Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mengultimatum para penandatangan MoU Perdamaian Aceh di Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani bersama pada 15 Agustu 2005 di Helsinki, Finlandia.
Ketua YARA Safaruddin mengatakan, pihaknya mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) yang menandatangani MoU Helsinki untuk melaksanakan butir 1.1.4 MoU Helsinki yang menyebutkan batas Aceh merujuk pada peta 1 Juli 1956.
“Kami telah menyurati Pemerintah Pusat (Kemendagri, Kemenkum HAM, Badan Pertanahan Nasional, DPRA dan Partai Aceh mengenai Peta Aceh 1 Juli 1956 tapi sampai saat ini kesemuanya menyampaikan tidak menguasai peta tersebut,” ujarnya.
Selanjutnya Yara mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) yang menandatangani MoU Helsinki untuk melaksanakan butir 1.3.5 MoU Helsinki, yang berbunyi “Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh”. Saat ini, masih banyak pelabuhan laut dan Udara belum di kelola oleh Pemerintah Aceh.
Kemudian Mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) untuk segera membentuk Pengadilan HAM sebagaimana telah di sepakati dalam butir 2.2.2 “Sebuah Pengadilan HAM akan di bentuk di Aceh”, karena sampai saat ini Pengadilan HAM belum di bentuk di Aceh, kami telah menyurati Pemerintah Pusat mempertanyakan alasan belum di bentuknya Pengadilan HAM di Aceh, dan oleh Kementerian Sekretariat Negara memalui surat Nomor B-02/S/Humas/HM.00.00/08/2021 tanggal 11 Agustis 2021, meminta kami untuk mempertanyakan kepada Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, dan hal tersebut telah kami sampaikan juga kepada Kemenko Polhukam tentang hal yang sama dan masih menunggu jawaban dari Kemenko Polhukam.
Pihaknya kata Safar juga mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) untuk membuka kepada masyarakat Aceh jumlah dana yang telah di alokasikan pleh Pemerintah Pusat untuk rehabilitasi harta benda masyarakat Aceh yang hancur akibat konflik GAM dan Pemerintah RI, sebagaimana di sepakati dalam butir 3.2.4 MoU Helsinki “Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda public dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh”.
Selanjutnya mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) dan Pemerintah Aceh (Gubernur dan DPRA) untuk segera membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menyelesaiakan klaim harta benda masyarakat Aceh yang musnah akibat konflik, Komisi tersebut, telah di sepakati oleh GAM dan Pemerintah RI dalam MoU butir 3.2.6. yang menyatakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan, karena sampai saat ini masih sangat banyak harta benda masyarakat Aceh yang musnah akibat konflik dan menyebabkan kemiskinan saat itu belum di ganti kerugiannya oleh Pemerintah.
Selanjutnya mendesak para Pihak (Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia) untuk segera melaksanakan MoU Helsinki butir 3.2.5 yang menyatakan “Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi pasukan GAM kedalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak”, dan menyampaikan secara terbuka kepada masyarakat Aceh sejauh mana sudah mana sudah implementasi ini jika sudah di laksanakan.
“Ultimatum ini perlu menjadi perhatian serius dari Para Pihak karena kesepakatan yang telah di tandatangai tersebut bukan hanya mengikat para pihak, tapi juga seluruh rakyat Aceh baik yang mendukung Gerakan Aceh Merdeka maupun Pemerintah Republik Indonesia saat terjadi konflik di Aceh, kami akan memantau dengan serius ultimatum ini, dan jika tidak dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu dalam tahun 2021 ini maka kami akan mengambil upaya hukum bagi para pihak, keseriusan para pihak untuk menjalankan komitmen politiknya sangat mempengaruhi kepercayaan rakyat Aceh, baik itu untuk Gerakan Aceh Merdeka yang sudah bertransformasi ke Partai Aceh maupun kepada Pemerintah Pusat, sejarah telah mencatat, pengingkaran-pengingkaran terhadap kesepakatan perdamaian di Aceh telah melahirkan pemberontakan selanjutnya terhadap negara, dan sejarah itu tidak perlu lagi terjadi jika komitmen perdamaian itu di jalankan dengan sepenuh hati, apalagi masyarakat Aceh yang memegang teguh ajaran Islam yang dalam agama Islam janji mempunyai kedudukan yang sangat penting,” tuturnya.