Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Safaruddin mengatakan pembangunan di Aceh harus didukung dengan sumber daya manusia (SDM).
Dia menilai, persoalan kemiskinan di Aceh juga terjadi akibat dampak dari faktor pendidikan.
Hal itu dikatakan Safaruddin saat memberi Kuliah Umum dengan tema “Kebijakan Politik Dalam Bidang Pendidikan Terhadap Perguruan Tinggi Swasta di Aceh” di Kampus STKIP Muhammadiyah Aceh Barat Daya (Abdya), Kamis (1/4/2021). Kegiatan tersebut juga merupakan bagian dari Reses I Tahun 2021 yang dilakukan di Daerah Pemilihannya di Dapil IX yang meliputi Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Subulussalam.
Safaruddin menjelaskan, pendidikan merupakan lokomotif pembangunan. Menurutnya, pembangunan infrastruktur jika tidak diberengi dengan SDM maka tidak bisa dikatakan satu daerah itu punya kemajuan.
“Kalau bicara kemajuan, sangat dihitung parameternya ketika naiknya persentase grafik infrastruktur harus didukung dengan sumber daya manusia,” ujarnya.
Jika melihat dinamika sosial di Aceh saat ini, kata Safaruddin, persentase kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar pemerintah dalam menjawab tantangan dari anggaran yang dimiliki Aceh saat ini, baik di APBA maupun APBK.
“Rp16,9 triliun, jika dibandingkan dengan pemerintah provinsi tetangga kita yang hanya memiliki Rp11 triliun dengan jumlah penduduknya lebih kurang 14 juta jiwa, sedangkan Aceh yang memiliki Rp16,9 triliun yang memiliki penduduk 5 juta jiwa itu, dalam nilai rata-rata nasional persentasenya termiskin di Sumatera. Jadi ini tantangan yang dimiliki Pemerintahan di Aceh baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” jelasnya.
Anggaran otomomi khusus yang didapat Aceh saat ini, Safaruddin menjelaskan, pada 2022 akan dikurangi 1 persen dari 2 persen yang diterima dari Dana Alokasi Umum (DAU) APBN. Dana yang menurutnya merupakan “pil penenang” untuk Aceh itu juga akan berakhir dikucurkan pemerintah pusat pada 2027 mendatang.
“Jika terjadi pengurangan, maka APBA Aceh akan berkisar Rp 9 hingga Rp12 triliun. Bayangkan saja, Rp16,9 triliun itu Aceh tidak mampu menjawab tantangan kemiskinan dan tantangan ekonomi, bagaimana kalau tinggal Rp9 triliun. Jadi selagi ada, maka harus manfaatkan dan dikelola dengan baik,” ungkapnya.
“Jika Aceh ke depan tidak lagi memiliki Otsus, maka Aceh tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa untuk melakukan peningkatan sumber daya manusia lagi, karena sebagian besar APBA itu beban belanja rutinnya adalah gaji pegawai dan operasional para pejabat fungsional dan struktural. Jika tidak dilakukan perubahan pengelolaan anggaran, maka Aceh tidak akan mampu menjawab tantangan-tatangan ini (kemiskinan dan pengangguran),” tambahnya.
Tingginya akan kemiskikan di Aceh, kata Safaruddin, dikarenakan alokasi anggaran Aceh terlalu besar, sedangkan penduduknya di Aceh kecil. Sehingga dinilai, persentase untuk meningkatkan kemajuan, baik pendidikan maupun ekonomi, tidak mampu memberikan kebaikan dari anggaran Rp16 triliun lebih yang dimiliki Aceh.
“Jadi fenomena kemiskinan ini apakah banyak orang miskin, itu tidak, tapi nilai angka. Hal ini diukur dari nilai angka Rp16 triliun dari penduduk 5 juta itu tidak bebanding lurus. Jika kita lihat dari pernyataan-pernyataan politik pemerintah Indonesia terhadap Aceh, bahwa ada yang salah yaitu tata kelola pemerintahan yang ada di Aceh,” jelanya.
Selain itu anggota Parlemen Aceh kelahiran Abdya ini menjelaskan, persoalan kemiskinan Aceh juga berdampak dari faktor pendidikan.
“Kalau kita lihat perguruan tinggi di Aceh itu lumayan, hampir semua kabupaten/kota di Aceh ada perguruan tingginya. Jika berbicara perguruan tinggi, tentu menciptakan sumber daya manusia, Jika kita lihat SDM, tentu akan berbanding lurus dengan kemajuan ekonominya. Nah itu tidak terjadi di Aceh, karena kita terus mencetak generasi sumber daya manusianya atau lulusan S1 dan S2 tapi tidak ada ruang untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga terjadi pengangguran di mana-mana, sehingga menjadi beban daerah yang dimiliki Aceh saat ini,” ungkapnya.
Politisi Partai Gerinda Aceh ini juga menjelaskan, sumber denyut nadi Aceh hanya berkutat di APBA, begitu juga halnya kabupaten/kota yang bergantung di APBK.
“Kita tidak memiliki industri, semua hanya bergantung di anggaran daerah (APBA dan APBK),” ujarnya.
Untuk itu, Safaruddin menilai, untuk menjawab persoalan pengangguran, pemerintahan di Aceh menurutnya harus mengupayakan membangun industri-industri di Aceh agar para lulusan baru di Aceh mendapat peluang pekerjaan.
Dalam pemaparannya, Safaruddin juga menyampaikan berbagai permasalahan pendidikan di Aceh, seperti masih ada penduduk Aceh yang belum mampu dan mau untuk menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi, masih banyak perguruan tinggi yang belum terakreditasi, penguatan literasi Aceh bekum merata, banyak perguruan tinggi belum menghasilkan lulusan kejuruan dengan kebutuhan peluang kerja, serta sejumlah persoalan lainnya.
Dalam hal memajukan pendidikan di Aceh, kata Safaruddin, sasaran alokasi anggaran 20 persen yang dianggarkan di APBN, APBA maupun di APBK saat ini hanya mengejar infrastruktur, bukan pengembangan kapasitas sumber daya manusia, seperti peningkatan kapasitas para tenaga pendidik.
“Semua hanya mengejar infrastruktur, karena ada comitmen fee di situ. Sangat jarang program-program yang dialokasikan untuk pendidikan digunakan untuk kemajuan dari sisi pendidikan itu sendiri. Alokasi untuk peningkatan kualitas pendidikan itu sangat minim. Sangat jarang kita lihat kebijakan pemerintah untuk pemberian bimtek kepada tenaga pendidik, padahal alokasi anggaran pendidikan itu besar sekali,” ungkapnya.
Di penghujung pertemuan, Safaruddin juga mengatakan, dirinya yang juga pernah menjalankan tridharma perguruan tinggi di kampus Muhammadiyah Abdya tersebut akan berupaya untuk mensuport berbagai kebutuhan pendidikan di Aceh.
“Saya akan mengupayakan dukungan anggaran apapun untuk kebutuhan pendidikan, jika kewenangan itu merupakan kewenangan provinsi. Ini saya lakukan untuk menjawab tantangan-tantangan ini, dengan harapan persoalan pendidikan dan ekonomi Aceh dapat adanya perubahan ke depan,” pungkasnya.