Film dokumenter karya salah seorang cameraman di Biro Humas dan Protokol Setda Aceh, Ahmad Ariska, diputar dalam International Forum on Telling Live Lessons from Disasters 2020, bertepatan dengan peringatan 25 tahun Gempa Kobe Hanshin-Awaji Jepang.
Film yang berkisah tentang mereka yang bangkit usai Tsunami itu dikerjakan Ariska bersama rekannya Shiti Maghfira.
Film berjudul “Survivor” itu terpinspirasi dari kisah Bundiyah (60 tahun) salah seorang korban tsunami Aceh, yang hidup sampai kini, bekerja sebagai pemandu wisata di salah satu situs tsunami, Kapal di Atas Rumah yang terletak di kawasan Lampulo, Banda Aceh.
Film tentang penyintas tsunami Aceh tersebut menjadi salah satu cerita tsunami terpilih dari 30 peserta berbagai negara untuk diputar sebagai salah satu karya pengingat kejadian di Kobe pada pada 17 januari 1995 silam.
Ariska mengatakan, forum yang diibuka pada Jumat (24/1/2020) dan berakhir Senin (27/1/2020), itu dihadiri oleh perwakilan beberapa negara yang pernah mengalami bencana.
Saat pembukaan, sebanyak 5 orang perwakilan negara didapuk sebagai panelis, tampil menceritakan tentang cara masing-masing daerahnya dalam menangggulangi risiko bencana, terutama pada anak anak, remaja, dan kaum muda. Salah satunya adalah Shiti Maghfira. Dia diberi kesempatan untuk mempresentasikan bagaimana cara mengedukasi anak-anak tentang bencana. Terutama terkait bencana gempa dan tsunami yang pernah melanda Aceh, 15 tahun silam.
“Anak-anak penting diberikan edukasi tentang bencana karena mereka merupakan generasi untuk masa yang akan datang,” kata Siti Maghfira.
Menurutnya, mengedukasi anak-anak sulit dilakukan jika hanya menjelaskan seperti di ruang kelas, anak-anak cenderung lebih suka dengan sesuatu hal dimana mereka bisa berekspresi. “Salah satunya seperti drama, buku cerita bergambar, nyanyian, dan film,” sebutnya di dalam yang berlangsung di Kobe, Jepang.
Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh, Muhammad Iswanto Sstp MM mengapresiasi diputarnya karya salah seorang stafnya itu.
“Tentu menjadi kebanggaan bagi kita jika memang ada karya anak Aceh yang diapresiasi dunia internasional. Alhamdulillah karya itu yang mengerjakan adalah staf di tempat kita,” kata wanto.
Pihaknya ujar wanto, memberikan ruang penuh bagi seluruh staf untuk berkarya, mengabarkan serta mempromosikan segala hal tentang Aceh kepada khalayak.