Lembaga Wali Nanggroe mempunyai posisi yang sangat penting dan strategis dalam mengawal perdamaian dan pengembangan peradaban di Aceh.
Hal demikian disampaikan PYM Malik Mahmud Al-Haytar Pada Acara Penutupan Sidang Raya Majelis Tinggi Lembaga Wali Nanggroe Aceh, Jumat, (11/10/2019).
“Mengingat begitu sakralnya kedudukan dan tanggung jawab Lembaga Wali Nanggroe dalam melanjutkan perjuangan rakyat Aceh, maka perlu adanya penguatan kerangka hukum sebagai acuan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi kelembagaan Wali Nanggroe,” ujar Wali Nanggroe.
Malik Mahmud menyampaikan terimakasih dan apresiasi kepada peserta sidang raya Majelis Tinggi Wali Nanggroe Aceh yang menyelesaikan 6 rancangan reusam.
Keenam reusam tersebut masing-masing, Rancangan reusam tentang pedoman pembentukan reusam, Rancangan reusam tentang tata tertib tuha lapan, Rancangan reusam tentang tata tertib tuha peut, Rancangan ruesam tentang tata tertib majelis fatwa, Rancangan reusam tentang pemberian gelar dan kehormatan dan Rancangan reusam tentang tata cara penetapan fatwa.
Seiring dengan pengesahan 6 rancangan reusam wali nanggroe tersebut, Wali Nanggroe berharap nantinya dapat mendorong dan memberikan motivasi terhadap kinerja para perangkat Wali Naggroe Aceh, yang dalam waktu dekat ditetapkan setelah dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi.
“Terutama dalam menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal, sehinga kehadiran lembaga wali nanggroe dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Aceh,” ujarnya.
Sidang Raya dipimpin Tgk. H. Nuruzzahri Yahya atau Waled Nu yang juga Ketua Tuha Peut Wali Nanggroe, didampingi Ketua Tuha Lapan Tgk. M. Yusuf S, Ketua Majelis Fatwa Tgk. H. M. Ali dan Katibul Wali Nanggroe Usman Umar S.Sos.
Sidang Raya diikuti seluruh unsur Majelis Tinggi Wali Nanggroe yang terdiri dari Tuha Peut (7 orang), Tuha Lapan (38 orang) dan Majelis Fatwa (23 orang). ADV