Pemerintah Aceh didesak dan dimintakan untuk mempertahankan dan memperpanjang kontrak para dai yang bertugas di daerah perbatasan dan pedalaman Aceh.
Saat ini sekitar 200 dai tersebut sedang mempertanyakan nasibnya dikarenakan akan diputuskan kontraknya mulai tahun depan, berdasarkan PP No 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
Hal tersebut disampaikan oleh Anggota DPRA yang juga Ketua Komisi VI DPRA Tgk H Irawan Abdullah, SAg dalam pertemuannya dengan para dai perbatasan Se-Aceh di Banda Aceh, Minggu (13/03/2022).
“Para dai itu selalu berada di garda terdepan untuk mengawal akidah dan mengembangkan keislaman masyarakat di perbatasan dan pedalaman Aceh yang rawan pemurtadan. Jadi sangat wajarlah para dai ini tetap dilanjutkan untuk tahun-tahun kedepannya juga,” kata Tgk Irawan Abdullah.
Wakil Ketua F-PKS DPRA itu menjelaskan jika dilihat dari tugas yang diemban dai tersebut di daerah perbatasan, maka tidak ada alasan Pemerintah Aceh untuk mengakhiri kontrak mareka. Akan tetapi sebaliknya para dai tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya di daerah perbatasan tersebut.
Anggota DPRA Dapil Aceh Besar, Banda Aceh dan Sabang itu menambahkan syariat Islam di Aceh semakin hari semakin besar tantangannya. Banyak isu-isu dan pemahaman yang salah mengenai syariat Islam yang berhembus di tengah masyarakat.
Oleh sebab itu, lanjutnya, sangat dibutuhkan peran dan kiprah para dai untuk bisa mendorong masyarakat mengamalkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan sekaligus memperkuat aqidah, membina moral dan memperkokoh ukhuwah dan syiar Islam. Apalagi di daerah perbatasan yang masyarakatnya sangat majemuk dan heterogen.
“Kami di DPRA akan terus memperjuangkan agar para dai tetap bekerja dan bertugas seperti biasa. Andaikan PP itupun diberlakukan umum seluruh Indonesia, maka Aceh dengan keistimewaan dan kekhususannya tentulah berbeda karena tidak ada di daerah lain,” jelas Tgk Irawan Abdullah.
Ia juga menambahkan apalagi selama ini anggaran untuk dai perbatasan itu bukanlah bersumber dari anggaran pemerintah pusat. Tetapi anggaran tersebut merupakan anggaran dari pemerintah Aceh sendiri.
“Dari itu kami desak agar pemerintah Aceh tetap mengalokasikan anggarannya untuk para dai perbatasan. Selain itu juga harus menyusun skema yang tepat dalam menentukan kebijakan ini, sehingga tidak merugikan masyarakat Aceh sendiri yang tinggal di daerah perbatasan dan pedalaman,” pungkas Tgk Irawan Abdullah.