Gerak: Ada Apa Sebenarnya BPJS Menghisap Darah JKA?

Wacana tentang penghentian Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) telah menjadi topik pembicaraan yang luas di Aceh akhir-akhir ini. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri 3 dari 4 seri wawancara.

Pemerintah Aceh memutuskan untuk berhenti menanggung premi peserta Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang masuk golongan masyarakat mampu per 1 April 2022. Beleid tidak lagi menanggung premi peserta JKA tersebut dinilai sebagai langkah evaluasi dan rasionalisasi pelaksanaan kerja sama JKA antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan.

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan jumlah uang yang dikeluarkan pemerintah Aceh untuk premi tersebut cukup tinggi setiap tahunnya, tetapi data output terhadap pengguna layanan sama sekali tidak terupdate sehingga potensi double claim dari layanan yang dilakukan oleh unit layanan baik puskesmas maupun rumah sakit sangat potensial terjadi korupsi dan manipulasi data. 

Menurutnya, BPJS sebagai pihak pengelola dana tidak terbuka terhadap jumlah data publik yang mendapat klaim dari dana JKA. Oleh karena itu, evaluasi dan audit terhadap manajemen pengelolaan program JKA penting dilakukan terutama untuk menjamin seluruh anggaran yang diproyeksikan dalam APBA tepat sasaran.

Berikut wawancara lengkap Lia Dali dari Kantor Berita Radio Antero dengan Askhalani yang disiarkan secara live dalam program Selebrasi Sore 102 FM, Selasa (22/3/2022).

Di mana sumber masalah JKA ini?

Pertama kita ingin menyampaikan begini, bahwa program JKA adalah program fundamental publik pasca konflik. Jadi, kebutuhan untuk mengcover pembiayaan bagi masyarakat miskin dalam berobat adalah salah satu alternatif dari lahirnya perdamaian yang memang menjadi salah satu tekad dari para pihak sehingga program ini merupakan salah satu program fundamental yang tidak bisa dihapus atau ditarik dalam ranah politik apapun karena ini basisnya adalah kebutuhan warga.

Nah, ketika kemudian pemerintah dalam hal ini pemerintah Aceh dan DPRA dalam konteks bicara soal keberlanjutan tiba-tiba ada isu untuk menghapusnya. Ini kan sesuatu yang kemudian akan membuat publik menjadi tidak sependapat dengan itu. Ada banyak hal yang melatarbelakangi mengapa kemudian program JKA ini sepertinya memang dicari alternatif untuk dihapus. Salah satunya adalah soal jumlah uang yang dikeluarkan pemerintah tinggi setiap tahunnya, tetapi kemudian data output terhadap pengguna layanan itu sama sekali tidak terupdate. Nah, puncanya ada di mana? Kalau kita melihat persoalan ini puncanya ada pada para pihak yang menjadi pengelola atau penerima kontrak kerja sama, yaitu BPJS.

BPJS kita tahu sangat tidak terbuka menyangkut jumlah kapital yang kemudian menjadi nilai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah Aceh setiap tahun. Nah, kita tahu jumlah penduduk miskin yang di klaim 2 juta jiwa pasti setiap tahunnya mengalami perubahan, bisa perubahan karena meninggal dunia, bisa juga perubahan karena kelahiran baru, tetapi jumlah kalkulasinya dipastikan akan menurun karena setiap kebutuhan tidak mungkin akan habis, misalnya angkanya per satu tahunan itu harus menghabiskan Rp600 Milyar. Itu tidak mungkin karena jumlah yang dilakukan untuk biaya pengobatan bisa jadi berkurang atau bahkan bisa jadi lebih tinggi. Jadi, akar persoalan mengapa kemudian menggeliding sampai JKA ini mau dihapuskan, persoalan yang pertama adalah transparansi pengelolaan data dan penggunaan anggaran. Itu yang menjadi kunci.

Bagaimana dengan tumpang tindih data antara JKA, Askes, dan BPJS Tenaga Kerja serta BPJS Mandiri, tetapi pihak BPJS belum memberikan data yang transparan. Apa penilaian Anda?

Nah, selain dari soal transparansi tentang penggunaan tadi, salah satu persoalan yang memang menjadi persoalan kunci adalah soal pengelola, yaitu BPJS. Mengapa kita sebut pengelolanya yang salah? Karena kita tahu BPJS itu mengelola hampir seluruh proses terkait dengan kesehatan di Indonesia. Ada dari APBN, mandiri, serta juga dari perusahan-perusahaan lain yang joint dengan itu. Nah, karena tidak terbukanya data terpilah ini maka akan muncul persoalan baru, yaitu terjadinya tumpang-tindih.

Siapa yang melakukan proses terkait dengan tumpang-tindih ini, yaitu di unit layanan. Unit layanan itu ada di puskesmas dan rumah sakit. Puskesmas dan rumah sakit menjadi tidak terkontrol. Karena apa? Jumlah orang yang melakukan permohonan untuk layanan kesehatan kan berganti-ganti, misal kalau yang mandiri dipastikan dia akan berdiri, tidak mungkin dia akan double karena sudah ditunjuk mana rumah sakit yang mengelolanya. Tetapi kalau dari sumber yang lain misalnya untuk kepentingan masyarakat dari JKN, Askes, dan sebagainya, itu dipastikan akan tumpang-tindih karena tidak semua datanya ter-cover.

Jadi, memang ini menjadi problem baru dalam konteks bicara soal trasnparansi pengelolaan pada anggaran dan data yang dilakukan oleh BPJS.

Bagaimana potensi korupsi dan manipulasi dalam kasus pengelolaan JKA oleh BPJS Kesehatan ini?

Kalau kita mau merujuk kepada proses terkait dengan tata cara alokasi anggaran kemudian tata cara klaim pada rumah sakit atau unit layanan, itu akan sangat ketahuan. Ada beberapa contoh yang terjadi di unit layanan, misalnya begini, puskesmas akan mengarahkan -karena jumlah angka yang di-cover di JKA itu agak tinggi sedikit dibandingkan dengan JKN- maka kemudian pihak rumah sakit atau puskesmas akan mendorong masyarakat untuk mengurus JKA terlebih dahulu. Begitu jumlah anggaran JKA habis, baru kemudian dipakai APBN. Pertanyaan saya, “Apakah kemudian orang yang mendapat layanan itu bisa dengan mudahnya mendapatkan akumulasi dari JKA dan JKN?” Nah, ini yang menjadi tumpang-tindih.

Kedua adalah soal klaim. Klaim pembiayaan. Kita tahu betul ini skemanya. Jadi, rumah sakit atau unit layanan dalam hal ini puskesmas akan melakukan klaim per termin, “Berapa jumlah orang yang berobat?” Maka akan diklaim ke BPJS.

Nah, saya agak curiga begini, masing-masing unit layanan ini akan berlomba-lomba mencari berapa jumlah pasien yang berkunjung. Jadi, angkanya terlalu tinggi, begitu diklaim kemudian tidak pernah menjustifikasi apakah ini dari JKN atau ini bersumber dari APBN atau bahkan dari JKA? Jadi, akumulasinya seolah-olah seluruh kebutuhan orang yang berobat akan dicari akumulasi mana yang kemudian paling mudah untuk mendapatkan uang.

Saya sedikit ragu begini, pertahun itu kan angkanya RP500 sampai Rp600 Milyar kontraknya dengan BPJS. Pertanyaan kita, “Apakah seluruh masyarakat Aceh atau 2 juta masyarakat miskin itu berobat?” Belum tentu, tetapi uang itu dianggap habis. Nah, ini yang menjadi persoalan, karena apa? Uang yang dianggap habis ini kan belum tentu dipakai untuk mengobati orang atau biaya untuk kesehatan orang miskin, tetapi bisa jadi untuk kepentingan yang lain. Ada bahkan dulu itu, sampai untuk biaya-biaya yang lain yang kemudian masuk ke dalam biaya kapitasi yang di klaim ke JKA. Nah, ini yang harusnya terbuka.

Sedikit menjadi pertanyaan bagi BPJS. BPJS sebagai unit pengelola harusnya mempunya basis data, yaitu by orang, by alamat, by NIK. Ini sumbernya dari JKA. Ini sumbernya dari JKN. Dengan demikian akan kelihatan proporsi berapa jumlah yang ditanggung untuk masyarakat Aceh dan berapa masyarakat Aceh yang tidak ditanggung dari JKA, tapi ini kan tidak. Sampai saat ini tidak ada data tersebut bahkan kalau kita menghitung dari sejak program ini diluncurkan tahun 2007 sampai saat ini, tidak ada data terpilah apapun yang ada di unit pengelolaan BPJS.

Bagaimana audit manajemen pengelolaan JKA oleh BPJS Kesehatan ini bisa dilakukan?

Salah satu cara melihat program ini tepat sasaran atau tidak adalah dengan melakukan audit forensik. Siapa yang bisa melakukan audit forensik? Bisa BPK RI ataupun BPKP. BPKP bisa diminta oleh pemerintah Aceh untuk melakukan annual audit terkait dengan manajemen pengelolaan dana JKA ini. Apakah dia menimbulkan tumpang-tindih atau double claim? Apakah dia masih perlu perbaikan?

Nah, salah satu hal yang perlu dilakukan adalah pemerintah Aceh harus berani dong sebagai pengguna jasa. Kan uangnya dari pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh harus berani meminta pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa BPKP atau BPK untuk melakukan audit karena uangnya adalah uang pemerintah Aceh, bukan uang BPJS. Pemerintah Aceh menyurati BPK atau BPKP untuk permohonan audit terkait dengan data distribusi pengelolaan anggaran khususnya dari JKA. Itu akan kelihatan, ada tidak ketimpangan? Kalau misalnya ditemukan ketimpangan maka jangan malu-malu untuk memutuskan kontrak dengan BPJS. Buat saja dengan menggunakan sistem yang baru atau dikelola langsung oleh unit baru yang didorong oleh pemerintah Aceh misalnya unit ini adalah UPTD yang dibentuk secara permanen bekerjasama dengan bank, misalnya Bank Aceh. Memang sistemnya ini adalah sistem modal. Jadi, orang menempatkan modal, baru kemudian orang menarik sedikit-sedikit: berapa biaya orang klaim, berapa orang yang sakit, berapa jumlah yang harus dibayarkan ke rumah sakit atau puskesmas.

Daripada menumpuk uangnya ke Jakarta, ke BPJS, dipakai untuk kepentingan non-Aceh, lebih bagus kalau memang sudah ada analisis kuat maka didorong saja kerja sama dengan Bank Aceh atau unit layanan yang lain. Uangnya beredar di Aceh, kepentingannya juga untuk rakyat Aceh. 

Apakah sebaiknya JKA ini dikelola sendiri oleh perusahaan atau lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh? Apa solusi terbaik menurut Anda?

Kalau saya melihat begini: dua-duanya boleh. Bisa perusahaan swasta, tetapi swasta itu adalah perusahaan yang memiliki track record yang bagus. Tidak juga kemudian dia dibangun oleh pemerintah atau oleh orang-perorang, dibangun oleh korporasi tertentu, misalnya orang-orang yang memang ingin mendapatkan program tersebut kemudian membangun jasa baru dan untuk itu didorong. Itu tidak boleh.

Saran saya, ini juga diperkuat dengan regulasi. Apa regulasi yang perlu diperkuat? Salah satu alternatif misalnya kalau memang ini menjadi unit layanan maka mungkin pemerintah Aceh bersama dengan DPRA sudah boleh merancang kebutuhan qanun tentang pelaksanaan dana JKA. Nah, kalau misalnya sudah ada qanun pasti nanti yang akan menjadi tupeksi itu adalah UPTD.

Dia mengelola secara kontinu terkait dengan pengelolaan dana JKA. Uangnya ada di Aceh, dipakai oleh orang Aceh, kepentingannya juga untuk orang Aceh. Kalau tidak mampu bisa bekerjasama dengan Bank Aceh atau bank-bank lain. Bank-bank yang baru, Bank Hikmah Wakillah, Bank Mustaqim, dan sebagainya yang memang kalau dilihat dari track record-nya memiliki kemampuan secara financial dan secara prosedur bisa dipakai oleh pemerintah Aceh untuk mendorong pengelolaan ini.

Jadi, mengapa harus ke BPJS? BPJS kan sudah sangat banyak mengelola sumber dana. Kemudian juga isu-isu terkait dengan bahwa dalam masa-masa tertentu dia kolapsjuga cukup tinggi.

Daripada uang kemudian habis dipakai untuk kepentingan yang lain, lebih bagus dipakai untuk kepentingan Aceh. Nah, bagaimana kepentingan Aceh? Tempatkan di modal Bank Aceh. Uang itu bisa diputar oleh Bank Aceh kemudian dipakai kepentingannya untuk mengobati masyarakat Aceh. Duit habis tidak habis yang untung adalah orang Aceh. Daripada kemudian ditempatkan di BPJS, ya mohon maaflah ini bukan bicara primordial ya, tetapi kemudian kelihatannya seperti itu: Uang kita tempatkan Rp600 sampai Rp700 Milyar per tahun malah dampaknya tidak dirasakan oleh publik.

Jika dianggarkan 1,2 triliun pada 2022 ini berarti setiap bulan 100 miliar. Apakah kenyataannya mencapai angka sebesar itu untuk rakyat Aceh yang berobat setiap bulan?

Ini mohon maaf juga, kalau misalnya data yang terpakai itu adalah jumlah orang sakit di atas dari yang sudah diproyeksikan. Angka proyeksi ini sudah disebutkan 1,2 Triliyun persatu tahun dibagi 12. Kalau dihitung berarti ada Rp100 Milyar perbulan. Pertanyaan kita, “Apakah Rp100 Milyar perbulan itu akan habis?” Saya yakin tidak karena tidak semua orang sakit. Kalau pun ada orang sakit kan pasti biayanya juga tidak semuanya dari JKA. Syaratnya apa? Seluruh data itu harus terintegrasi dulu, “Apakah benar penduduk miskin Aceh itu membutuhkan biaya 100 Milyar karena sakit serentak?” Kan tidak.

Nah, karena ini memang proses layanan yang membutuhkan dukungan para pihak maka alternatif pertama yang paling penting adalah soal data jumlah orang. Berapa sebenarnya yang mau ditanggung oleh Pemerintah Aceh? 2,5 jutakah? 3 juta kah? atau 4 juta orang? Atau bahkan semua penduduk Aceh baik miskin maupun kaya akan ditanggung JKA? Jangan salah persepsi begini, “Kalau dia orang kaya maka tidak boleh JKA”. Tidak boleh seperti itu. Orang kaya bisa jadi miskin karena berobatnya rutin. Ada orang miskin yang berobatnya tidak terlalu tinggi sehingga uang JKA yang dia pakai tidak terlalu banyak. Nah, ini yang harus dijelaskan oleh pemerintah Aceh. Jangan sampai kemudian muncul stigma begini, “Orang kaya di Aceh harus mandiri. Orang miskin boleh pakai JKA.” Pertanyaan saya, “Apakah orang kaya tidak akan jatuh miskin ketika dia berobat rutin?” Contoh penyakit-penyakit menahun seperti cuci darah, kanker, ginjal. Itu ‘kan penyakit-penyakit yang membutuhkan uang banyak.

Jadi, mau tidak mau proses itu harus dihitung oleh pemerintah Aceh, makanya angka Rp100 Milyar itu, apakah dihitung sampai sejauh itu atau hanya kepada unit layanan orang miskin saja? Saya meragukan angka Rp100 Milyar perbulan karena ada jumlah proporsi misalnya kebutuhan orang sakit bulan ini bisa jadi meninggi, bisa jadi berikutnya menurun. Kan tidak mungkin semua sakit serentak.

Apakah ada dugaan dibalik “diserahkannya” JKA kepada BPJS Kesehatan mengalir fee ke sejumlah pihak?

Kalau dulu dari hitungan kita itu ada sesuatu yang melatarbelakangi mengapa kemudian sampai pemerintah kita enggan sekali mendorong adanya kerja sama dengan pihak lain. Saya ingat betul tahun 2017 pasca pilkada, ada banyak sekali dukungan dari sipil Aceh termasuk tokoh-tokoh Aceh yang mendorong agar pemerintah Aceh membentuk unit layanan khusus, tetapi tidak terjadi. Dalam perjalanannya tetap menggunakan BPJS.

Kalau kita mau terbuka, “Ada apa sebenarnya BPJS menghisap darah JKA ini?” Nah, ini pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah Aceh. Mengapa mereka tidak mengelola saja? Kalau tidak mampu, ya bilang tidak mampu. Jangan kemudian menjadikan kepentingan tertentu atas dasar karena memang jumlahnya lumayan tinggi. Rp500 sampai Rp600 Milyar pertahun lumayan tinggi kalau dihitung dengan jumlah perkapita orang yang berobat, tetapi data sama sekali tidak punya. Kan lucu jadinya. Masa’ BUMN sekelas itu tidak memiliki basis data yang kuat terhadap jumlah orang yang memerlukan dana dari JKA. (Lia Dali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads