35.000 per bulan.
Pemerintah Aceh tidak pernah menelisik dari 2,1 atau 2,2 juta jiwa itu layak atau tidak. Kita tidak sekedar bicara melanjutkan, tetapi kita harus kritis dan harus memastikan bahwa yang menerima dan dibayar oleh pemerintah Aceh itu adalah pihak yang berhak. Sekarang mari kita lihat dengan komposisi tadi bahwa penduduk miskin sudah ter-cover semua bahkan sampai yang rentan miskin. Lalu 2,2 juta jiwa ini hampir bisa dipastikan banyak dari kalangan mampu, menengah ke atas, berbagai jenis profesi. Mohon maaf kalau saya katakan bahwa kaum minoritas, misalnya saudara kita yang tinggal di Peunayong, rata-rata mereka itu memiliki asuransi pribadi dan asuransi komersil. Begitu juga dengan beberapa kalangan mayarakat Aceh yang relatif mampu, tetapi itu kan tidak ada datanya.
Begitu juga misalnya hari ini, yang lebih tragis lagi ada orang yang sudah meninggal karena tidak diurus akte kematiannya masih ada bertengger namanya dalam data kependudukan dan itu juga dibayar oleh pemerintah Aceh. Malu kita sebenarnya, tetapi inilah yang terjadi selama ini.
Jadi, jalan keluar yang paling mungkin saat ini adalah perpanjang saja dulu untuk tiga bulan berikutnya, tetapi dengan satu pekerjaan yang wajib dilakukan adalah kalau untuk dilakukan secara berjenjang kita menjustifikasi data kita tidak sempat. Cara cepatnya adalah kita buka saja pendaftaran untuk yang 2,1 juta jiwa ini, siapa yang memang akan memanfaatkan kembali JKA karena terus terang saya katakan banyak juga yang dibayar iuran BPJS oleh pemerintah Aceh selama ini karena BPJS itu adalah Kelas III yang sama dengan JKA, sama seperti PBI tadi. Mereka masuk rumah sakit, mereka tidak mau memanfaatkan itu karena Kelas III. Mereka merasa tidak nyaman. Mereka akhirnya memilih Kelas I. Dalam istilah BPJS atau JKA tidak ada istilah upgrade dari Kelas III ke Kelas I. Artinya, ketika mereka tidak mau pakai ya sudah, berarti sia-sia dibayarkan untuk mereka. Mereka bayar dengan kemampuan sendiri. Banyak sekali dari kalangan masyarakat Aceh yang seperti itu.
Jadi, dengan dibuka model pendaftaran secara inisiatif dari peserta yang memang membutuhkan harapannya adalah yang kemudian terdata itu adalah betul-betul orang yang memang berhak dan membutuhkan. Nah, saya memprediksi paling ada sekitar 500 sampai 700.000 tinggal yang mungkin merasa masih berharap mendapatkan fasilitas JKA. Selebihnya mereka sudah punya jaminan masing-masing.
Apa upaya yang dapat dilakukan untuk pembenahan data ini?
Ya, seperti yang saya katakan tadi, dibuka saja pendaftaran. Pendaftaran itu bisa lebih cepat, dihubungkan ke publik yang di luar penerima PBI atau Jamkesmas dari pusat. Silakan mendaftar ulang bila ingin menjadi peserta JKA dengan catatan bahwa ini akan dilayani untuk fasilitas dengan Kelas III. Itu harus disampaikan juga. Jangan kemudian orang berpikir nanti, “Ambil saja dulu Kelas III nanti kita upgrade ke Kelas I”. Ya, tidak bisa. Informasi ini harus utuh sampai ke masyarakat sehingga kemudian orang yang mendaftar itu betul-betul adalah orang yang tetap membutuhkan.
Apa yang mestinya dilakukan Dinas Kependudukan dan Mobilitas Penduduk agar data penduduk Aceh akurat?
Ini saya sampaikan satu hal. Pemerintah Aceh periode 2017-2022 salah satu program unggulannya adalah Sistem Informasi Aceh Terpadu (SIAT). Dalam SIAT ini juga memastikan bahwa data kependudukan itu valid. Artinya valid adalah tidak ada lagi orang-orang yang sudah meninggal, tetapi masih ada dalam data kependudukan lalu kemudian yang sudah lahir belum punya akte kelahiran, kemudian ada klasifikasi juga kategori tingkat kemampuan di masyarakat.
Lalu kemudian tindak lanjutnya di 2019 itu hampir di seluruh gampong di Aceh ada yang namanya PRG (Petugas Registrasi Gampong). Petugas Registrasi Gampong ini merupakan perpanjangan tangan dari Dinas Kependudukan Aceh untuk memvalidasi data kependudukan, tetapi sayangnya apa? Ketika sistem rekrutment yang mungkin tidak berdasar sehingga terpilihlah PRG yang tidak punya kualifikasi yang cukup baik, komitmen yang kurang, ditambah lagi dengan pimpinan di berbagai level mulai dari keuchik, camat, bupati, tidak merasa begitu berkepentingan dengan hal ini. Akibatnya ya ini yang kita rasakan hari ini.
Kita bicara terlalu jauh omong kosong terlalu melebar tidak ada gunanya. Kita mau memperpanjang atau tutup pun yang namanya basis data kependudukan itu wajib harus kita tertibkan.
Apakah basis E-KTP tidak bisa digunakan?
Jelas sebenarnya sekarang E-KTP itu menjadi identitas dari seluruh penduduk, tetapi ingat, begitu orang meninggal kan keluar akte kematian. Begitu keluar dari akte kematian namanya tercoret dari penduduk Aceh. Tapi hari ini ada yang sudah meninggal dua atau tiga tahun yang lalu, namanya masih ada dalam Kartu Keluarga bahkan dibayar iuran BPJS. Datanya konkrit, kok. Terbukti ada beberapa saudara kita di Aceh yang sudah meninggal lima atau enam tahun yang lalu masih dibayar iurannya oleh JKA, oleh Pemerintah Aceh. Itu salah satu bukti bahwa kita tidak siap dengan ini. Dampak yang paling miris adalah kita sangat boros dengan anggaran.
Jadi, bayangkan dengan penghematan Rp1,2 Triliyun misalnya kita bisa menghemat tinggal Rp500 atau Rp400 Milyar. Uang tersebut bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi masyarakat Aceh.
Apa saja langkah yang perlu dilakukan dalam pengelolaan JKA ini?
Dalam konteks sekarang ya lakukan seperti itu tadi seperti yang sekarang. JKA tetap dilanjutkan, tetapi tidak dengan skema seperti yang selama ini. Artinya, pemerintah Aceh harus lebih selektif siapa yang memang akan dibayar oleh pemerintah Aceh. Kita bukan tidak ingin memberikan hak rakyat Aceh. Bukan seperti itu. Kita tetap berkomitmen memberikan kepada orang yang berhak dan membutuhkan. Bagi yang memang tidak membutuhkan,ya tidak perlu kita harus bayarkan. Toh, nanti dia juga tidak akan memakainya. Ini kan sia-sia.
Jadi, JKA dilanjutkan dulu dengan jangka waktu tiga bulan. Selama tiga bulan itu pemerintah Aceh kemudian melakukan kembali pendataan ulang dengan cara si Peserta yang bersangkutan yang harus proaktif mendaftar.
Pendaftarannya dibuka dan diumumkan ke publik dengan catatan bahwa JKA seperti selama ini hanya mengcover Kelas III. Dalam waktu tiga bulan diperolehlah data sejumlah orang yang memang betul-betul berhak. Bagi yang tidak mendaftar -mereka seperti yang saya katakan tadi- masing-masing sudah mempunyai asuransi pribadi dan hal ini tidak terdata oleh Pemerintah Aceh.
Setelah memiliki basis data tersebut, pemerintah Aceh silakan mengambil sikap, apakah tetap melanjutkan dengan BPJS atau dengan pola sendiri misalnya Pemerintah Aceh melakukannya dengan provider lain yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh, BUMG misalnya. Tidak tertutup kemungkinan itu, sejauh kita juga memiliki kapasitas dan kemampuan melakukan verifikasi dan lain-lain. Jadi, jelas ini harus diperpanjang dulu minimal tiga bulan JKA-nya supaya kita memberi waktu orang-orang yang memang seharusnya berhak dan bisa menikmati layanan ini. Sementara yang tidak berhak memang tidak perlu kita teruskan.
Bagaimana pengalihan dari BPJS Kesehatan kepada Badan Usaha milik daerah dapat dilakukan?
Sangat memungkinkan, tetapi tentu tidak dalam waktu serta merta. Membutuhkan kajian-kajian, seberapa besar kapasitas keuangan, dan sebagainya. Kemudian bagaimana mekanisme dari rumah sakit. Saya kira, kalaupun tiga bulan dianggap tidak cukup, ya jadi enam bulan, tetapi yang jelas tidak boleh berlama-lama dengan pola selama ini karena terlalu besar anggaran kita yang tersedot ke sana. (Lia Dali)