Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) Universitas UIN Ar-Raniry Banda Aceh menggelar diskusi publik dengan tema “Refleksi 43 Tahun Perlawanan Aceh”.
Agenda tersebut dalam rangka memperingati Hari Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Rabu (04/12) di ruang Theater Fisip, Gedung Fisip UIN.
Kegiatan itu digelar dengan tujuan untuk mengenang dan mengingat kembali jasa para syuhada dalam perjuangannya serta bagaimana mempersiapkan generasi Aceh untuk masa depan.
“Kegiatan juga fokus kepada pembedahan politik Tengku Hasan di Tiro selaku deklarator GAM, pada masa perjuangan beliau membawa nama Aceh, ” kata Radja Maitamalik selaku ketua panitia acara.
Dosen Fisip yang juga pemateri kegiatan itu Iping Rahmat Saputra menyebutkan sudah seharusnya rakyat Aceh menuntut pemerintah pusat untuk memberikan kebebasan yang hakiki untuk Aceh sebagaimana yang tercantum dalam MoU Helsinki.
“Sungguh sangat merugikan bagi kita rakyat Aceh jika hanya merefleksikannya , dikarenakan banyak peristiwa-peristiwa besar pada saat itu yang menjadi salah satu penyebab atas keterhambatannya Aceh untuk berkembang,” ujarnya.
Sementara itu pengamat sejarah Aceh Haekal Afifa menyebutkan bahwa sosok Hasan Tiro bukanlaah seorang jiwa pemberontak, melainkan orang yang mencintai negaranya, hal itu dibuktikan dengan menjadi penggagas yang mendirikan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia pada sebuah acara BPI ( Barisan Pemuda Indonesia )
Namun kata dia, seiring waktu berjalan banyak terjadi perbedaan pandangan atas apa yang ditetapkan oleh pemerintah pusat yang mana menurut Hasan Tiro tidak layak dijalankan. Salah satu contoh perbedaan pandangan yakni keterkaitan Pancasila sebagai dasar negara, Tiro tidak mengamini hal tersebut, karena menurutnya sebelum adanya sebuah negara masyarakat sudah duluan ada dan sudah duluan menjalankan kehidupan dengan berbagai ragamnya, kemudian barulah negara itu ada atas melalui proses perperangan dan lain sebagainy , maka tidak bisa sebuah negara menetapkan suatu ideologi dan memaksa masyarakatnya untuk patuh atas ideologu tersebut.
“Dan juga beliau menganggap bahwasanya demokrasi yg di tetapkan di indonesia adalah sistem demokrasi primitif , bukan demokrasi modern , begitulah salah satu bentuk perbedaan pandangan beliau atas kebijakan kebijakan yg di lakukan oleh pusat,” ujar Haekal.
Semntara itu Ketua Dema Fisip UIN Ozi Mahdian Putra berharap dengan adanya kegiatan ini Mahasiswa dapat mengenang bagaiman perjuangan para syuhada, mengetahui seperti apa mindset pola pikir untuk menjadi generasi selanjutnya.
“Tidak dapat di pungkiri bahwa pemuda-pemuda Aceh sekarang harus memahami dan mengetahui sejarah dan bagaimana meningkatkan strategi untuk menjadi generasi yang membanggakan,” tutupnya.