Ingatan Junizar kembali ke masa kecil, saat ia bersama ibundanya tengah di ladang. Dua orang dewasa menyapa ibunya: mengabarkan sesuatu yang tak ia mengerti. Tahu-tahu ibunya lunglai, jatuh dan dipapah pulang ke kampungnya di Gampong Panca, Lembah Seulawah.
“Kemudian saya ingat saya duduk di kaki ayah saya yang dibungkus batik warna kuning dan belum dikafankan.”
Junizar menceritakan kenangan tersebut di hadapan Nova Iriansyah di Pendopo Gubernur Aceh, Sabtu pertengahan Agustus 2020.
“Saya anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Mungkin usia saya sekitar 4 tahun,” kata Junizar.
Hanya dua kenangan kecil itu yang ia ingat. Ibunya lunglai mendengar ayahnya tewas tertembak. Dan saat ia duduk termenung di kaki almarhum ayahnya.
“Ayah saya Muhammad Adam. Saya anak pejuang GAM.” Ayah Junizar tewas tertembak bersama abang kandung, dua sepupu dan tiga warga Panca lainnya.
Usai itu, kehidupan kehidupan Junizar berlalu layaknya anak lain. Sekolah, pulang dan bermain. Hanya saja ia merasa butuh kasih sayang seorang ayah. Hal yang membuat ia setiap harinya menghabiskan waktu di rumah teman yang bapaknya seorang guru mengaji.
“Ayah dia seperti ayah saya. Beliau menganggap saya seperti anak sendiri,” kata Junizar.
Junizar kemudian melanjutkan SMP di sebuah panti di Banda Aceh. Saat itulah ia merasa sendiri. Tidak ada orang tua. Saat melihat orang tua kawannya datang mengambil rapor, tapi dirinya hanya diwakilkan pengasuh panti.
“Saya sedih. Saya seperti marah. Semua gara-gara konflik,” kata Junizar.
Kehidupannya seketika berubah. Sangat berbeda dengan usia sekolah dasar, saat di mana status yatim korban konflik membuat ia diutamakan dalam segala hal. Banyak yang memberikan uang. Jadi yatim membuat Junizar menjadi orang yang diutamakan. “Itu pikiran kecil saya yang nggak tahu apa-apa.”
Junizar berontak. Ia memangkas pendek rambutnya. Mirip laki-laki. Gejolak dalam hati membuat ia sangat ingin mendapat perhatian laki-laki. Hal yang membuat nilai sekolahnya jatuh drastis. Jika saat SD ia selalu mendapatkan peringkat 1, kini rangking nya turun ke angka 12. Semua gejolak itu kemudian ia catat dalam buku.
Menjadi perempuan tomboi membuat ia menjatuhkan pilihan melanjutkan SMK jurusan elektronika. Usia yang membuat ia mulai menerima keadaan. “Saya mulai ikhlas. Ini takdir, mau diulang nggak akan mungkin,” kata Junizar.
Menganggur setahun, Junizar memilih melanjutkan kuliah di Jurusan Psikologi UIN ar-Raniry. Tentu kuliah sambil bekerja. Ia harus menghidupi dirinya di Banda Aceh. Namun apa nyana, hanya bertahan empat semester ia memilih mundur. Pulang kampung merawat ibunya yang sakit. Kini ia berjualan kentang goreng di kampung halamannya di Lembah Seulawah.
Kepada anak korban konflik lainnya, Junizar berpesan untuk semangat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang tertinggi. Jangan meniru dirinya yang memilih mundur. “Saya tidak menyesal tapi menyayangkan. Ini pilihan hidup saya.”
Kata Junizar, sukses bukan dihitung dari materi. “Orang bernilai itu ketika dia berharga bagi orang di sekelilingnya. Saya bangga jadi orang yang berharga bagi ibu saya.”
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah terharu dengan kisah Junizar. Namun ia berpesan agar Junizar tidak berhenti kuliah. “Minimal selesaikan sarjana yang telah Anda mulai.” Nova meminta agar Junizar membicarakan permasalahan sekolahnya itu dengan Dyah Erti Idawati, Wakil Ketua PKK Aceh.
Nova mengapresiasi ketegaran Junizar. Titian kehidupan yang ia alami diyakini akan membuat perempuan 23 tahun itu sukses di kemudian hari. Selama ia tegar, Nova yakin tangan-tangan Tuhan akan membantu dirinya.
“Tuhan tidak akan menutup pintu tanpa membuka pintu yang lain,” kata Nova.
Senada dengan Junizar, ada Jumila, asal Bilie Aron, Glumpang Tiga Pidie. Kampungnya terkenal dengan kisah konflik Romoh Geudong.
Kisah Jumila adalah kisah sukses korban konflik yang melanjutkan kuliah di luar negeri. Ia lulus jurusan Statistika di Unsyiah. Selama kuliah ia mendapat tanggungan beasiswa Bidik Misi.
“Insya Allah tahun ini akan melanjutkan kuliah jurusan data analitik di Jerman,” kata Jumila.
Ia menyebutkan konflik bukan hanya merebut orang tua dari anak-anak. Lebih dari itu, ada kerusakan psikologi yang tak mudah diobati. Belum lagi korban yang rata-rata adalah keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Tentu kesulitan finansial membuat banyak anak dari korban konflik yang cita-cita mereka terhenti di tengah jalan.
“Banyak teman saya di Rumoh Gedung yang bahkan untuk ke Sigli saja bisa dihitung jari. Kecil kemungkinan (anak korban konflik) melanjutkan pendidikan. Mereka pintar-pintar, tapi balik lagi ke kondisi keluarga yang sangat tidak mendukung,” kata Jumila.
Ia termasuk beruntung. Mendapatkan beasiswa dan melanjutkan kuliah. Namun di balik itu, ada kesulitan lain, di mana ia harus memenuhi kebutuhan hidup dan biaya tinggal di Banda Aceh selama menempuh studi.
Oleh pemerintah Aceh, Jumila yang lulus S-2 di Jerman diberikan pendidikan dan biaya persiapan kursus bahasa Inggris. Namun ia kini dibingungkan dengan biaya perjalanan yang tak ditanggung dimuka oleh pemerintah Jerman.
Menjawab hal itu, Nova Iriansyah memerintahkan Kepala BPSDM Aceh, Saridin untuk memikirkan solusi. Mimpi Jumila harus terwujud. Ia harus berangkat dan menyelesaikan studi di Jerman.
“Kalian telah mengalami perjuangan hidup yang begitu keras. Hari ini momentum emas. Genap 15 tahun ditandatangani MoU Helsinki ditandatangani,” kata Nova. Momentum itu haruslah membuat pemerintah hadir di tengah-tengah mereka.
Nova berpesan agar seluruh anak-anak yang kini telah berusia remaja itu untuk mensyukuri hidup dan mengisi kehidupan dengan pembangunan. Mereka diajak untuk saling percaya dan menumbuhkan kasih sayang di antara sesama.
“Tidak mudah menjadi sosok seperti kalian. Kalian menghadapi kondisi yang tidak layak diterima di usia kalian itu,” kata Nova.
Pemerintah Aceh sampai sejauh ini terus melakukan berbagai upaya pemenuhan hak bagi korban konflik. Di antaranya adalah mengeluarkan Peraturan Gubernur No.330/1209/2020 Tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak Hak Korban Kepada Korban Pelanggaran HAM.
Pemerintah Aceh juga telah memberikan penyediaan layan bagi mantan kombatan GAM serta tapol-napol dan masyarakat imbas konflik. Pada perayaan 15 tahun damai, sebanyak 427 masyarakat diberikan lahan untuk bercocok tanam. []