Penggunaan istilah haji dan hajjah bagi masyarakat Indonesia yang sudah menunaikan ibadah haji memang sangat khas. Di negara-negara lain, penggunaan tersebut justru nyaris tidak ada. Darimanakah asal mula pemberlakukan istilah haji dan hajjah?
Ternyata, awalnya dari sebuah pulau kecil di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Berawal dari kecurigaan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap wabah pes yang hebat di Malang, Jawa Timur. Belanda menuduh wabah pes dibawa oleh kapal yang mengangkut jamaah haji dari tanah suci Makkah pada awal abad ke-20. Kemudian, mereka pun membangun sebuah kawasan karantina di pulau terpencil, Onrust, pada 1911.
Calon jamaah haji ataupun yang pulang dari ibadah haji dikarantina di Pulau Onrust supaya tidak menyebarkan wabah pes. Mereka harus menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum kembali ke daerah masing-masing. Karantina dilakukan selama sepekan, bahkan bisa lebih bergantung pada kondisi kesehatan yang bersangkutan.
“Pulang dari Onrust, mereka mendapatkan sertifikat haji dari Pemerintah Belanda untuk membuktikan bahwa mereka sudah lulus dari karantina. Maka, dari situlah asal mula orang Indonesia menggunakan gelar haji atau hajah di depan namanya,” ungkap Rucky Nellyta, kasi Koleksi dan Perawatan, Taman Arkeologi Onrust.
Lalu, dari mana sebenarnya wabah pes di Malang, apakah benar berasal dari kapal yang membawa jamaah haji atau kapal lainnya? Belakangan, diketahui bahwa wabah pes itu berasal dari kapal dagang VOC yang membawa beras dari Kota Rangon, Burma. Kota itu kini disebut Yangon dan Burma menjadi Myanmar.
Berasal dari tikus impor! Begitulah asal muasalnya. Tikus dari Belanda dan Myanmar ikut melanglang buana bersama kapal dagang VOC dari Belanda. Kapal itu melewati sejumlah negara di kawasan Asia hingga ke Indonesia dan singgah di Tanjung Perak, Jawa Timur.
Apa pun alasannya, yang jelas pembangunan karantina haji di Onrust menelan biaya sekitar 607 ribu gulden. Pembangunan sebanyak 35 barak itu bisa menampung 3.500 jamaah haji. Begitu rampung dibangun pada 1911, Onrust langsung digunakan saat itu pula. Selama sekitar 29 tahun, pulau itu beralih fungsi menjadi karantina haji.
Basirun Prawiroatmodjo yang menjadi juru tulis karantina haji pada 1919 dan bertugas di pulau ini hingga 1958, mengakui, Onrust menjadi lokalisasi karantina haji. Menurutnya, para haji yang pulang dari Tanah Suci pertama kali turun di Pulau Cipir yang bersebelahan dengan Onrust. Para jamaah satu per satu dicek oleh dua orang petugas.
Usai pemeriksaan, para haji itu harus menanggalkan seluruh pakaiannya, diganti dengan pakaian karantina. Kemudian, mereka dipersilakan mandi dan diperiksa oleh seorang dokter. Bila ada yang membawa bibit penyakit menular, diharuskan tinggal di stasiun karantina di Pulau Cipir. Karantina ini dibangun bersamaan dengan karantina di Pulau Onrust pada 1911.
Selama pemeriksaan kesehatan, pakaian pribadi serta kapal pengangkut difumigasi. Para jamaah yang dinyatakan sehat kemudian dibawa ke Onrust. Mereka naik getek dari ujung dermaga Pulau Cipir ke Pulau Onrust. Getek hanya dapat menampung delapan sampai 10 orang. Menaikinya cukup berbahaya, lebih-lebih bila air pasang. Tapi, sejauh ini tidak ada laporan pernah terjadi kecelakaan seperti terseret gelombang saat menaikinya.
Setiba di Onrust dari Cipir, para jamaah haji kembali diperiksa kesehatannya oleh seorang dokter. Terdapat pula enam orang petugas bangsa Belanda yang turut menangani jamaah haji. Mereka hanya berada di Onrust saat-saat musim haji.
Di Onrust ketika itu terdapat sebuah kapal motor bernama Kapal Onrust yang berlayar dua kali seminggu ke Tanjung Priok. Kapal ini berfungsi untuk mengangkut jenazah jamaah haji yang meninggal di Pulau Sakit (kini Pulau Bidadari) dan Pulau Kelor untuk dimakamkan. Kedua pulau yang merupakan satu gugus dengan Onrust dan Cipir ketika itu merupakan hutan belukar.
IHRAM.CO.ID