Dua lembaga nonpemerintah yang selama ini bergerak dalam advokasi korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), SAFENet dan Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), serta media nirlaba Jaring.id yang didirikan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) berkolaborasi untuk mengangkat kisah-kisah korban kriminalisasi UU ITE ke ruang publik.
Hal ini dilakukan guna mengingatkan publik atas ancaman sejumlah pasal UU ITE terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Kriminalisasi yang dilakukan dengan menggunakan sejumlah pasal dalam UU ITE menempatkan demokrasi Indonesia di ujung tanduk.
“Buku dan microsite yang diluncurkan hari ini menggambarkan siapapun bisa kena pasal-pasal bermasalah di UU ITE. Melaporkan menggunakan pasal-pasal bermasalah di UU ITE tidak hanya membunuh kebebasan berekspresi tapi juga menghukum keluarga dan masa depan korban,” ungkap Koordinator PAKU ITE Muhammad Arsyad dalam peluncuran buku cerita korban berjudul “Matinya Kebebasan Berpendapat” dan microsite Semuabisakena.jaring.id yang berlangsung secara virtual, Rabu 23 Juni 2021.
Arsyad adalah aktivis antikorupsi asal Makassar yang menjadi salah satu korban kriminalisasi akibat pelaporan dengan menggunakan pasal di UU ITE di tahun 2013. Ia dilaporkan oleh anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar karena menulis pernyataan di Black Berry Messenger (BBM) yang dinilai mencemarkan nama baik pengusaha Nurdin Halid. Atas laporan ini, Arsyad harus menghuni hotel prodeo selama 100 hari.
Ada banyak kasus seperti Arsyad, dari Jakarta hingga Nias, dari Surabaya sampai Parepare.
“Kolaborasi ini ingin menunjukkan bahwa sejumlah pasal di UU ITE tidak hanya menyasar kelompok tertentu, tapi hampir semuanya. Jurnalis, aktivis, pengacara, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga. Jika tidak ada revisi atas UU ITE, maka akan semakin banyak korban yang berjatuhan,” ungkap Direktur Eksekutif PPMN Eni Mulia, dalam kesempatan sama.
Buku yang diluncurkan tersebut berisi kisah 10 korban UU ITE, sedang microsite Semuabisakena.jaring.id merupakan inisiatif crowd-source journalism yang menghimpun data dan cerita korban UU ITE dari berbagai pelosok di Indonesia. Ada lebih dari 300 data korban yang terhimpun di sini.
Data ini dimungkinkan bertambah karena di bawah inisiatif crowd-journalism, para korban UU ITE yang belum teridentifikasi sebelumnya bisa menginformasikan kasusnya di sini. Informasi mereka bisa ditindaklanjuti dari sisi advokasi—jika dibutuhkan—oleh SAFENet dan PAKU ITE, dan dari sisi laporan jurnalistik oleh Jaring.id.
“Pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengumpulan berita telah menjadi tren di sejumlah media di Amerika dan Eropa, namun di Indonesia ini masih merupakan hal baru. Kami berharap makin banyak organisasi media di Indonesia yang melakukan inisiatif semacam ini guna mendorong lahirnya liputan-liputan yang lebih berdampak,” jelas Eni.
Acara peluncuran juga diisi dengan diskusi buku yang menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya Choirul Anam (Komisioner Komnas HAM), Poengky Indarti (Komisioner Kompolnas), Taufik Basari (anggota Komisi III DPD), dan Wahyu Dhyatmika (Pemred Majalah Tempo).
Taufik Basari mengungkapkan apresiasi atas diluncurkannya buku dan microsite Semua Bisa Kena. Ia juga menyebut perlunya revisi terhadap UU ITE.
“Saya harus mengakui bahwa bangsa kita ini terasuk elitenya adalah sering denial, menyangkal realita bahwa UU ITE bermasalah. Bahwa semua orang bisa dikenakan pidana dengan UU ITE. Kalau bicara soal keinginan soal revisi UU ITE terhadap pasal tertentu, itu jadi harapan kita. Sekarang bola ada di pemerintah. Mudah-mudahan ada revisi. Kita harus berangkat dari fakta terhadap penyangkalan tadi,” terangnya.
Sementara itu, Wahyu Dhyatmika mengungkapkan sejumlah jurnalis yang menjadi korban UU ITE. Ia menyebut bahwa apa yang dialami oleh para korban ini menimbulkan efek yang menakutkan karena berekspresi kemudian bisa berujung bui.
“Pendapat bahwa jurnalis yang merasa bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah senjata pamungkas yang paling powerfull untuk melindungi pers, itu terpatahkan dengan kasus Diananta. Diananta mengirimkan artikel ke media Kumparan, liputannya memenuhi kaidah jurnalistik, ada upaya konfirmasi dan verifikasi. Kalau pun ada masalah, sudah dibawa ke Dewan Pers. Ternyata yang diputuskan oleh Dewan Pers tidak diindahkan dan kasus lanjut di pengadilan dan jatuh vonis,” ungkapnya.
Sebagai informasi, Diananta Putra Sumedi adalah mantan jurnalis Banjarhits.id yang divonis penjara 3 bulan 15 hari oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotabaru karena liputan jurnalistiknya.
Wahyu menambahkan bahwa hal ini merupakan pukulan luar biasa keras dan mengejutkan buat orang-orang yang merasa kebebasan pers di Indonesia sudah permanen. Kasus Diananta dan para jurnalis yang lain menjadi titik balik bahwa upaya ini belum selesai untuk kebebasan pers.
“Kita sekarang mundur untuk kembali ke era ketika kita harus was-was setiap saat kaena UU Pres bukan solusi yang fnal. Ini menimbulkan kekhawatiran, bagaimana nasip kebebasan berekresi dan berpendapat. Selama revisi tidak terjadi, selama UU ITE tidak diubah pasal karetnya kita akan terus dihantui kecemasan ini. Kita tidak bisa lagi menganggap Indonesia sebagai negara demokrasi kalau ini tidak diubah,” imbuhnya.
Dari data SAFEnet tercatat ada 316 kasus dari 2008 sampai 2020. 1.842 kasus dari olahan data Salinan Putusan Mahkamah Agung dari 2013 – kuartal pertama 2021. 15.056 akun yang diselidiki kepolisian dari data Tipidsiber Polri dari Mei 2017 – 2020.
Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto mengingatkan untuk tidak hanya berhenti bicara angka.
“Delapan tahun saya tanpa henti bertemu dengan mereka dan mendengar cerita mereka. Orang biasa seperti Ibu rumah tangga, penghuni kos, pekerja. Orang-orang yang harus bolak-balik pergi ke kantor polisi. Ditahan berhari-hari bahkan ada yang sampai 100 hari. Kemudian bersidang dan dipenjara. Orang-orang ini bukan angka, mereka punya nama. Mereka punya kehidupan. Yang kemudian dirampas begitu saja. Untuk kesalahan yang tidak pernah mereka perbuat. Dampak UU ITE pada mereka yang berkasus tidak banyak didengar orang, “ tambahnya.
Dalam acara peluncuran tersebut, empat orang korban UU ITE menyampaikan testimoninya. Kisah mereka juga menjadi materi dalam buku serta microsite Semua Bisa Kena, diantaranya adalah Baiq Nuril, Vivi Nathalia, Wadji, dan Diananta Putra Sumedi. Sejumlah korban menyebut bagaimana trauma masih menghantui mereka hingga kini.
“Melihat peluncuran buku ini saya teringat kejadian yang saya alami. Bulan ini mengingatkan saya pada peristiwa setahun ini setahun lalu saya harus hidup sendirian di penjara. Saya diasingkan ke Polres Kotabaru, Kalimantan Selatan. Begitu kejamnya UU ITE ini. Cukuplah pemerintah, janganlah bikin persoalan seperti ini. Sudah cukup banyak korban UU ITE. Baik dosen, masyarakat biasa, jurnalis, ibu rumahtangga, siapa pun bisa kena,” ungkap Diananta.
Diananta menyebut, bahwa tidak ada lagi jaminan kebebasan pers bagi jurnalis karena UU ITE telah membungkam kebebasan pers itu sendiri.
“Apa artinya UU Pers jika kita diterkam dengan UU lain yang bisa memenjarakan kita? Saya berharap pemerintah membuka diri, membuka mata, cabut pasal-pasal karet seperti itu,” pungkasnya.