Sebelum merebaknya kasus corona di beberap negara, virus tersebut pertama kali muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. Virus ini diketahui pertama kali muncul di pasar hewan dan makanan laut di Kota Wuhan.
Orang pertama yang jatuh sakit akibat virus ini juga diketahui merupakan para pedagang di pasar Huanan Wholesale Seafood Market. Di pasar ini terdapat lebih dari 100 varietas hewan dan unggas hidup mulai dari rubah, serigala, hingga musang. Dikutip dari BBC, koresponden kesehatan dan sains BBC, Michelle Roberts and James Gallager mengatakan, di pasar grosir hewan dan makanan laut tersebut dijual hewan liar seperti ular, kelelawar, dan ayam. Mereka menduga virus corona baru ini hampir dapat dipastikan berasal dari ular. Diduga pula virus ini menyebar dari hewan ke manusia, dan kemudian dari manusia ke manusia.
Dugaan yang muncul ke publik merupakan imbas dari budaya masyarakat tionghoa yang mengkonsumsi hewan ekstrim tersebut sebagai betuk dari sebuah budaya. Budaya yang dimaksud adalah dengan mengonsumsi makanan yang langka dan tak biasa (liar) maka orang tersebut akan dianggap memiliki status sosial yang tinggi. Berdasarkan dugaan tersebut, negara besar seperti Amerika Serikat menuding Tiongkok sebagai pihak yang bertanggung jawab sebagai penyebab covid-19.
Kemunculan tudingan oleh Presiden Amerika Serikat dapat dikategorikan sebagai bentuk rasisme dimana pada dasarnya wabah merupakan sebuah musibah yang melanda umat manusia. Tindakan rasisme terhadap warga Tiongkok juga muncul di media sosial oleh segelintir orang yang belum terbuka pemikirannya. Di Indonesia sendiri sempat terjadi sebuah aksi rasisme yang mencuat di media sosial dengan melibatkan selebgram (selebriti instagram) dan Youtober terkenal di Indonesia.
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Istilah Rasis sendiri muncul dan digunakan sekitar tahun 1930-an. Pada waktu itu istilah tersebut diperlukan untuk menggambarkan “teori-teori rasis” yang dipakai orang-orang Nazi melakukan pembantaian terhadap orang Yahudi. Kendati demikian, bukan berarti jauh-jauh hari sebelum itu bentuk rasisme tak ada.
Rasis sendiri dalam istilah psikologi lebih dekat dengan istilah Stereotyping. Stereotip merupakan pendapat dari seseorang terhadap seseorang ataupun dari seseorang terhadap suatu kelompok untuk kemudian dikategorikan kedalam status sosial tertentu, misalnya orang-orang Afrika sub-sahara diklaim terlahir sebagai budak karena kutukan (biblical) dari dosa yang telah diperbuat Ham, ataupun agama Islam yang disebut sebagai agama teroris. Dalam hal ini stereotip tidak perlu bersifat aneh menyimpang. Stereotip bisa menjadi destruktif bila mengabaikan bukti realitas dan digeneralisasikan terhadap semua anggota kelompok.
Tindakan rasis terhadap masyarakat tiongkok ini bukanlah hal pertama. Pada tahun 1998, pernah terjadi serangan besar-besaran terhadap etnis tionhoa yang ada di Indonesia. Peristiwa yang merupakan momen kelam dalam sejarah Indonesia, masih menyisakan bekas luka bagi etnis tersebut, baik secara fisik maupun psikologis. Dalam peristiwa tersebut terjadi berbagai bentuk penyerangan yang secara sistematis ditujukan terhadap etnis Tionghoa. Beberapa insiden lain yang sarat dengan nuansa rasisme pun masih terjadi seperti ucapan-ucapan kasar, pengeroyokan, hingga mengintimidasi korban dengan kata-kata.
Tionghoa hingga saat ini bukan hanya merupakan permasalahan kesenjangan ekonomi sebagaimana yang lazim diangkat. Demonisasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari faktor politik dalam negeri pasca tumbangnya rezim Soekarno yang berada dalam kondisi yang tidak stabil. Dalam rangka melakukan penataan ulang atas Indonesia, salah satu fokus pemerintahan Presiden Soeharto yaitu membangun konsep identitas Indonesia, yang pada penerapannya sangat kental dengan identitas ke-Jawa-an. Hal ini dilakukan dengan cara yang cukup agresif, salah satunya melalui program transmigrasi.
Berbagai tindakan rasisme yang terjadi di masa lalu tentunya menjadi keresahan bagi warga Tionghoa. Setelah harinya Covid-19, bukan tidak mungkin sejarah akan mencatat bentuk stereotip yang baru dimana sejarah wabah covid-19 akan dikenal dengan sebutan virus china. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran masyarakat untuk tidak menilai suatu kelompok hanya karena kesalahan yang terjadi oleh segelintir orang dari kelompok tersebut. Dengan kesadaran hati dan pikiran, maka masyarakat akan dapat hidup dengan damai secara berdampingan.
Penulis : Puteri Sakinah, Mahasiswa Psikologi UIN Ar-Raniry