Pelaksanaan syariat Islam di Aceh berlaku sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Legalitas itu kemudian diperkuat dengan Nomor 11 Tahun 2006, yang kemudian dilaksanakan dengan aturan turunan berupa Qanun Nomor 8 Tahun 2004.
Penerapan syariat Islam sejak itu diberlakukan di Aceh kemudian tidak hanya dari sisi akidah saja, tetapi juga dari sisi ibadah dan muamalah. Namun, penerapan ekonomi syariah baru dilakukan dalam waktu dua tahun terakhir, ditandai dengan konversi Bank Aceh dari sistem konvensional ke Bank Aceh Syariah.
Dari dua dasar hukum itu kemudian diperkuat dengan dukungan dari publik di Aceh, akhirnya Bank Aceh total menggunakan sistem syariah. “Dan itu ditiru oleh banyak daerah di Indonesia, termasuk Bank NTB, termasuk Bank Nagari Sumatera Barat. Saya kira ini contoh yang baik dan perlu kita gagas ke depan,” ujar Guru Besar Ekonomi Islam UIN Ar Raniry, Prof Dr Nazaruddin A Wahid, dalam pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) yang dilaksanakan di ruang VIP Kantin SMEA Banda Aceh.
Turut hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut Area Manager Bank Syariah Mandiri, Firmansyah, dan dipandu oleh Dosi Elfian. Pengajian rutin ini dihelat secara daring dengan mengedepankan protokol kesehatan, serta disiarkan secara langsung melalui channel YouTube Glamour Pro dan Facebook KWPSI.
Konversi Bank Aceh konvensional ke sistem syariah kemudian diikuti oleh perbankan lain. Berdasarkan qanun yang telah ditetapkan, menurut Prof Nazaruddin, bank konvensional diperbolehkan membuka Unit Usaha Syariah (UUS) sebelum mengonversi sistemnya ke syariah.
“UUS itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, hanya bersifat sementara, bersifat insidental dan hanya berlaku hingga tahun 2023 saja,” kata Nazaruddin. Setelah tahun 2023, seluruh UUS di bank konvensional kemudian tidak berlaku lagi.
Lebih lanjut, Prof Nazaruddin mengatakan semua perbankan syariah yang ada di Indonesia berasal dari bank konvensional. Di kemudian hari, bank konvensional tersebut menuju sistem perbankan syariah setelah memberlakukan UUS.
“Setelah mencapai taraf tertentu, dia (bank konvensional tersebut) kemudian mengusulkan BUS, yaitu Bank Umum Syariah. Inilah yang sekarang dilakukan oleh Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Ini semua proses,” kata Nazaruddin. “Kalau sudah ada BUS, untuk apalagi labi-labi. Nggak penting lagi. BUS sudah ada, bank umum sudah ada,” lanjutnya lagi.
Meskipun demikian, Nazaruddin menjelaskan, sistem perbankan syariah yang berlaku di Indonesia berbeda dengan penerapan di Malaysia, dan Pakistan. Di dua negara tersebut sistem perbankan yang diterapkan memberlakukan windows. Artinya dalam bank konvensional diperbolehkan memberlakukan dua sistem.
“(Sementara) Kita di Indonesia tidak menganut sistem windows. Tidak boleh, kenapa tidak boleh? Karena ulama Indonesia sudah memfatwakan, kita pisahlah,” tambah Prof Nazaruddin. Dia turut mengapresiasi fatwa tersebut setelah merujuk sistem perbankan yang diberlakukan di Arab Saudi.
Menurutnya Bank Arrazi di Arab Saudi tidak hanya sudah memberlakukan sistem perbankan syariah secara menyeluruh, bahkan juga telah menerapkan pemisahan bank berdasarkan jenis kelamin. Kebijakan itu, menurutnya, belum diterapkan di Indonesia.
“Di sana ada 100 (bank untuk) cabang wanita. Jadi kalau dia nasabah wanita masuk ke cabang itu, kalau pria masuk ke (bank) cabang khusus pria,” katanya.
Penguatan sistem perbankan syariah di Aceh kemudian diperkuat lagi dengan lahirnya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang disusun sejak tahun 2005. Menurut Prof Nazaruddin, penyusunan Qanun LKS ini juga dilakukan setelah mendapat masukan dari KWPSI.
Naskah Akademik Qanun LKS tersebut kemudian dimasukkan ke Biro Hukum untuk ditelaah agar tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Setelah ditelaah secara mendalam, Qanun LKS ini baru dibahas di DPR Aceh pada tahun 2007. Namun pembahasan Qanun LKS di DPRA tidak selesai karena banyak sekali masalah yang harus diadopsi.
Dalam rapat yang berlangsung di DPRA tersebut sempat ada yang mengusulkan agar perbankan di Aceh menggunakan dua sistem, yaitu konvensional dan syariah. Akhirnya pihak pengusul Qanun LKS mengambil jalan tengah, yaitu dengan mewajibkan seluruh masyarakat Aceh untuk bertransaksi dengan sistem syariah.
“Jadi proses Qanun LKS ini panjang sekali,” kata Prof Nazaruddin.
Meskipun Qanun LKS sudah dilembardaerahkan, akan tetapi Prof Nazaruddin menyebutkan ada dua permasalahan yang kemudian muncul. Dua permasalahan tersebut adalah substansi dan teknis. Khusus untuk persoalan substansi tidak mungkin diubah. Sementara dari sisi teknis dapat diperbaiki di kemudian hari.
“Kalau teman-teman minta untuk mengubah substansi (Qanun LKS), kita harus mengubah dulu Undang-Undang Nomor 44 dan UU Nomor 11, dan itu bukan kewenangan Aceh. Itu kewenangan Jakarta,” ujarnya.
Pun begitu, Prof Nazaruddin tidak menyanggah ihwal adanya permintaan-permintaan untuk mengubah penerapan sistem perbankan syariah di Aceh. Namun menurutnya keinginan itu tidak dilandaskan pada prinsip semata, tetapi diduga ada kekuatan lain yang hadir untuk mengubah sistem perbankan syariah di Indonesia.
“Jika alasannya ke luar negeri, di Amerika Serikat saja kita sudah bisa bertransaksi dengan sistem perbankan syariah,” lanjutnya.
Kehadiran Qanun LKS turut mendapat dukungan dari perbankan yang ada di Aceh. Salah satunya adalah Bank Mandiri Group yang saat ini sudah dikonversi menjadi Bank Syariah Mandiri di Aceh.
“Bank Syariah Mandiri ini terlahir hasil konversi Bank Susila Bakti, anaknya BDN, yang dikonversi menjadi Bank Umum Syariah,” kata Area Manager Bank Syariah Mandiri Aceh, Firmansyah.
Bank Syariah Mandiri lahir pada tahun 1999, dan menjadi bank syariah kedua yang lahir di Indonesia. Saat ini, Bank Syariah Mandiri telah memiliki aset 114 Triliun Rupiah dan menjadi bank ke 16 terbesar dari seluruh bank yang ada di Indonesia.
“Untuk produk tabungan, Bank Syariah Mandiri menjadi peringkat ke enam jumlah tabungan terbesar dari seluruh bank yang ada di Indonesia,” ungkap Firmansyah.
Menurutnya jumlah tabungan ini penting lantaran menjadi indikator untuk menarik nasabah. Pencapaian ini menjadi kebanggaan bagi Bank Syariah Mandiri, lantaran baru lahir 20 tahun dan telah mampu menempati peringkat ke enam jumlah tabungan di seluruh bank yang beroperasi di Indonesia.
Saat ini, lanjut Firmansyah, Bank Mandiri Group juga telah melakukan beberapa konversi seperti portofolio kredit dan portofolio dana pihak ketiga. Tak hanya itu, pihak Bank Mandiri Group pun telah mengonversikan aset-aset dan SDM dari Bank Mandiri ke Bank Syariah Mandiri.
“(Jadi) Bank Mandiri Group dalam hal ini, sangat mendukung Qanun LKS ini. Ini sudah diputus oleh pemegang saham Bank Mandiri. Untuk portofolio Bank Mandiri sudah dikonversikan,” kata Firmansyah. “Dan proses ini sudah final, jadi tidak ditarik kembali,” lanjut Firmansyah lagi.
Firmansyah mengatakan pihak Mandiri Group juga telah mengonversikan dana senilai 1,44 Triliun simpanan masyarakat ke Bank Syariah Mandiri sejak Februari 2020. Kondisi ini membuat Firmansyah optimis bahwa masyarakat Aceh, khususnya nasabah Bank Syariah Mandiri, sangat mendukung sistem Qanun Lembaga Keuangan Syariah tersebut.
Lebih lanjut, Bank Syariah Mandiri saat ini sedang fokus pada pelayanan nasabah. Pihak Bank Syariah Mandiri juga sedang mencari padanan produk yang sejenis dengan produk di Bank Mandiri. “Kalau produknya tidak ada, kami kebut, untuk membuat produknya,” kata Firman lagi.
Dia mendukung bahwa masalah yang ada di masa mendatang adalah persoalan teknis dalam menjalankan Qanun LKS tersebut. Artinya tidak lagi berkutat pada persoalan substansi karena Bank Mandiri, BRI, dan BNI sudah final take off di Aceh.
Meskipun mendapat dukungan luar biasa dari masyarakat Aceh, akan tetapi Firmansyah mengaku ada beberapa perusahaan di daerah ini yang tidak dapat ditembus oleh perbankan syariah. Salah satunya adalah PT Pertamina Persero.
Akan tetapi setelah Qanun LKS diberlakukan, Pertamina akhirnya ikut membuka pintu transaksi SPBU dan SPBE kepada perbankan syariah. “Kita respon dengan cepat, dan alhamdulillah kita mampu membuat produk seperti bank konvensional,” ungkap Firmansyah.
Keberadaan Qanun LKS ini juga membuat Bank Syariah Mandiri membuka layanan weekend pada hari Sabtu. Hal tersebut mendapat izin dari OJK dan ini baru pertama kali dilakukan oleh perbankan syariah yang ada di Indonesia.
“Insya Allah sepanjang transaksi itu sesuai dengan nilai-nilai agama kita, tidak ada yang tidak bisa kita buat,” kata Firmansyah.
Sementara itu Ketua Kaukus Wartawan Peduli Syariah (KWPSI) Azhari atau akrab disapa Yahcut, menyebutkan pihaknya memiliki alasan tersendiri mengangkat isu implementasi Qanun LKS. “Ini masa-masa menjelang finalisasi keberadaan bank konvensional. Dengan pengajian ini, kita juga ingin memberitahukan kepada masyarakat bahwa kita sudah memiliki bank syariah, dan di Aceh sudah memiliki bank syariah,” ujar Azhari.
Dia menganggap isu ini penting bagi KWPSI karena sudah sejak awal berjuang “mengislamkan” Bank Aceh. “Jadi sekarang sudah menjadi kewajiban KWPSI untuk “mengislamkan” juga bank-bank konvensional lain yang ada di Aceh,” pungkasnya.