Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menyatakan sebanyak 59 nelayan asal provinsi ujung barat Indonesia tersebut ditahan di luar negeri di antaranya Thailand, India, dan Myanmar.
“Data terbaru yang kami peroleh, sebanyak 59 nelayan Aceh ditahan karena memasuki perairan negara tetangga,” kata anggota DPRA Iskandar Usman Alfarlaky di Banda Aceh.
Selain ditahan, menurut politikus Partai Aceh tersebut, sebanyak 14 nelayan lainnya hilang tanpa jejak sejak 2017. Mereka berasal dari Idi, Aceh Timur, melaut menggunakan kapal motor (KM) Rezeki dengan kapasitas 10 grosston atau GT.
“Dugaan sementara, kapal motor yang mereka tumpangi tenggelam. Kontak terakhir mereka di perbatasan Indonesia-Thailand. Saat itu, hanya ditemukan puing-puing kapal dan tempat ikan hasil tangkapan,” kata Iskandar.
Terkait dengan 59 nelayan yang ditahan tersebut, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh itu menyebutkan yang terbanyak ditahan di Thailand mencapai 33 orang. Sebanyak 25 orang ditahan di India dan seorang di Myanmar.
Iskandar mengatakan pihaknya terus berupaya mengadvokasi pemulangan nelayan Aceh tersebut. Bahkan sudah menyurati Kementerian Luar Negeri untuk membantu membebaskan mereka dari proses hukum di negara tetangga tersebut.
“Kami juga sudah menyurati Baitul Mal dan Dinas Sosial agar memberikan istri mereka bantuan biaya hidup. Sebab, sejak suami atau kepala keluarga mereka ditangkap, mereka hidup dalam kesulitan ekonomi,” kata Iskandar.
Iskandar mendorong pemerintah mengadakan nota kesepahaman dengan negara-negara tetangga terkait penanganan nelayan yang terdampar maupun masuk negara lain tanpa izin. Dengan nota kesepahaman tersebut nelayan Aceh tidak ditahan, tetapi dipulangkan.
“Selanjutnya juga harus dipikirkan upaya barter jika ada nelayan Indonesia yang ditahan dengan nelayan negara tetangga yang ditahan di Indonesia,” kata Iskandar. Antara