Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh bersama unsur masyarakat sipil maupun pemerintah menyusun kertas kerja terkait kelanjutan moratorium izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara.
Penyusunan kertas kerja tersebut dibahas dalam workshop yang diselenggarakan GeRAK Aceh, di hotel Kriyad Muraya Banda Aceh, Rabu (11/9).
Kadiv Kebijakan Publik dan Anggaran GeRAK Aceh, Fernan mengatakan, kertas kerja ini nantinya berisikan rekomendasi tentang kelanjutan moratorium tambang Aceh, yang kemudian diserahkan kepada Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.
“Dalam kertas kerja ini nantinya akan ada rekomendasi strategis kepada Gubernur Aceh untuk bahan pertimbangan melanjutkan moratorium tambang,” kata Fernan dalam keterangannya.
Untuk diketahui, Ingub Aceh nomor 05/INSTR/2017 yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf tentang perpanjangan moratorium izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara sudah berakhir pada 15 Juni 2018 lalu. Namun, hingga saat ini belum dilalukan perpanjangan.
Fernan menyampaikan, alasan penyusunan kertas kerja ini dirasa perlu karena perpanjangan moratorium dinilai sangat tepat untuk saat ini sebagai salah satu solusi perbaikan tata kelola atau menjaga sumber daya alam Aceh.
Fernan mengatakan, Ingub moratorium tambang ini perlu dilanjutkan mengingat masih perlunya pembenahan secara menyeluruh terkait perizinan, apalagi diduga kuat adanya indikasi jual beli Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Karena itu, Plt Gubernur Aceh secepatnya mengeluarkan Ingub perpanjangan tentang moratorium tambang tersebut,” pintanya.
Dalam workshop ini, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Mahdinur menuturkan bahwa ada beberapa dampak dari berlakunya moratorium tambang tersebut, baik itu positif maupun negatif.
Mahdinur menyebutkan, dampak positifnya antara lain pemerintah dapat melakukan evaluasi dan verifikasi izin secara menyeluruh. IUP bermasalah dan yang tidak bermasalah bisa dapat terverifikasi.
“Tunggakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga dapat dihitung dan ditagihkan kepada pemegang IUP,” sebut Mahdinur.
Kemudian, dampak negatifnya yakni akan terhentinya investasi sektor mineral logam dan batubara di Aceh. Dengan adanya pertambangan juga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi Aceh. Dan jika ada moratorium maka pertumbuhan ekonomi sektor tambang dapat terhenti.
Selanjutnya, pendapatan daerah sektor tambang hanya bergantung pada 1-2 IUP yang aktif (sampel IUP batubara di Meulaboh). Beberapa lokasi tidak dapat mengajukan izin, menimbulkan maraknya PETI khususnya komoditas emas dan gelana.
Namun, Mahdinur menegaskan, dalam hal ini dirinya bukan tidak setuju adanya kebijakan tentang kelanjutan moratorium pertambangan.
“Disini saya bukan menolak perpanjangan moratorium pertambangan, tapi intinya sebelum itu dilakukan, sama-sama kita diskusikan dulu,” tuturnya.
Mahdinur menambahkan, pelaksanaan moratorium pertambangan selama ini telah menghasilkan beberapa capaian yakni telah melakukan evaluasi terhadap IUP yang tidak memenuhi kewajibannya. 98 IUP telah dilakukan pengakhiran pada Agustus 2018 lalu. Untuk saat ini hanya ada 26 IUP yang masih aktif hingga september 2019 (24 IUP Operasi Produksi (OP) dan 2 IUP eksplorasi.
Dari 24 IUP OP, hanya dua IUP yang melakukan kegiatan OP, sedangkan 22 lainnya belum beroperasi karena terkendala oleh peraturan dan permasalahan ekonomi tambang lainnya.
22 IUP yang tidak melakukan kegiatan OP tetap melaksanakan dan melaporkan kegiatan lingkungannya. 80 persen IUP OP itu telah menempatkan jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang.
Dinas ESDM telah melakukan tata kelola pertambangan melalui pembinaan dan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Dan, sampai saat ini belum mengeluarkan izin untuk mineral logam dan batubara, kecuali lzin untuk Komoditas Batuan (Galian C),” pungkas Mahdinur.