Kasus kekerasan dan pencabulan terhadap anak kian marak terjadi di Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Butuh pengawasan ketat dari keluarga dan lingkungan untuk meminimalisir hal tersebut agar tidak terus berlanjut di Aceh.
Demikian salah satu intisari yang disampaikan Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KP2A) Aceh, Prof Dr Tgk H Muhammad AR, MEd, dalam pengajian Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) pada Rabu, 17 Maret 2021 malam. Pengajian yang digelar di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke Banda Aceh tersebut turut dihadiri oleh beberapa wartawan dan juga para santri.
Dalam kajian tersebut, Muhammad mengatakan banyak faktor yang memicu tingginya angka kekerasan terhadap anak tersebut. Salah satu pemicunya adalah tingkat pendidikan orangtua yang rendah.
Berdasarkan pantauan KP2A di lapangan, kekerasan terhadap anak di Aceh cukup bervariasi. Hal paling menyedihkan adalah rudapaksa yang dilakukan oleh ayah kandung sang anak.
Namun menurut Muhammad, banyak kejadian-kejadian tersebut tidak ditindaklanjuti secara hukum oleh keluarga dengan pertimbangan rasa malu.
“Modus operandinya berbeda-beda. Orang yang tidak kita sangka, yang seharusnya mereka bagus mendidik anak di bidang agama justru melakukan hal yang tidak pantas kepada anak,” ungkap Muhammad.
Muhammad lantas mengingatkan bahwa Islam telah mengajarkan setiap muslim untuk merawat anak-anak mereka. Dia juga menyebutkan bahwa Allah tidak akan menyayangi orang-orang yang tidak sayang terhadap anaknya sendiri.
Pengertian sayang terhadap anak yang dimaksud adalah memberikan ilmu bukan sekadar harta. Muhammad kemudian mengutip Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, ”orang yang penyayang itu bukan hanya menyayangi dirinya sendiri, tetapi mereka yang menyayang dirinya dan orang lain.”
Muhammad kemudian melanjutkan, “tidak akan masuk surga kecuali orang yang penyayang, kalau kita tidak sayang kepada anak?”
Selain faktor pendidikan, pengaruh globalisasi dan teknologi juga menjadi pemicu kekerasan dan pencabulan terhadap anak-anak di Aceh. Selama ini banyak orangtua yang lalai mengawasi buah hati mereka lantaran terlalu fokus terhadap urusan duniawi. Padahal, perkembangan teknologi yang pesat juga dapat menjerumuskan anak menjadi korban atau berprilaku negatif.
“Anak itu seperti kertas putih, siapa yang mengotori anak? Orang tua dan lingkungan,” kata Muhammad lagi.
Untuk itu dia berharap kepada orangtua untuk tidak memarahi anak-anak mereka ketika melakukan kesalahan. Namun, orangtua perlu instropeksi diri dengan sering meminta ampunan kepada Allah Swt.
Muhammad kemudian mengatakan prilaku anak merupakan cerminan daripada sifat orangtua mereka. Hal inilah yang kemudian di Aceh dikenal tamsilan bahwa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.
Lebih lanjut Muhammad mengatakan pelaku kekerasan terhadap anak seringkali dilakukan oleh orang terdekat dan yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Selain itu, kekerasan terhadap anak juga dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Dia mencontohkan beberapa kasus kekerasan terhadap anak di Aceh yang dilakukan oleh ayah tiri korban.
Sayangnya seringkali ibu korban memilih diam dalam kasus-kasus seperti itu lantaran takut tidak lagi mendapat nafkah. Hal ini sangat mengecewakan karena sang ibu justru mengorbankan masa depan sang anak.
Di sisi lain, ada juga orangtua yang kurang awas dalam memerhatikan kehidupan sang anak. Misalnya ketika anak membeli handphone seharga jutaan rupiah tanpa menyelidiki asal usul uang untuk membeli barang tersebut. Padahal pengawasan-pengawasan seperti itu dinilai penting. Apalagi jika sampai terjadi perubahan gaya hidup dan penampilan pada anak, terutama anak perempuan.
“Kita harus lihat, minimal satu jam dalam satu hari. Jangan sampai kita keluar dari pintu depan, anak keluar dari pintu belakang,” ujar Muhammad AR.
Faktor lain yang turut menyebabkan hancurnya masa depan seorang anak adalah perceraian. Keluarga broken home kerap memisahkan anak-anak sehingga berkurangnya rasa kasih sayang terhadap mereka. Beberapa kasus bahkan menyebabkan anak menyukai saudara sedarah lantaran sudah lama berpisah.
“Anak laki-laki ikut ayah, yang perempuan ikut ibu sehingga ketika bertemu saat besar (merasa asing),” kata Muhammad lagi.
Pemicu lain rusaknya moral atau terlantarnya anak-anak lantaran sikap ketidakpedulian dari orang sekitar. Saat ini, menurut Muhammad AR, banyak orang yang mulai bersikap individualistis dengan lebih memilih menjaga anak masing-masing. Sikap seperti ini membuat mereka tidak lagi peduli dengan apa yang dilakukan anak-anak di lingkungan tempat tinggal mereka.
“Masing-masing jaga aneuk droe. Padahal pernyataan seperti itu sudah keluar dari Islam, kenapa? Karena agama Islam itu nasehat, saling menasehati, ketika ada orang yang memberikan nasehat kepada kita seharusnya kita mengucapkan terima kasih,” kata Muhammad.