Polemik tentang penutupan bank konvensional di Aceh dan belum maksimalnya layanan bank syariah telah menjadi pembicaraan yang luas di Aceh akhir-akhir ini. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting, ini merupakan seri 3 dari 10 seri wawancara.
Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) menerapkan syariat Islam, termasuk dalam hal sistem keuangan sehingga sistem perbankan dan bahkan perekonomian di Aceh wajib mengikuti sistem syariah.
Berlakunya transaksi keuangan di Aceh yang wajib menggunakan prinsip syariah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS), telah memunculkan berbagai polemik di masyarakat, salah satunya kepada siapa saja qanun ini berlaku.
Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh, Takwaddin Husin mengatakan ada sejumlah hal yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Aceh dalam pelaksanaan Qanun LKS sebagai penguat syariat Islam di Aceh, salah satunya adalah kendala teknis terkait nasabah non-muslim. Menurutnya pemerintah perlu memikirkan prinsip keadilan dan perlindungan kepada seluruh rakyat Aceh baik muslim maupun non-muslim.
Sebagai lembaga negara yang berfungsi memediasi antara masyarakat dengan aparat pemerintah, Ombudsman Perwakilan Aceh mengusulkan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan upaya edukasi, sosialisasi, dan pemahaman secara menyeluruh terhadap keberadaan Qanun LKS ini kepada seluruh lapisan masyarakat, baik kepada aparatur negara, kalangan usaha, muslim maupun non-muslim yang berada di Aceh.
Berikut wawancara lengkap Jay Musta dari Kantor Berita Radio Antero dengan Takwaddin Husin.
Dalam Qanun LKS khususnya pasal 65 tidak disebutkan secara spesifik soal keharusan menutup bank konvensional. Apa tanggapan Anda? Lalu apakah secara hukum nasional dibenarkan “memaksa” orang memilih bank syariah?
Ketentuan qanun tersebut diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 bahwa qanun itu yang pertama berlaku untuk orang Aceh. Jadi, asasnya asas teritorial, hanya berlaku di Aceh dan untuk orang Aceh yang ada di Aceh atau untuk penduduk Aceh yang ada di Aceh. Nah, sementara dalam Qanun Lembaga Keuangan Syariah ini diatur yang pertama untuk penduduk Aceh yang ada di Aceh, penduduk Aceh yang muslim kemudian orang yang berhubungan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota atau Pemerintah Aceh, baik yang muslim maupun yang non-muslim. Kira-kira seperti itu pengaturannya. Jadi, qanun itu tidak bisa mengatur sebetulnya instansi vertikal yang ada di luar Aceh. Instansi vertikal dalam Aceh pun punya keterbatasan misalnya Kodam, siapa bisa mengatur Kodam? Kodam tunduknya kepada Panglima TNI. Polisi, polisi tunduknya kepada Kapolri. Ombudsman tunduknya kepada Ombudsman RI. Tidak tunduk kepada Pemerintah Aceh. Nah, makanya diatur di situ bahwa berlaku dalam kawasan teritori Provinsi Aceh.
Banyak keluhan dalam pelayanan bank syariah khususnya Bank Syariah Indonesia (BSI) dan sumber-sumber Antero di internal BSI mengakui mereka sedikitnya membutuhkan waktu setahun untuk proses pembenahan internal. Apakah mestinya diperlukan waktu transisi lebih lama seperti yang pernah diminta Gubernur Aceh hingga 2026?
Saya kira transisi satu tahun untuk perubahan sistem yang demikian tidak sederhana, rumit, kemudian sifatnya juga menyangkut aspek-aspek yang tidak saja persoalan keuangan, tetapi juga persoalan keimanan, juga aspek sosial dan lain sebagainya. Itu hemat saya. Setahun transisi itu terlalu cepat dan jarang kita mendengar ada sosialisasi tentang Lembaga Keuangan Syariah ini. Tidak begitu banyak orang tahu maka pada saat syariah ini diberlakukan, dikonversikan dari bank konvensional, katakanlah semua kredit dengan konvensional kemudian ke kredit syariah dan ternyata harga lebih mahal kan muncul kesan, “Lho, syariah kok lebih mahal?” Jadi, orang Aceh kadang-kadang berpersepsi syariah itu lebih murah, tetapi ternyata syariah lebih mahal. Ini masalah baru. Masalah baru karena ketidaktahuan. Padahal mahal murahnya tidak ada hubungannya dengan syariah. Syariah tidak bisa disimpulkan bahwa lebih murah. Nah, kemudian ada kejutan lain lagi, misalnya segala macam kredit dari pusat atau bantuan keuangan dari pusat kan dalam bentuk bank konvensional, tidak dalam bentuk bank syariah. Ini kan menjadi masalah juga makanya saya katakan perlu waktu mengedukasi masyarakat untuk sosialisasi terkait dalam hal-hal Lembaga Keuangan Syariah ini.
Saya kira, di Aceh ini juga tidak 100 persen muslim. Ada yang non-muslim. Nah, non-muslim transaksi sesama non-muslim. Masa kita tidak toleran kepada mereka. Toke-toke yang non-muslim kan banyak di Aceh, yang Tionghoa-Tionghoa itu. Nah, mereka transaksi ke Medan sesama Tionghoa. Mereka transaksi sesama mereka, sesama non-muslim. Masa kita paksa mereka dengan alasan mengundurkan diri dan ada kata-kata didalam pasal 65 itu, “Dapat mengundurkan diri.” Sebenarnya dapat itu kan sifatnya facultative, boleh mengundurkan diri, boleh tidak. Kalau misalnya di Aceh tidak ada lembaga keuangan lain selain yang syariah, itu artinya kan memaksa mereka atau terpaksa mereka harus mengundurkan diri dan ini tidak sukarela. Ini juga masalah yang perlu dipikirkan.
Belum lagi soal pembelanjaan yang dalam pengertian yang demikian maju sekarang, secara online. Apakah sudah ada bank syariah di Aceh bisa menangani pembayaran secara online dengan kartu kredit atau kartu debet? Apa sudah ada kartu kredit yang dibiayai oleh bank syariah di Aceh? Ini kan menjadi masalah semuanya. Orang Aceh kan tidak hanya berada di Aceh. Bagaimana kalau saya mau ke Singapore misalnya atau ke Hongkong. Apakah saya pakai bank syariah di sana? Apa laku bank syariah di sana? Bagaimana saya melakukan transaksi, tempat tinggal, belanja dan sebagainya dan yang berlaku di sana? Apa tidak boleh orang Aceh keluar? Nah, ini masalah-masalah yang sebetulnya tidak sesederhana yang dipikirkan oleh para pembuat qanun itu.
Saya memaklumi ada para pengusaha yang complain, di mana dia telah berusaha bertransaksi dengan bank syariah. Oke, dalam kontes di Aceh boleh, tetapi dalam konteks mereka tidak hanya di Aceh.
Saya juga memaklumi, ada keinginan dari bank syariah ini bagi Aceh misalnya dalam qanun itu ditegaskan bahwa bank syariah mendukung dan nanti berkolaborasi dengan Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota, di mana setiap transaksi itu dihimbau atau ada wadahnya kita bisa menyalurkan zakat, infak, dan sadaqah. Silakan dicoba, misalnya di BSI, setelah kita transaksi, katakanlah menarik dana tunai dari ATM kemudian ada instrument pada bagian akhir yang menanyakan, apakah mau memberikan zakat, infak yang ada Rp 4.000,00, Rp 5.000,00, Rp 25.000,00 dan seterusnya? Ada hal yang seperti itu. Nah, ini tidak ada pada bank konvensional. Ini mungkin kelebihan bagi Lembaga Keuangan Syariah. Jika dana-dana ini bisa terkumpul dalam jumlah yang besar dengan asumsi dikerjakan oleh orang-orang yang jujur dan amanah, tentu ini menjadi potensi untuk mengurangi kemiskinan. Saya kira ada nilai plus-nya di sini.
Apa langkah-langkah Ombudsman Aceh menyikapi hal ini? Apa rekomendasi yang bisa diberikan?
Ya, kami mengusulkan kepada pihak pemerintah karena penanggung jawabnya ini pihak Pemerintah Aceh untuk melakukan upaya edukasi dan sosialisasi terhadap keberadaan qanun ini. Tidak saja sosialisasi kepada sesama para aparatur ASN karena memang harus terpaksa di Bank Aceh Syariah, tetapi juga sosialisasi kepada kalangan usaha. Sosialisasi kepada masyarakat yang lebih luas, termasuk bagi yang non-muslim. Saya kira begitu karena ini juga bisa jadi akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kalau orang bertransaksi di luar dengan bank konvensional yang ada di luar, tentu kita hanya menerima bagian kecil dari pertumbuhan ekonomi Aceh. Sudahlah ekonomi Aceh itu hanya bertumpu pada anggaran itu-itu saja yaitu APBA, APBN, dan APBK kemudian sektor-sektor juga tidak begitu tumbuh berkembang di Aceh, misalnya sektor jasa, sektor industri, kan tidak begitu tumbuh di Aceh.
LIA DALI
Catatan Redaksi: Saat ini Ombudsman Aceh telah menampung keluhan masyarakat dan akan menjadwalkan pembahasan dengan semua pihak terkait.