Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh meminta polisi menjerat pimpinan pesantren yang diduga mencabuli belasan santrinya agar diproses sesuai dengan undang-undang perlindungan anak. Hukuman penjara dinilai lebih pantas diterapkan daripada hukuman cambuk.
Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, mengatakan kasus pelecehan seksual terhadap anak di Lhokseumawe tidak digiring ke Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dengan ancaman hukuman cambuk. Hal itu dinilai tidak memberi efek jera terhadap kedua pelaku.
“Pasal 47 Qanun Jinayah adalah pelecehan seksual yang korbannya secara umum, yang kemudian jangan serta-merta pasal ini bisa dilekatkan kepada pelaku seksual yang korbannya adalah anak,” kata Syahrul dalam keterangan kepada wartawan, Jumat (12/7/2019).
Dilihat detikcom, Pasal 47 Qanun Jinayah berbunyi ‘Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan’.
Menurut Syahrul, jika kedua pelaku dijerat qanun jinayah, pihaknya menilai ada kesalahan pemahaman polisi terhadap aturan yang berlaku. Indonesia, jelasnya, telah sepakat bahwa kejahatan terhadap anak adalah extraordinary crime, termasuk kejahatan seksual terhadap anak.
“Makanya dilahirkanlah aturan khusus untuk melindungi anak melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini telah mengalami dua kali perubahan,” jelasnya.
“Jika kasus ini ditangani dengan undang-undang perlindungan anak, hukuman yang akan didapatkan oleh pelaku bisa saja sampai dengan 15 tahun penjara dan dendanya juga lebih besar,” ungkapnya.
Syahrul berharap polisi yang menangani kasus anak memiliki pemahaman yang sama terhadap penerapan hukum kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, yaitu berkacamata pada undang-undang perlindungan anak.
“Jangan kemudian kejahatan terhadap anak dilihat sama dengan kejahatan yang terjadi pada orang secara umum, menurut kami ini sangat keliru dan tidak ada frame pemahaman perlindungan terhadap anak,” sebut Syahrul.
Syahrul mengaku khawatir, jika pelaku dijerat dengan qanun, banyak hak anak akan hilang. Dia menyebut seperti hak untuk pemulihan korban, hak mendapat ganti kerugian sebagai korban tindak pidana, dan hak lain yang diatur dalam undang-undang perlindungan anak.
“Saat ini kami sedang menunggu bahkan sedang mencari tahu tentang korban dan keluarga korban untuk bisa kami dampingi agar anak yang menjadi korban agar mendapatkan hak-haknya,” bebernya.
Seperti diketahui, ketua yayasan di salah satu pesantren, AI (45), dan guru mengaji, MY (26), di Kota Lhokseumawe, Aceh, ditangkap polisi. Keduanya ditangkap karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap belasan santrinya yang masih anak-anak.
“AI dan MY sudah kita amankan dan kita lakukan pemeriksaan lanjutan. Peristiwa itu terjadi di salah satu pesantren yang ada di Kota Lhokseumawe, di mana AI bertindak sebagai pimpinan pesantren, sementara MY merupakan guru di tempat tersebut,” kata Kapolres Lhokseumawe AKBP Ari Lasta Irawan didampingi Kasat Reskrim AKP Indra T Herlambang saat konferensi pers di Mapolres setempat, Kamis (11/7/2019).
Ari menyebutkan dari hasil pemeriksaan, ada sekitar 15 anak yang menjadi korban perlakuan mereka. Namun baru 5 orang yang sudah melapor secara resmi ke pihak kepolisian. Ari mengatakan pelaku bisa dijerat dengan Pasal 47 Qanun Jinayah.
“Saat akan menjalankan aksinya, tersangka tidak melakukan pengancaman, tapi memberikan doktrin-doktrin agama, sehingga para santri merasa takut apabila menolak keinginan para tersangka. Akibat perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah,” ujar Ari. detik