Pemerintah Aceh berkomitmen akan berikan akses pendidikan setara kepada penyandang disabilitas melalui pola pendidikan inklusif atau sistem layanan pendidikan yang membolehkan difabel dapat dilayani di sekolah konvensional dengan kelas reguler, sehingga mereka dapat belajar dengan aksesibilitas yang mendukung untuk semua siswa tanpa dikecualikan.
Pernyataan itu disampaikan Gubernur Aceh yang diwakili oleh Kepala Dinas Sosial Aceh Alhudri, dalam perayaan menjelang peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) tahun 2020 di Hotel Kyriad, Banda Aceh, Jum’at (27/11/2020).
Alhudri mengatakan, sebagai warga negara yang sah para penyandang disabilitas mempunyai kedudukan hukum dan hak asasi manusia yang setara dengan masyarakat Indonesia lainnya. Sehingga, dengan segala keterbatasan dan hambatannya, para penyandang disabilitas berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk kehidupan sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi termasuk dalam mengenyam pendidikan.
“Itu semua sudah ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan negara menjamin kelangsungan hidup setiap warganya, termasuk para penyandang disabilitas,” kata Alhudri.
Saat ini Pemerintah Aceh masih dalam proses tahapan persiapan pelaksanaan sistem pendidikan inklusif, sebab masih banyak problematika yang dihadapi dalam penerapan pelayanan ini, seperti keterbatasan aksesibilitas dalam bidang pendidikan karena jumlah sekolah dan keahlian guru pembimbing khusus yang tersedia masih sangat terbatas.
Walaupun penanganannya masih terbatas, kata Alhudri, pemerintah menginginkan agar guru bisa mempelajari dan memahami tatacara mengajar untuk siswa berkebutuhan khusus. Nantinya pemerintah juga akan mendukung pengembangan Sekolah Luar Biasa dangan memberikan pelatihan serta menyediakan beasiswa untuk mahasiswa/calon guru pendidikan luar biasa.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Prof. Vennetia Ryckerens Danes, yang mengatakan setiap disabilitas berhak mendapatkan perlindungan dan pemenuhan haknya sesuai dengan komitmen masyarakat dunia melalui Sustainable Development Goals atau agenda 2030.
“Yang mana pada prinsipnya ‘no one left behind’ tidak ada yang tertinggal termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, lansia, dan masyarakat rentan lainnya. Sehingga mereka harus dipastikan terjamah di dalam proses pembangunan dan pembuatan kebijakan negara,” kata Vennetia.
Ia menambahkan, agenda tersebut juga merupakan momentum strategis untuk mendorong pelaksanaan konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas di Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities).
“Indonesia juga telah ikut mengesahkan konvensi ini melalui UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang mengenai Hak-hak-penyandang disabilitas,” ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan peringatan Hari Disabilitas Internasional tahun 2020 yang jatuh pada tanggal 3 Desember tersebut mengusung tema ‘Tidak Semua Disabilitas Bisa Terlihat’.
Menurutnya, pengambilan tema itu diambil untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman kepada seluruh masyarakat bahwa tidak semua ragam disabilitas dapat diketahui dan disadari oleh masyarakat umum, bahwa selain yang terlihat secara fisik, penyandang disabilitas juga ada yang tidak terlihat secara kasat mata.
Seperti disabilitas mental, cidera otak, rusak penglihatan, gangguan neorologis, dan dsifungsi kognitif lainnya. Penyandang disabilitas jenis ini cenderung memiliki fisik layaknya orang pada umumnya namun mentalnya memiliki masalah dan perlu penanganan khusus.
Oleh karena itu, ia mengingatkan bahwa pentingnya bagi masyarakat untuk lebih menghargai para penyandang disabilitas dengan menyebarkan pesan yang jelas kepada masyarakat bahwa semua ragam disabilitas harus dapat diakomodir tanpa terkecuali baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat secara fisik.
Semua kegiatan tersebut dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan, yakni 3 M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak), sebagai upaya mencegah penularan COVID-19.