Setelah 20 tahun menunggu, akhirnya tuntutan 11 warga Aceh terhadap perusahaan minyak raksasa ExxonMobil dipastikan masuk pengadilan Amerika Serikat tahun ini.
Tuntutan itu terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atas tindakan brutal yang dilakukan oleh militer Indonesia yang disewa oleh ExxonMobil untuk melindungi fasilitas pencairan gas alam mereka di Aceh pada tahun 1990-an.
Gugatan itu mulanya diajukan di Pengadilan Distrik untuk Distrik Columbia di AS pada Juni 2001. Penggugat menuduh ExxonMobil bertanggung jawab atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk pelecehan seksual, pembunuhan, dan pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota militer Indonesia terhadap penduduk desa yang mereka tuduh sebagai separatis.
Menanggapi hal tersebut, mantan Ketua Komnas HAM Indonesia Otto Syamsuddin Ishak mengatakan bahwa gugatan itu sudah muncul sejak tahun 2001. Pada saat itu dia sedang berada di New York. Dia dihubungi oleh pengacara untuk membantu menghubungi korban atau pihak-pihak yang bisa memfasilitasi pertemuan para pengacara tersebut dengan para korban yang bersedia menuntut pelanggaran HAM tersebut. Menurutnya kasus ini terhenti setelah runtuhnya gedung Word Trade Center (WTC) pada September 2001.
Selaku komisioner Komnas HAM pada saat itu, Otto mewawancarai para korban Rumoh Geudong. Dia mendapatkan informasi bahwa sebahagian dari para korban ada yang dibawa ke kamp Rancong. Warga ditangkap di Rumoh Geudong lalu diperiksa di kamp Rancong. Jika masih sehat akan dibawa kembali ke Rumoh Geudong. Jika tidak sehat, akan dibunuh atau dibuang ke Cot Panglima atau dihilangkan.
Kamp Rancong adalah pusat kamp penyiksaan yang ada di Aceh pada masa itu. Kamp tersebut berada di dalam kompleks ExxonMobil. Oleh karena itu, Otto menduga bahwa ExxonMobil memberikan fasilitas kepada pihak ABRI -pada saat itu disebut ABRI- dalam melakukan operasi dan pelanggaran HAM di Aceh. Itu pada periode Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah yang menggunakan operasi intelijen untuk melawan Aceh Merdeka.
“Jadi, kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi itu adalah pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan warga sipil. Hampir diseluruh daerah Operasi Jaring Merah. Korbannya bukan dari Lhokseumawe atau sekitar Aceh Utara saja, tetapi dari Aceh Timur, Aceh Pidie, Banda Aceh. Semua dibawa ke Rancong karena pada saat itu pusat operasi besar-besaran di bawah Korem Lilawangsa. Sebagian korban ada yang dibuang ke Cot Panglima, arah jalan ke Takengon dari Bireun. Kira-kira seperti itulah situasinya,” tegasnya.
Terkait hubungan antara militer dan perusahaan multinasional ExxonMobil di Aceh saat darurat militer atau dugaan bahwa militer melakukan tekanan agar perusahaan multinasional tersebut menyediakan fasilitas dan “uang keamanan” Otto mengatakan hal tersebut harus dibuktikan di pengadilan. Namun, dia menegaskan bahwa jelas ada hubungan simbiosis antara pihak militer dengan pihak ExxonMobil karena kamp Rancong pada awalnya bukan pusat militer, tetapi merupakan pemukiman, rumah-rumah atau perkantoran lalu dimanfaatkan oleh militer dan difasilitasi oleh ExxonMobil.
“Fasilitasnya itu bukan saja disediakan gedung untuk pusat penyiksaan dan pembunuhan, tetapi di samping rumah-rumah tersebut ExxonMobil juga memberikan fasilitas berupa beco untuk membuat kuburan masal dan sebagainya. Bahkan mungkin biaya operasi juga diberikan oleh ExxonMobil,” ujarnya.
Dalam laporan gugatan tertulis bahwa ExxonMobil menyewa anggota militer untuk menjaga pabrik mereka di Aceh. Namun, dalam sejumlah dokumen pengadilan, ExxonMobil mengklaim tidak mengetahui adanya pelanggaran HAM di fasilitas mereka saat itu sehingga mereka tak dapat dituntut.
Otto dengan tegas mengatakan bahwa tidak mungkin ExxonMobil tidak mengetahui hal tersebut karena pusat penyiksaannya berada di dalam kompleks ExxonMobil.
“Itu satu penolakan dengan alasan yang sangat lemah karena itu bisa dibuktikan. Oleh karena itu, sebaiknya pengacara, hakim, jaksa, dan ExxonMobil melakukan sidang di lokasi kejadian. Itu lebih bagus atau tinjau ke lokasi dalam waktu segera untuk melihat bagaimana situasi di lokasi tersebut,” tegasnya.
Otto menambahkan bahwa tahun 1998 dia pernah masuk ke lokasi kamp Rancong dan rumah tersebut telah dihancurkan oleh pihak pemakai yaitu kalangan ABRI pada saat itu.
Sementara itu ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Masthur Yahya mengatakan bahwa sejauh ini khusus untuk kasus tersebut pihaknya belum menerima pengaduan. Selama ini pihaknya melakukan pengungkapan kebenaran dengan cara menemui korban. KKR Aceh mengakui menemukan praktik-praktik pelanggaran HAM yang dialami oleh para korban di Aceh. Namun, sebagai lembaga non-yudisial KKR Aceh tidak menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Qanun KKR Aceh Nomor 17 Tahun 2013.
Masthur mengatakan dalam melakukan pengungkapan kebenaran sejak tahun 2017 hingga 2021 selama periode dirinya menjabat, kasus-kasus pelanggaran HAM seperti itu dicatat, tapi tidak mengarah kepada peradilan karena KKR memang bukan lembaga peradilan.
“KKR adalah lembaga yang dimandatkan untuk melakukan pengungkapan kebenaran, ada kejadiannya, ada waktunya, ada korbannya, dan pada ujungnya mendengar harapan korban terkait dengan reparasi. Apabila korban merasa membutuhkan adanya rekonsiliasi maka KKR akan memfasilitasi dan memediasi dengan para pihak,” tutupnya. (Lia Dali)