Walikota Banda Aceh Aminullah Usman mengatakan berdasarkan kajian arkeologi, nisan-nisan kuno dan kerangka manusia yang ditemukan di lokasi proyek pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) di kawasan Gampong Pande, Kota Banda Aceh, bukan merupakan makam raja atau keluarga raja masa kesultanan Aceh melainkan bagian dari pemakaman masyarakat umum.
Namun, hal tersebut dibantah oleh Tarmizi A Hamid atau yang dikenal dengan panggilan Cek Midi, seorang pemerhati sejarah Aceh sekaligus kolektor manuskrip kuno Aceh. Menurutnya nisan-nisan tersebut justru merupakan nisan keluarga kerajaan dan para ulama, sehingga tidak sepantasnya proyek IPAL tersebut dilanjutkan.
Berikut perbincangan Lia Dali dari Kantor Berita Radio Antero bersama Tarmizi A Hamid.
Cek Midi, bagaimana pendapat Anda atas klaim Walikota Banda Aceh bahwa makam di Gampong Pande bukan milik raja Aceh?
Terima kasih kepada Radio Antero yang telah memberi kesempatan kepada saya, meminta pendapat mengenai hal melanjutkan kembali proyek IPAL Gampong Pande kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh.
Ya, kita melihat di situ, begini yang pertama, Pemerintah Kota Banda Aceh sendiri tidaklah melakukan hal ini dengan secara tergesa-gesa. Tentunya ada tahapan-tahapan untuk melakukan hal kebijakan tersebut. Pak Wali, setelah melihat rekomendasi dari tim pakar arkeologi tentang kawasan Gampong Pande tersebut, mungkin ada pertimbangan-pertimbangan tersendiri setelah para pakar menyatakan layak untuk melanjutkan.
Kalau saya sih, bagaimana ya, terhadap guru-guru kita yang terlibat dalam tim pakar arkeologi tersebut dalam memberikan rekomendasi kepada Walikota, ya sah-sah saja. Kemudian pihak Kota Banda Aceh melanjutkan pembangunan itu, ya sah-sah saja. Akan tetapi, bagi kita sendiri kan tidak bisa menghalangi itu dengan berbagai macam argumen dan pendapat karena itu sudah diputuskan melalui dinas-dinas terkait, rapat-rapat para pakar dan sebagainya.. Namun, kita sebagai warga Kota Banda Aceh yang selama ini menghargai sebuah peradaban, menghargai sebuah khasanah peninggalan budaya, ya menyayangkan hal tersebut.
Kalau bisa, Pak Wali, sebelum melanjutkan ya diperhatikan dulu aspek-aspek dan aspirasi masyarakat, dari masyarakat itu sendiri, dari tokoh masyarakat karena itu terhenti sejak tahun 2017.
Hanya kita menyayangkan kalau itu terjadi. Kita akan kehilangan aset peninggalan sejarah budaya yang sangat besar. Bagi mereka para peneliti yang sebelumnya melakukan riset di Gampong Pande, akan kehilangan jejak, kehilangan objeknya nanti. Jadi, ini yang sangat disayangkan, tetapi sebelum itu rasanya sangat arif bagi kita untuk melihat kembalilah ke belakang. Artinya, melihat, membuka kembalilah ruang ini ke belakang dengan memanggil para pakar dari luar Aceh ini sendiri.
Lebih jelas, misalnya seperti bapak Prof. DR. Teuku Abdullah Salimi. Beliau sudah melakukan riset pemindaian lokasi itu sejauh 2 kilometer terhadap rekaman kedalam tanah, itu menggunakan teknologi canggih bersifat bioradar. Jadi, mungkin untuk membuka tabir ini, ada tidak cagar budaya di dalam, ada yang nampak atau tidak nampak, itu mungkin para pakar tersebut bisa menjelaskan. Jadi, membuka ruang, membuka keingintahuan kita sekarang terhadap hal-hal itu, yang nampak di permukaan. Kawasan itu memang kawasan cagar budaya.
Pak Walikota, menyebut sendiri bahwasanya nanti di saat pembangunan ditemukan lagi ini, itu akan dipikirkan ulang lagi. Jadi, sebaiknya dari sekarang dipikirkan untuk membuka tabir dari bioradar itu sendiri. Begitu.
Siapa yang dikubur di sana? Ulama? Bangsawan?
Kalau kita melihat dari jenis batu nisan itu, yang dikubur di sana, ya jelas orang-orang tertentu. Oleh karena, batu nisan itu ada yang terukir yang sangat indah-indah dan juga ada yang polos. Kemudian di sana pun nisannya besar-besar, sudah tentu bangsawan. Kemudian keluarga dari raja-raja dan para ulama. Batu nisan bulat itu, yang tidak ada ukiran, yang polos itu, kemudian ada ornamen-ornamen sedikit di pinggirnya, sedikit di sana itu ada puncak mahkota di atas, itu ulama. Itu para ulama. Kemudian yang penuh dengan kaligrafi, penuh semua ada ornamen corak ragam. Itu dari kalangan bangsawan terutama orang-orang kerabat istana.
Jika dari bentuk nisannya, berasal dari tahun berapa makam tersebut?
Kalau dilihat itu sekitar abad-abad ke-16-17. Gampong Pande lebih tua. Abad-abad ke-16-17, dan malah ada ditemukan pada awal abad ke-16. Jadi, berakhir pada abad ke-15. Itu pernah ditemukan di Gampong Pande.
Apa catatan sejarah yang penting dari keberadaan makam tersebut?
Catatan sejarah dalam keberadaan makam ini bahwasanya di situ ada hunian yang sangat banyak dari berbagai macam bangsa yang menghuni Gampong Pande. Gampong Pande itu kan kawasan para pakar, ahli. Jadi, seluruh kegiatan dan aktivitas dari kepentingan dalam kerajaan Darussalam ini ada di Gampong Pande, karena Gampong Pande itu adalah kawasan titik nol. Kawasan kota tua Banda Aceh. Banda Aceh dulu. Jadi, Banda Aceh Darussalam dulu di Gampong Pande. Kemudian jauh ke laut sana sudah diambil, sudah dimakan oleh laut. Tinggal ini adalah mungkin komplek-komplek pinggiran dari kota tua tersebut. Terjadilah hal-hal, pemakaman-pemakaman, batu-batu nisan tersebut. Kemudian banyak benda-benda lain juga yang pernah ditemukan di situ, keramik, pondasi bangunan, dan batu-batu nisan. Kemudian dirham-dirham dari berbagai macam negara seperti Turki. Jadi, ada kehidupan yang ramailah di Gampong Pande itu semenjak dahulu. Kawasan itu memang kawasan panggung dari segala peradaban Aceh yang pernah kita kenal sekarang ini.
Apakah diperlukan penelitian lebih lanjut atau apa rekomendasi dari Cek Midi?
Ya, rekomendasi dari saya, lebih kita menjadikan kawasan tersebut menjadi taman dari sebuah ilmu pengetahuan. Taman bagi sebuah generasi baru nanti, dilakukan penelitian-penelitian. Jadi, sudah ada tempatnya yang sangat komplit. Artinya, dari berbagai macam peninggalan benda cagar budaya ditemukan di situ. Kawasan itu memang kawasan penting. Kawasan penting itu menjadi satu khasanah peninggalan masa lalu terhadap anak cucu kita yang akan datang. Mereka akan menata ini kembali. Mungkin menjadi sebuah taman ilmu pengetahuan berupa plaza dari kebudayaan yang melambangkan Aceh ini menjadi peradaban Islam yang sangat tinggi. Jadi, bisa dibuktikan di Gampong Pande tersebut. Di samping tempatnya yang begitu strategis seperti dipilih oleh kerajaan dulu karena dia berpinggiran dengan Kuala Aceh. Itu menandakan suatu kerajaan yang sangat maju.
Menjadi rekam jejak dari masa lalu.
Iya. Iya. Benar.
Terkait rencana proyek IPAL yang akan dilanjutkan di sana, apa mestinya sikap kita?
Iya, sikap kita, ya kita menghimbau kepada Pak Wali. Sikap dari Pak Wali untuk melanjutkan proyek tersebut, ya bisalah secara arif memikirkan kembali atau meriset kembali secara detil. Melakukan koordinasi-koordinasi keterkaitan dengan masalah itu. Itu kan ada undang-undang dari cagar budaya itu sendiri. Terutama kepala daerah harus merespon dengan begitu aktif terhadap pelestarian ini.
Kalau ditanya dari saya sendiri, mungkin kawasan itu lebih tepat sebagai laboratorium budaya. Sebagai tempat bahan kajian dan pengisian ilmu pengetahuan. Bukan untuk Aceh saja, tetapi untuk seluruh orang yang memiliki wawasan untuk mempelajari tentang sejarah di Asia ini.
LIA DALI