Asmiah sedang berkumpul dengan keluarga di rumahnya di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah pada sore hari tanggal 13 September 2015 ketika ia mendengar suara seperti dengungan nyamuk di kejauhan.
Hari itu, hujan turun sejak pagi hingga sore hari. Awalnya ia tidak menghiraukan suara itu, tetapi suara terdengar semakin keras.
Ketika ia keluar rumah untuk memeriksa suara tersebut, ia menemukan air dari gunung berwarna coklat pekat mengalir deras. Potongan-potongan kayu turut terbawa oleh aliran air bah tersebut. Tak lama kemudian, Asmiah juga melihat beberapa rumah hanyut dalam air tersebut.
Banjir bandang yang menerjang Kabupaten Bener Meriah tersebut merendam empat desa: Desa Pante Raya dan Desa Uning Gemile di Kecamatan Wih Pesam serta Desa Karang jJadi dan Desa Damaran Baru di Kecamatan Timang Gajah.
Tidak ada korban jiwa dalam bencana tersebut, tetapi ratusan warga harus mengungsi karena rumahnya terbawa arus. Banjir juga merusak lahan pertanian di kabupaten tersebut.
Berdasarkan Llaporan yang dikeluarkan oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kecamatan Timang Gajah dan Wih Pesam, terletak pada zona potensi gerakan tanah menengah-tinggi. Artinya dapat terjadi gerakan tanah di zona ini jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai dan lereng.
Resiko tersebut menjadi semakin tinggi karena hutan Bener Meriah mengalami deforestasi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), sekitar 21,056 hektar tutupan hutan Aceh hilang dari Januari hingga Desember 2015.
Setelah kejadian banjir tersebut, Asmiah dan sejumlah perempuan di Desa Damaran Baru memulai inisiatif untuk melindungi desa mereka dari bencana serupa. Inisiatif tersebut dimulai dari hutan di desa.
“kami ingin dapat mengelola dan menjaga hutan kampung kami sendiri dari pihak yang melakukan pembalakan liar,” kata Asmiah.
Tak lama setelah peristiwa tersebut, Yayasan HAkA mengajak kelompok perempuan di Desa Damaran Baru ini untuk membentuk lembaga pengelola hutan kampung (LPHK) dan dikenal dengan sebutan Mpue Uteun (Penjaga Hutan).
Di tahun 2019, LPHK mendapatkan izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Mereka menjadi kelompok perempuan pertama di Aceh yang menjadi lembaga penerima izin pengelolaan kawasan hutan lindung melalui skema hutan desa. lLuas hutan lindung yang dapat mereka kelola seluas 251 hektar.
Perlindungan kawasan hutan menjadi tujuan utama LPHK. Salah satu gerak nyata yang dilakukan adalah melalui konsep kelompok patroli komunitas Women’s Rangers.
Para perempuan ini bertugas melakukan patroli ke hutan lima hari dalam sebulan, mendata setiap hal yang dibutuhkan pengelolaan hutan, melakukan pembibitan serta penanaman kembali pada lahan yang telah rusak.
Program mereka juga berfokus dalam hal tata kelola kawasan hutan. Pendekatan hutan desa membuat mereka dapat memanfaatkan hutan melalui konsep ekonomi hijau.
Sejak pembentukan LPHK, mereka telah melakukan penanaman lebih dari lima ratus pohon di hutan yang telah gundul.
Pengelolaan hutan desa ini pun membuat desa mereka ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun dari luar daerah.
Kegiatan wisata ini turut menambah penghasilan warga setempat. Mereka menjadikan rumah mereka sebagai penginapan. Sebagian anggota masyarakat menyediakan jasa pandu wisata alam dan agrowisata langsung ke kebun masyarakat Damaran Baru.
Namun, kelompok ini tetap menemui hambatan dalam bertugas. Masih ada masyarakat yang dianggap belum paham fungsi hutan untuk kelangsungan ekosistem dan dampak buruk dari kerusakannya.
Deforestasi masih terus terjadi dan bahkan meningkat di Kabupaten Bener Meriah. Berdasarkan data dari Yayasan HAka, kabupaten ini kehilangan 569 hektar tutupan hutan pada tahun 2017 dan meningkat mencapai 951 hektar pada tahun 2019.
Secara umum, sekitar 60% hilangnya tutupan hutan terjadi di kawasan hutan, sedangkan sisanya terjadi di areal penggunaan lain (APL).
Manajer GIS Yayasan HAkA, Agung Dwinurcahya, mengatakan pada bulan Januari 2020 bahwa Kabupaten Bener Meriah termasuk ke daerah yang mengalami peningkatan kehilangan tutupan hutan setiap tahunnya. Secara keseluruhan, Provinsi Aceh kehilangan 15.140 hektar tutupan hutannya pada tahun 2019.
Kerusakan hutan yang terus terjadi ini menjadi alasan mereka untuk tetap mengupayakan perlindungan dan pelestarian kawasan hutan.
Bulan November lalu, anggota LPHK Damaran Baru mengikuti kegiatan konsolidasi Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam (PPSDA) yang dihadiri oleh sejumlah tokoh multi-sektor yang terlibat mengawal isu sumber daya alam.
Rangkaian pembahasan untuk menjaga hutan menjadi fokus utama dalam kegiatan tersebut. Di dalam acara yang dihadiri oleh pejabat Pemerintah Bener Meriah dan Aceh Tengah ini, mereka berkonsolidasi dan bersinergis dalam upaya pelestarian yang berkelanjutan
Asisten II Kabupaten Bener Meriah, Abdul Muis, mengapresiasi kelompok perempuan LPHK Damaran Baru. Semua paham dan setuju bahwa perempuan dan alam adalah dua bagian yang saling berkaitan dan sangat sulit untuk dipisahkan,” kata Abdul.
Ia menambahkan “perempuan dan alam adalah dua hal yang saling berkaitan serta sulit untuk dipisahkan” dan ia mengajak para perempuan untuk terus menjaga dan melestarikan hutan.
Ketua HAkA Farwiza berharap pembentukan tim penjaga hutan kaum perempuan di Kabupaten Bener Meriah mampu menginspirasi warga Aceh untuk berpartisipasi aktif dalam upaya pelestarian hutan.
Asmiah sebagai anggota LPHK berharap kelompok perempuan yang terbentuk dapat mengembalikan fungsi hutan dan melindungi sumber kehidupan secara berkelanjutan. NURUL