Ombudsman RI Perwakilan Aceh melaksanakan rapat terkait Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) Banda Aceh yang sudah tertunda sekitar tiga tahun lamanya.
Rapat yang berlangsung alot tersebut dilaksanakan di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh pada Senin (19/4) yang di pimpin langsung oleh Kepala Ombudsman Aceh, Taqwaddin Husin.
Hadir dalam rapat tersebut diantara Asisten II Pemko Banda Aceh mewakili Wali Kota, Ketua Komisi III DPRK Banda Aceh, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Ketua MPU Banda Aceh, BPN Kota Banda Aceh LSM Mapesa, LSM Darud Dunia, dan para aktifis lainnya.
Pihak Ombudsman RI Perwakilan Aceh kata Taqwaddin sudah beberapa kali turun langsung ke lapangan melakukan investigasi ke lokasi IPAL secara door to door melakukan serangkan interview dengan beberapa instansi terkait.
Asisten II Pemko Banda Aceh Syamsuar mewakili Wali Kota menyampaikan bahwa pembangunan IPAL sangat bermanfaat bagi publik, namun karena terjadi protes dari beberapa kalangan, sehingga dihentikan sementara.
“Pembangunan IPAL tersebut sudah mencapai sekitar 80 persen, namun karena ada pro dan kontra terkait temuan makam kuno di lokasi tersebut, jadi kita hentikan sementara,” sebut Syamsuar.
Sementara itu Kepala Dinas Perkim Kota Banda Aceh, Djalaluddin, dalam paparannya di hadapan para peserta rapat menyebutkan bahwa sebelumnya tidak diketahui adanya makam kuno disekitar proyek strategis nasional (PSN) tersebut, setelah dilakukan pengerukan, baru pada kolam ke lima ditemukan enam pusara makam kuno tersebut. Dan terjadi penolakan pembangunan lanjutan kegiatan dari beberapa kalangan.
Menanggapi polemik yang terjadi terkait IPAL selama ini, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Nurmantias dalam kesempatan tersebut menyampaikan perlu dilakukannya analisis heritage impact assesment (analisis dampak terhadap warisan budaya)
Nurmantias juga menuturkan, pembuatan tambak disekitar Gampong Pande sebenarnya juga telah mengeksploitasi terhadap situs sejarah. Karena di dalam tambak juga banyak ditemukan batu nisan kuno. Mengenai pemindahan situs cagar budaya, di daerah lain juga pernah terjadi. Karena alasan tertentu, sehingga situs tersebut dipindahkan ke tempat lain.
“Untuk kasus IPAL saat ini, kami memandang perlu dilakukannya analisis heritage impact assesment. Sehingga apapun hasilnya nanti harus kita terima bersama. Apakah dilanjutkan atau dihentikan” kata Nurmantias.
Pihak LSM Mapesa dan LSM Darud Dunia yang selama ini getol melakukan penolakan terhadap IPAL di lokasi tersebut juga meminta dilakukannya heritage impact assesment.
“Mapesa tetap pada prinsip dasar, jika nanti IPAL terus dilanjutkan itu terserah pada Pemko. Pada dasarnya, Mapesa tidak menolak pembangunan,” sebut Masykur.
Aktifis lingkungan, TM Zulfikar yang hadir dalam rapat tersebut juga berharap segera adanya solusi terkait masalah IPAL Banda Aceh yang sudah lama terhenti.
Pada sesi penutupan rapat tersebut, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh menyampaikan kesimpulan kepada peserta. Yang pertama kata Taqwaddin, perlu segera dilakukannya heritage impact assesment di lokasi pembangunan IPAL tersebut. Kedua, perlu adanya edukasi dan sosialisasi terkait IPAL kepada masyarakat.
Selanjutnya, perlu adanya tim terpadu. Dan yang terakhir, sebut Taqwaddin, perlu adanya manajemen media oleh Pemko terkait IPAL tersebut.
“Kami berharap, hasil dari kesimpulan rapat ini segera ditindaklanjuti oleh Pemko. Nanti Ombudsman akan merumuskan ini ke dalam laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) yang merupakan hasil dari beebagai kegiatan investigasi atas prakarsa sendiri oleh Ombudsman” imbuh Taqwaddin.
Taqwaddin mengingatkan, LAHP tersebut merupakan produk hukum yang mengikat dan wajib dijalankan oleh Pemko Banda Aceh.