Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Aceh, Safuadi menyatakan berdasarkan indeks kemandirian fiskal (IKF) provinsi tersebut masuk dalam daerah yang masih mengandalkan transfer dana Pemerintah Pusat atau daerah belum mandiri.
“Kemandirian daerah dapat dinilai dengan Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) daerah dalam rangka mengetahui seberapa besar kemampuan daerah dalam membiayai belanja daerah tanpa bergantung pada transfer daerah,” kata Safuadi di sela-sela laporan kinerja APBN sampai dengan triwulan III tahun 2020.
Ia menjelaskan Laporan Hasil Reviu atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2018 dan 2019, BPK RI menyebutkan kesenjangan kemandirian fiskal antar daerah sangat tinggi.
Angka indeks kemandirian fiskal Tahun Anggaran 2019 memperlihatkan perbedaan indeks yang sangat mencolok antara Provinsi DKI Jakarta dengan indeks yang tertinggi
sebesar 0,7107 dengan Provinsi Papua Barat dengan indeks terendah senilai 0,0427.
Ia menyebutkan Pemerintah Aceh berada pada peringkat 29 dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia dengan indeks IKF senilai 0,1715 atau dikategorikan sebagai daerah yang belum mandiri, termasuk dengan seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh yang juga dikategorikan sebagai daerah yang belum mandiri.
Ia mengatan IKF menjadi cerminan bahwa dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota untuk membiayai belanjanya masih sangat bergantung pada transfer daerah.
Sementara untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum optimal guna diandalkan membiayai pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
“Peningkatan kemandirian Aceh juga akan menjadi salah satu indikator meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran Aceh,” katanya.
Karena itu, untuk meningkatkan kemandiran tersebut maka perlu adanya kegiatan produktif yang dapat menghadirkan nilai tambah terhadap produk-produk yang ada di Aceh.
“Aceh masih minim produk olahan, semua bahan baku dikirim tanpa adanya pengolahan yang dapat memberikan nilai tambah,” katanya.
Salah satu upaya meningkatkan PAD adalah memperbanyak kegiatan sektor produktif dan mengurangi kegiatan administrasi birokrasi.
Menurut dia kehadiran industri pengelolaha akan memberikan dampak positif pada semua sektor ekonomi yang ada di provinsi ujung paling barat Indonesia itu.
“Jika ada pengolahan maka di sana nantinya akan menyerap tenaga kerja dan memberikan nilai tambah dan ini juga akan berdampak pada PAD,” kata Safuadi yang juga Kakanwil DJBC Aceh.
Ia menambahkan Aceh memiliki potensi besar yang dapat memberikan dampak yang luar biasa jika ada industri pengolahan.
“Tidak ada cara lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketergantungan dari pusat selain menghadirkan banyak investasi dan pengolahan bahan baku menjadi barang jadi atau setengah jadi yang dapat memberikan nilai tambah,” katanya.
Pihaknya juga siap berkolaborasi dan bersinergi guna meningkatkan kemandirian Aceh dalam pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Antara