Qanun LKS, Dewan Syariah Aceh: “Kita Tidak Mencari Kesalahan, Tetapi Mencari Solusi”

Polemik tentang penutupan bank konvensional di Aceh dan belum maksimalnya layanan bank syariah telah menjadi pembicaraan yang luas di Aceh akhir-akhir ini. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting, ini merupakan seri 7 dari 10 seri wawancara.

Gubernur Nova Iriansyah telah mengukuhkan Dewan Syariah Aceh (DSA) periode 2021-2026. Ada pun anggotanya, yaitu Prof. Dr. M. Shabri Abdul Madjid, S.E., M.Ec sebagai ketua merangkap anggota, Dr. Eddy Gunawan, S.Ag., M.Ec, dan Dr. Zaky Fuad, M.Ag sebagai anggota tetap. Sementara dua orang lagi sebagai anggota pleno ex officio, yaitu Achris Sarwani dari Bank Indonesia Perwakilan Aceh dan Yusri dari Otoritas Jasa Keuangan Perwakilan Aceh.

DSA lahir atas perintah Qanun Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS) yang menyebutkan Pemerintah Aceh wajib membentuk Dewan Syariah Aceh. Lembaga ini akan bekerja sesuai dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 56 Tahun 2020 tentang Dewan Syariah Aceh. Kelima anggota DSA bertanggung jawab kepada Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Gubernur Aceh.

DSA bertugas melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan Dewan Penasehat Syariah (DPS) pada setiap lembaga keuangan syariah, melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan Dewan Syariah Kabupaten/Kota (DSK), dan melakukan sosialisasi, edukasi serta pelatihan.

Prof. Dr. M. Shabri Abdul Madjid, S.E., M.Ec mengatakan ketika lembaga keuangan syariah hadir maka kehadirannya diharapkan benar-benar beroperasi sepenuhnya sesuai dengan prinsip syariah. Untuk itu, keberadaan lembaga keuangan tersebut harus dikawal di berbagai lini.

Berikut wawancara lengkap Jay Musta dari Kantor Berita Radio Antero dengan M. Shabri Abdul Madjid.

Apa fungsi dan tugas Dewan Syariah Aceh?

Harus kita pahami bahwa lahirnya Qanun No. 11 Tahun 2008 mengamanatkan bahwa semua lembaga keuangan, apakah itu lembaga keuangan perbankan, lembaga keuangan non-perbankan, dan juga lembaga keuangan informal lainnya di Aceh, semuanya harus beroperasi sesuai dengan prinsip syariah. Artinya, lembaga-lembaga keuangan konvensional yang berbasis atau mengandung unsur riba tidak boleh ada di Aceh. Ini amanat qanun yang ditandatangani oleh gubernur pada akhir 2018. Qanun itu juga menyebutkan bahwa satu tahun setelah qanun tersebut lahir maka harus dibentuk dewan syariah.

Dewan syariah merupakan amanat qanun pasal 44, dewan syariah dibentuk tujuannya adalah untuk mengawasi operasional lembaga keuangan syariah yang ada di Aceh. Di samping itu, juga melakukan beberapa tugas penting karena DSA merupakan perpanjangan tangan Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Kalau kita lihat tugasnya dalam pasal 47, dewan syariah bertugas untuk melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan DPS. Semua lembaga keuangan, apakah koperasi, lembaga keuangan mikro, bank, takaful, asuransi syariah, pegadaian syariah, harus memiliki DPS. Ada level lembaga keuangan. Pada level lembaga keuangan, ada orang-orang yang memastikan operasionalnya itu sesuai dengan syariah.

Dalam proses aplikasi qanun ini memang kita ketahui perbankan konvensional tidak ada lagi di Aceh, sudah mundur dari Aceh karena operasional mereka tidak sesuai dengan qanun yang ada di wilayah hukum Aceh. DSA sudah lahir kemudian DSK. Kita sangat mengharapkan DSK paling lambat bisa terbentuk pada tahun depan, juga DPS. Kalau lembaga perbankan syariah memang tidak ada masalah, tetapi yang menjadi kendala sekarang ada ribuan koperasi di Aceh. Mereka harus segera melakukan konversi, berubah operasionalnya dari prinsip konvensional ke prinsip syariah maka salah satunya diperlukan DPS. Sedangkan DPS di Aceh ini jumlahnya masih sangat terbatas.

Sebenarnya secara lebih ringkas yang menjadi tugas DSA adalah mengawasi dan memastikan fatwa DSN-MUI diterapkan pada level LKS. DSA juga memiliki tugas membuat Surat Edaran atau taklimat kepada Lembaga Keuangan Syariah, melakukan koordinasi dan konsolidasi antar DPS, koordinasi dengan DSN, melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan DSK, juga memberi rekomendasi bagi calon DPS, melakukan sosialisasi, edukasi serta pelatihan. Ikut juga memediasi jika ada permasalahan-permasalahan baik antar DPS atau mungkin lembaga keuangan dengan masyarakat.

Qanun ini juga mengamanatkan kalau ada operasional yang dianggap oleh masyarakat tidak sesuai dengan syariah maka sebenarnya masyarakat atau siapa pun berhak mengadu, tetapi dengan catatan harus menyebutkan nama dan sebagainya karena atas pengaduan-pengaduan ini nanti DSA berhak untuk melakukan investigasi, verifikasi, dan melakukan fatwa klarifikasi.

Di setiap bank syariah juga ada dewan syariah, bagaimana koordinasi dilakukan agar terdapat visi yang sama terhadap Qanun LKS?

Di setiap lembaga keuangan memiliki DPS. DPS yang diangkat ini ke depannya harus mendapat persetujuan atau rekomendasi dari DSA ke DSN-MUI karena operasional semua dewan syariah harus mengacu pada fatwa DSN. Mungkin dari sisi tugas, wewenang, dan tanggung jawab DPS sama karena mengacu pada fatwa yang sama. Hal yang sangat penting, salah satu tugas DSA adalah melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan DPS, amanat qanun menyebutkan minimal dua kali dalam setahun.

Oleh karena itu, pertemuan-pertemuan rutin apalagi diawal-awal proses konversi ini, penyamaan persepsi, harus lebih sering dilakukan bahkan mungkin ada kegiatan-kegiatan yang bersifat ilmiah dan intensif. Katakanlah untuk mendapatkan persamaan persepsi tentang kasus-kasus tertentu atau membedah fatwa. Jika ada permasalahan kita akan coba bahas dan kaji bersama, tetapi kalau permasalahan itu tidak tuntas di level DSA maka sudah pasti ini akan kita komunikasikan dengan DSN-MUI.

Kalau merujuk pada Qanun LKS tentu implementasi konsep syariah belum dijalankan secara ideal, ini bagaimana? Berapa lama target dari Dewan Syariah Aceh agar konsep syariah yang dijalankan perbankan syariah di Aceh sesuai Qanun LKS?

Memang yang kita harapkan adalah ketika lembaga keuangan hadir maka kehadirannya itu benar-benar beroperasi sepenuhnya sesuai dengan syariah sehingga keberadaan lembaga keuangan itu harus dikawal di berbagai lini.

Nah, target agar lembaga keuangan ini sepenuhnya syariah memang berat. Tidak bisa dalam hitungan tahun. Ini merupakan proses yang harus dilakukan sampai kapan pun karena kita pahami salah satu tantangannya, yaitu orientasi lembaga-lembaga keuangan ini adalah keuntungan, beda dengan baitul qiradh atau koperasi. Baitul qiradh dan koperasi disamping mereka memang berorientasi bisnis, tetapi ada orientasi untuk aspek-aspek sosial.

Tugas DSA saya pikir memang sangat berat sekali karena Aceh satu-satunya daerah di Indonesia yang sudah memberlakukan qanun, di mana semua lembaga keuangan di Aceh harus sesuai dengan syariah maka Aceh dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi sorotan. Arah kamera disorot ke seluruh pelosok Aceh. Mereka ingin melihat, bagaimana pelaksanaan ekonomi dan keuangan syariah di Aceh? Pasti akan ada orang-orang yang akan menyoroti yang jelek-jelek. Dia tutupi yang baik-baik. Ini bagi mereka yang anti. Namun, kalau mereka yang punya pemikiran kritis dan rasional, kita harus sadari karena menuju hijrah itu tidak mudah.

Apa konsekuensinya jika perbankan di Aceh tidak melaksanakan sesuai konsep dalam Qanun LKS?

DSA berhak dan berwewenang untuk melihat, mengapa lembaga keuangan tersebut operasionalnya tidak sesuai syariah? Apakah karena DPS atau karena lembaga keuangan syariahnya? Apakah karena DPS tidak melaksanakan tugasnya? Kalau yang tidak menjalankan tugas adalah DPS maka DPS akan ditegur. Kalau tetap masih berlanjut maka DSA dapat melapor ke DSN sehingga nanti lembaga sertifikasi DSN ini akan mencabut sertifikasinya atau mereka  itu tidak dibenarkan untuk mengawasi lembaga keuangan syariah.

Kalau seandainya DPS sudah melaksanakan tugasnya, sudah memberi nasehat kepada lembaga keuangan syariah, tetapi lembaga keuangan syariahnya batat, tidak mau mendengar maka DSA akan menegur, memberi himbauan. Finalti yang paling tinggi adalah DSA merekomendasikan agar operasionalnya itu diberhentikan. DSA hanya menyampaikan kepada lembaga dewan syariah yang lebih tinggi di level nasional.

Menurut catatan Anda apa saja konsep perbankan syariah yang ada dalam Qanun LKS yang belum dijalankan oleh bank syariah di Aceh? Dan upaya apa yang dilakukan Dewan Syariah Aceh agar hal itu benar-benar dijalankan?

Qanun ini sebenarnya bukan hanya mengatur bank, tetapi juga mengatur lembaga keuangan non-bank, seperti asuransi syariah atau tafakul syariah, pegadaian syariah, termasuk pasar saham syariah. Ruang lingkup Qanun LKS ini termasuk juga lembaga keuangan informal adalah lembaga-lembaga keuangan yang tidak memiliki surat izin, tetapi terjadi dalam masyarakat Aceh. Salah satunya rentenir atau transaksi-transaksi yang terjadi dalam masyarakat Aceh yang masih belum sepenuhnya sesuai dengan syariah dan itu sudah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Aceh.

Kalau bicara lembaga keuangan informal ini juga berat. Salah satu transaksi atau budaya masyarakat Aceh adalah bicara tentang gala. Gala Tanoh. Kalau kita lihat dari sisi syariah, ini tidak sesuai dengan syariah karena yang terjadi pada Gala Tanoh ujung-ujungnya biasanya yang melakukan gala itu, sebelum dia mampu menebus uang gala maka tanah masih dikelola oleh orang yang dia gala. Ini salah satu contoh. Belum lagi yang lain. Untuk meluruskan ini karena dilakukan secara turun-temurun, juga berat. Oleh karena itu, DSA harus mengkaji secara efektif dan melakukan koordinasi dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Artinya, masing-masing lembaga ini punya permasalahan. Pelaksanaannya belum sepenuhnya secara syariah. Belum lagi bicara leasing dan lain sebagainya.

Lembaga perbankan syariah yang hadir sekarang ini belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat. Diharapkan kehadirannya bukan hanya hadir mencari keuntungan, tetapi juga bisa membantu masyarakat mendongkrak sektor riil, sektor ekonomi. Kehadiran mereka bukan untuk menghisap uang masyarakat, tetapi untuk bersama-sama mendapatkan keuntungan. Masyarakat untung, mereka juga diuntungkan. Pembiayaan selama ini untuk sektor riil sangat terbatas. Produk-produk yang mereka tawarkan umumnya adalah produk-produk murabahah, produk jual beli. Produk jual beli dianggap produk yang tidak berisiko tinggi.

Kalau kita bicara tentang Bank Aceh Syariah, umumnya produk mereka adalah produk-produk murabahah. Produk-produk yang bersifat konsumtif. Mereka memberi pembiayaan untuk PNS dan sebagainya, tetapi pembiayaan itu bukan untuk melakukan usaha, bukan sebagai modal usaha. Namun, digunakan untuk membeli mobil, kulkas, atau yang bersifat konsumtif sehingga yang terjadi apa? Ekonomi Aceh tidak tumbuh. Uang yang diberikan dan mengalir dalam ekonomi tidak mampu menyehatkan perekonomian Aceh. Hanya uang saja yang beredar lebih banyak, tetapi tidak menggerakkan sektor-sektor riil. Tidak mampu mendongkrak agar muncul produk-produk dan usaha dalam masyarakat sehingga yang terjadi adalah uang banyak, tetapi barang yang tersedia terbatas sehingga ujung-ujungnya adalah ketidakstabilan harga.

Oleh karena itu, jika kita bicara lembaga keuangan syariah antara harapan dan realita masih jauh dari harapan kalau kita bandingkan dengan capaian atau analisa dari lembaga keuangan syariah yang ada sekarang. Kalau lembaga keuangan syariah enggan menawarkan produk-produk berbasis bagi hasil, produk-produk yang bisa bersentuhan dengan sektor riil, enggan melirik UMKM maka kehadiran lembaga keuangan syariah sama saja seperti lembaga keuangan konvensional.

Apa saja agenda kerja Dewan Syariah Aceh yang menjadi prioritas pada tahap awal ini?

DSA baru dilantik tahun ini. Semua kegiatan sangat tergantung kepada alokasi anggaran. Oleh karena tahun ini baru dilantik maka anggaran tahun ini memang sangat terbatas, tetapi tidak bermakna DSA tidak melakukan apa-apa di sepenggal tahun ini. Pasti tahun depan kegiatannya akan lebih banyak. Pertama sekali adalah DSA akan membangun komunikasi dan silaturrahmi dengan pemerintah kabupaten/kota. Setelah Hari Raya, kita merencanakan akan segera mengadakan rapat koordinasi dengan wakil-wakil dari kabupaten/kota dan dinas-dinas terkait agar mereka segera mempersiapkan panitia seleksi untuk membentuk dewan syariah di level kabupaten/kota.

Disamping itu, hal yang sangat penting adalah proses konversi. Ketika lembaga keuangan ini berubah menjadi lembaga keuangan syariah maka mereka harus memiliki DPS. Ini tantangan paling berat untuk Aceh karena DPS untuk perbankan di Aceh bisa kita hitung dengan jari. Untuk menjadi DPS harus mengikuti traning, kursus, dan mereka harus lulus. Ada uji kompetensinya. Untuk lulus juga tidak mudah maka ini hal yang paling urgent, paling mendesak karena proses konversi ini amanat qanun harus sudah selesai dilakukan 2 tahun setelah qanun ditandatangani. Sebenarnya tahun depan proses konversi ini selesai, tetapi kalau proses konversi ini syaratnya memerlukan DPS maka ini menjadi tantangan besar.

DSA akan melakukan koordinasi dengan DSN agar ditahun-tahun awal konversi Aceh harus diberi fleksibilitas. Ya, mungkin diawal-awal DPS tidak semestinya harus lulus kompetensi, mungkin mereka hanya dibekali, mengikuti kursus, mendapat sertifikat dan sebagainya. Namun, hal ini tidak mudah karena syarat bahwa koperasi memiliki DPS bukan syarat DSN, tetapi syarat Menteri Koperasi. Koordinasi lintas lini ini penting karena kita tidak mau gara-gara tidak ada DPS proses konversi ini gagal, pelaksanaan qanun ini akan gagal di Aceh. Ini saya pikir sangat berat sekali kita bisa mempertanggungjawabkan kepada masyarakat. Menurut saya, kita berhak mengatakan kepada DSN, kalau pelaksanaan sistem lembaga keuangan syariah di Aceh gagal maka DSN juga harus bertanggungjawab untuk itu karena mereka berperan besar dalam mengeluarkan sertifikasi dan lain sebagainya.

Namun, yang penting kita tidak mencari kesalahan, tetapi mencari solusi. Idealnya ketika mau hijrah, berubah dari ribawi ke non-ribawi, sebenarnya persiapan itu sudah harus jauh-jauh hari dilakukan, bukan persiapan satu dua tahun.

LIA DALI

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads