Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haythar bercerita banyaknya tantangan merawat perdamaian Aceh yang sudah berlangsung 15 tahun. Tantangan itu berasal dari internal maupun eksternal.
“Di mana dalam masa (15 tahun) itu banyak sekali tantangan yang kami hadapi, baik tantangan internal maupun eksternal. Di antara tantangan itu adalah adanya pihak tertentu yang ingin menarik kembali Aceh dalam pusaran konflik,” kata Malik dalam kegiatan Forum Aspirasi, Jumat (14/8/2020).
Kegiatan bertema ‘Aceh Damai, Bangkit dan Maju’ yang digelar Kodam Iskandar Muda itu berlangsung di gedung Balai Teungku Umar Makodam IM di Banda Aceh. Acara tersebut dihadiri Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Hassanudin, Kapolda Aceh Irjen Wahyu Widada, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Muzakir Manaf, serta sejumlah pihak.
Dalam sambutannya, Malik tidak menyebut secara jelas siapa pihak yang ingin menarik Aceh ke pusaran konflik. Dia menyebut tantangan perdamaian itu bukan hanya terjadi di Aceh, tapi juga di tingkat pusat.
“Namun komitmen kami untuk perdamaian dan memegang teguh pada komitmen MoU Helsinki bahwa GAM telah bergabung dengan NKRI dan hanya tinggal menunggu realisasi butir-butir MoU Helsinki dapat terpenuhi seluruhnya sebagaimana yang sudah terjanjikan pada 15 Agustus di Helsinki, Finlandia,” jelas mantan Perdana Menteri GAM ini.
Malik juga bercerita soal jalan panjang merajut perdamaian antara RI dan GAM. Saat nota kesepakatan damai diteken, Malik mewakili pihak GAM serta Hamid Awaluddin, yang ditunjuk mewakili pemerintah Indonesia.
“Proses perundingan berlangsung dalam lima periode yang sulit,” ujar Malik.
Menurutnya, proses perdamaian yang difasilitasi mantan Presiden Finlandia Marti Arti Sari ini terwujud setelah Aceh dilanda tsunami pada 26 Desember 2004. Malik menyebut perundingan itu berhasil karena GAM ingin menghadirkan perdamaian di Aceh.
“Perundingan itu oleh kami pihak GAM semua dilaksanakan dengan niat baik dan tulus dengan komitmen kuat agar perdamaian bisa hadir di Aceh,” ujar Malik.
Sementara itu, Pangdam Iskandar Muda Mayjen Hassanudin mengatakan masa konflik telah berakhir sejak 15 tahun lalu dan perdamaian Aceh telah terwujud meski menyebabkan banyak korban. Dia mengingatkan harga perdamaian sangat mahal.
Dalam sejarah, masyarakat Aceh telah menerima berbagai macam ujian selama ratusan tahun, antara lain Aceh pernah mengalami sejarah keemasan kesultanan Aceh di masa Kesultanan Iskandar Muda pada awal abad ke-17 dan sebagai pusat perdagangan dan studi Islam serta selanjutnya mendapatkan julukan Serambi Mekah,” kata Hasanuddin.
Dia mengajak semua pihak bersinergi membangun Aceh yang damai, bangkit, dan maju. “Kami akan lanjutkan semangat tanah para aulia, tanah para syuhada, dan tanah para pahlawan bangsa melalui semangat kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kearifan semboyan, seperti slogan Kodam Iskandar Muda, Sanggamara: Udep Saree-Mate Syahid (hidup bersama-mati syahid),” ujarnya. Detik.