Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Dr. (H.C.) Doni Monardo melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Simeulue, Pulau Simeulue, Provinsi Aceh, Selasa (20/4).
Doni beserta rombongan terbang dari Banda Aceh dan mendarat di Simeulue melalui Bandara Lasikin pukul 17.30 WIB. Setelah menginjakkan kaki di Simeulue, Doni langsung disambut dengan kalungan syal hasil kerajinan tangan warga lokal oleh Bupati Simeulue Erli Hasan.
Kehadiran Doni di pulau lepas pantai barat Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia itu secara khusus untuk mempelajari tentang hakikat ‘smong’ atau fenomena tsunami dalam bahasa dan kearifan lokal setempat.
“Kami ingin belajar apa yang dimiliki Simeulue tentang kearifan lokalnya dalam menghadapi fenomena alam khususnya ‘smong’ atau tsunami,” ucap Doni kepada Bupati Erli setibanya di Bandara Lasikin.
Simeulue memang menjadi nama daerah yang acap kali disebut Doni di setiap kunjungan kerja ke beberapa wilayah, khususnya dalam rangka penguatan mitigasi dan kesiapsiagaan gempabumi dan tsunami.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perihal yang menarik dan memantik perhatian Doni hingga merasa harus datang ke Simeulue ini tak lepas dari budaya kearifan lokal yang dirawat masyarakatnya secara turun temurun terkait upaya penyelamatan dan evakuasi mandiri besar-besaran dari gelombang pasang air laut yang diawali oleh gempabumi.
Menurut catatan, istilah ‘smong’ mulai dikenal masyarakat sejak 4 Januari 1907, dimana saat itu terjadi tragedi tsunami yang melanda wilayah perairan Simeulue. Adapun peristiwa itu berhasil direkam dalam buku Belanda berjudul S-Gravenhage karya Martinusnijhif pada tahun 1916, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Dari peristiwa tersebut, kemudian masyarakat Simeulue menyampaikan peringatan tradisional tsunami melalui ‘tutur’ secara turun temurun dari generasi ke generasi sehingga menjadi memori kolektif. Bahkan riwayat syair tentang ‘smong’ dapat ditemukan pada senandung pengantar tidur anak-anak di Pulau Simeulue.
Pada peristiwa Tsunami Aceh 2004 silam, Pulau Simeulue juga menjadi salah satu wilayah yang terkena gelombang tsunami pertama kali. Lebih dari 1.700 rumah hancur tersapu tsunami yang dipicu oleh gempabumi berkekuatan 9,1-9,3 skala magnitudo, akan tetapi jumlah korban jiwa yang meninggal adalah 6 jiwa.
Dalam pemodelan sederhana, apabila rata-rata penghuni satu rumah adalah 5 jiwa, maka total manusia yang rumahnya diterjang Tsunami Aceh 2004 kala itu lebih dari 8.500 jiwa, atau sekitar 10 persen dari jumlah total penduduk Simeulue pada saat itu.
Dari perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan pada saat itu ada proses evakuasi besar-besaran secara mandiri dalam kurun waktu kurang dari 10 menit secara serempak di seluruh wilayah Pulau Simeulue. Peristiwa mobilisasi penduduk secara massal tersebut menjadi luar biasa, mengingat infrastruktur telekomunikasi sangat terbatas pada saat itu.
Adapun syair tentang ‘smong’ dari tutur masyarakat Pulau Simeulue adalah sebagai berikut;
Enggel mon sao curito (Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan (Pada jaman dahulu)
Manoknop sao fano (Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan (Begitu mereka tuturkan)
Unen ne alek linon (Diawali gempabumi)
Fesang bakat ne mali (Disusul ombak besar sekali)
Manoknop sao hampong (Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi (Tiba-tiba saja)
Anga linon ne mali (Jika gempabuminya kuat)
Uwek suruik sahuli (Disusul air laut yang surut)
Maheya mihawali (Maka segeralah cari)
Fano me singa tenggi (Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede smong kahanne (Itulah ‘smong’ namanya)
Turiang da nenekta (Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere (Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navi da (Pesan dan nasihatnya)