Pengungkapan kasus penggelapan dana beasiswa sejumlah mahasiswa di Aceh hingga kini belum tuntas. Perkara ini sudah menggelinding sejak Dirkrimsus Polda Aceh dijabat Kombes Pol Erwin Zadma. Seluruh saksi-saksi diperiksa penyidik saat Erwin menjabat. Hingga tongkat estafet berpindah ke Kombes Pol T Saladin sejak Rabu (6/1).
Hingga sekarang belum ada perkembangan signifikan terhadap proses pengungkapan kasus tersebut. Saladin berdalih, belum dilakukan pemeriksaan lanjutan karena sedang suasana Pemilihan Presiden (Pilpres) dan masuk bulan puasa.
Dia menyebutkan kasus ini sedang ditangani dan telah melakukan pemeriksaan terhadap puluhan saksi. Seperti mahasiswa penerima hingga pegawai Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh.
Ia meminta bersabar menunggu penyidik bekerja mengumpulkan data yang lengkap. Sehingga bisa dijerat semua pelaku yang diduga melakukan pemotongan. Bukan hanya sebatas penghubung kemudian tersandung delik pemerasan.
“Masih sedang berjalan, kami akan tuntaskan kasus ini setelah lebaran, intinya kasus ini tetap kami kerjakan dan maraton kami lakukan pemeriksaan dan masih terus kami lakukan pengembangan,” terang Saladin, Selasa (21/5).
Saladin pun berjanji, setelah penyidik mendapatkan bukti yang kuat atas dugaan penyelewengan dana beasiswa aspirasi tersebut, pihaknya akan menyampaikan ke publik. Saladin mengaku akan berkomitmen untuk menuntaskan perkara tindak pidana korupsi ini.
“Bersabar dulu, yang jelas ini akan kita tuntaskan, yang belum diperiksa (mahasiswa penerima) yang di luar negeri,” ucapnya singkat.
Inspektorat Aceh yang pertama sekali menemukan kejanggalan penyaluran beasiswa bersumber dari aspirasi dewan ini. Kemudian melakukan uji petik kepada sejumlah mahasiswa yang menerima. Dari hasil pengakuan mahasiswa terdapat 9 anggota dewan dari 24 orang yang mengusulkan terindikasi tersandung dugaan penyelewengan dana beasiswa.
Mereka adalah IUA yang mengusulkan beasiswa untuk 341 mahasiswa dengan jumlah anggaran Rp 7,930 miliar, YH mengusulkan beasiswa untuk 18 mahasiswa dengan jumlah anggaran Rp 534.410.000 dari partai lokal dan MS mengusulkan beasiswa untuk 54 mahasiswa dengan total anggaran Rp 1.470 miliar.
Tiga dari 9 anggota dewan yang diduga memotong beasiswa itu menampik telah melakukan pemotongan beasiswa tersebut. YH, IUA dan MS saat dikonfirmasi mengaku tidak memotong beasiswa tersebut.
Mereka berdalih, pihak legislatif tidak memiliki kewenangan untuk mengelola keuangan. Hanya bertugas mengajukan bantuan beasiswa dari dana aspirasi yang dititipkan melalui BPSDM Aceh.
Begitu juga M dari Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan 21 beasiswa dengan jumlah anggaran Rp 135 juta ikut menampik. Dia keberatan disebut telah memotong beasiswa tersebut.
“Saya saja baru tahu ada keluar uang mereka (mahasiswa) setelah kasus ini mencuat. Tidak ada pemotongan sama sekali,” kata Muhibbussubri kepada wartawan.
Sedangkan lima anggota dewan yang diduga juga memotong beasiswa tersebut belum bisa dikonfirmasi. Akan tetapi mereka pernah membantah dalam sejumlah kesempatan tentang keterlibatannya memotong beasiswa bersumber dari dana aspirasi tersebut.
Meskipun berdasarkan berkas pemeriksaan dari Inspektorat Aceh terhadap mahasiswa penerima beasiswa, nama mereka tercantum jelas. Penerima beasiswa membuat pengakuan ada sejumlah pemotongan yang dilakukan oleh penghubung yang ditunjukkan oleh anggota dewan bersangkutan.
Hingga akhirnya pihak Inspektorat melaporkan perkara ini kepada Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf pada 13 April 2018. Mendapatkan laporan itu, Gubernur Aceh berang. Ia meminta kepada penegak hukum untuk mengusut tuntas dugaan penyelewengan anggaran pendidikan tersebut.
Apa lagi saat itu sedang terjadi perang urat saraf antara eksekutif dan legislatif. Pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2018 tidak ada titik temu antara kedua lembaga negara ini.
Irwandi Yusuf selaku pemegang kekuasaan Kepala Pemerintah Aceh mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh terhadap APBA 2018. Suhu politik antara eksekutif dan legislatif saat itu semakin memanas, hingga dewan sempat mengancam bakal melakukan impeachment terhadap Irwandi Yusuf.
Meskipun rencana tersebut tidak dilakukan oleh DPRA saat itu, tetapi Ketua DPRA, Tgk Muharuddin memilih jalur hukum dengan menggugat judicial review (uji formil dan materil) terhadap Pergub No 09 Tahun 2018, tanggal 26 Maret 2018 tentang APBA 2018.
Permohonan ini kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) yang tertuang dalam putusan No:48/P-HUM/2018. Diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim pada Rabu 19 September 2018. Saat itu MA malah menghukum pemohon harus membayar biaya perkara sebesar Rp 1 juta.
Suhu politik kedua lembaga ini semakin memanas dan kasus penyelewengan dana beasiswa itu terus menggelinding. Menjadi bahan perbincangan publik di Aceh. Hingga akhirnya Irwandi Yusuf terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa 3 Juni 2018 lalu setelah salat magrib di Pendopo Gubernur Aceh.
Kasus dugaan penyelewengan beasiswa itu pun meredup usai OTT Irwandi Yusuf. Sebelumnya menjadi pembicaraan hangat, baik di kafe, media sosial hingga pemberitaan media lokal. Setelah itu teralih perhatian kepada isu penangkapan Tgk Agam, sapaan akrap Irwandi Yusuf.
Kendati demikian, Inspektorat Aceh tetap melakukan pemeriksaan ke sejumlah mahasiswa yang menerima beasiswa tersebut secara maraton. Penerima beasiswa yang berhasil diperiksa oleh Inspektorat Aceh sebanyak 200 orang lebih. Rata-rata mahasiswa yang diperiksa itu mengaku ada terjadi pemotongan dan bahkan tidak mengatahui jumlah beasiswa yang dikirim.
Kepala Inspektorat Aceh, Zulkifli mengaku, semua hasil pemeriksaan itu sudah diserahkan ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh. Pihaknya menduga ada penyelewengan dana beasiswa tersebut.
“Semua dokumen sudah diserahkan ke Ditkrimsus Polda Aceh,” jelas Zulkifli.
Zulkifli juga irit bicara. Bola panas ini kemudian dilemparkan ke Polri. Ia meminta untuk berkomunikasi dengan pihak Ditkrimsus Polda Aceh. Menurutnya, Inspektorat sudah selesai melakukan pemeriksaan dan sekarang sudah menjadi tanggung jawab penegak hukum untuk proses hukum selanjutnya.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Aceh, Mahyuzar mengaku sudah mengetahui beasiswa tahun 2017 bersumber dari dana aspirasi sarat masalah. Namun ia menyebutkan, sejak proses awal pengusulan hingga pencairan dirinya belum menjabat sebagai lembaga ini.
Ia tak menampik beasiswa itu terindikasi terjadi tindak pidana korupsi. Ini sesuai dengan temuan Inspektorat Aceh, ada 24 anggota dewan yang mengusulkan dana tersebut.
Jumlah yang diusulkan sebanyak 938 orang, terdiri 852 usulan dewan dan 86 secara mandiri. Anggaran yang dialokasikan berdasarkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) BPSDM sebesar Rp 109.326.530.100. Realiasasinya sebanyak Rp 96.060.881.083. Sedangkan alokasi dana untuk beasiswa sebesar Rp 22.317.060.600 dengan realisasi Rp 19.854.000.000 lebih.
Setelah dilakukan verifikasi oleh BPSDM, sebelumnya bernama LPSDM mahasiswa yang layak menerima sebanyak 803 orang. Jenjang pendidikan dari D3, D4, S1, S2 dan S3. Ada juga beasiswa diterima untuk dokter spesialis yang tersebar di lembaga penyelenggara pendidikan.
Permasalahan lain yang ditemukan dari hasil pemeriksaan, selain mahasiswa tidak menerima beasiswa tersebut secara utuh. Proses rekruitmen penerima juga tanpa ada kerja sama dengan rektorat tempat penerima kuliah atahu lembaga penyelenggara pendidikan.
Proses rekruitmen dilakukan oleh penghubung masing-masing anggota dewan yang mengusulkan beasiswa tersebut. Hal ini sesuai dengan pengakuan mahasiswa penerima mengaku mendapatkan beasiswa itu dari penghubung anggota dewan.
Penghubung anggota dewan itulah yang mencari dan mengambil seluruh berkas dari calon penerima beasiswa. Termasuk setelah terjadi pencairan, ada penghubung yang menyita ATM milik mahasiswa. Sedangkan untuk penerima hanya diberikan bervariasi-antara Rp 750 ribu hingga Rp 7 juta dari jumlah yang dikirim antara Rp 20 juta hingga Rp 45 juta per orang.
Sebagian lainnya langsung ditransfer ke rekening penerima, namun saat dana dicairkan penghubung langsung meminta penerima mengirim kembali ke rekening penghubung dengan jumlah bervariasi.
Namun Mahyuzar mengaku, berdasarkan informasi yang ia peroleh seluruh prosedur permohonan hingga penyaluran sudah dilakukan sesuai dengan prosedur. Semua sudah dijalankan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada di lembaga yang dipimpinnya.
“Saya ini kan baru di sini. Tetapi sepengetahuan saya semua sudah sesuai dengan prosedur,” kata Mahyuzar.
Menurut Mahyuzar, BPSDM telah menyalurkan beasiswa itu ke rekening penerima masing-masing. Kalau pun ada terjadi pemotongan, itu tidak dilakukan oleh pihak BPSDM. BPSDM mengirimkan beasiswa tersebut secara utuh ke rekening penerima masing-masing.
“Utuh dikirimkan ke rekening penerima, tidak ada pemotongan dari BPSDM,” sebutnya.
Mahyuzar menjelaskan, penyelewengan dana beasiswa tidak bisa dilihat dari satu arah saja dan hanya satu sisi. Peraturan yang mengatur distribusi beasiswa pemerintah Aceh juga harus ditelaah. Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 58 Tahun 2017 tentang Beasiswa Pemerintah Aceh belum bisa memberikan peluang kepada banyak pihak untuk mengakses beasiswa atahu dana pendidikan.
Untuk asas keadilan, Mahyuzar menyebutkan sekarang BPSDM Aceh sedang melakukan konsultasi publik hendak melakukan revisi Pergub tersebut. Sehingga revisi Pergub itu nanti seluruh warga Aceh akan mudah mengakses beasiswa dan dana pendidikan. Termasuk akan mempermudah dalam proses rekrutmen calon penerima beasiswa maupun bantuan pendidikan.
“Inilah tujuan saya dan semua pihak bisa dibantu dengan revisi. Kalau sudah direvisi akan segera kita ajukan ke Gubernur,” sebutnya.
Harapannya, kata Mahyuzar, dengan adanya revisi Pergub tersebut akan bisa mencegah terjadinya penyelewengan penyaluran beasiswa di Aceh. Sehingga semua dana pendidikan bisa diterima tepat sasaran bagi yang dibutuhkan.
Wakil Rektor III Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Alfiansyah Yulianur mengaku kasus beasiswa dari dana aspirasi dewan tahun 2017 yang menuai masalah. Pihak rektorat tidak mengetahui sama sekali pada awalnnya. Akan tetapi tiba-tiba sudah sampai pihak inspektorat Aceh memeriksa mahasiswa yang menerima beasiswa tersebut.
“Tiba-tiba meminta pihak kampus memanggil mahasiswa yang bersangkutan dan meminjam ruang di birokrat untuk itu dan selama ini mahasiswa tidak melapor,” ungkapnya.
Perkara dugaan korupsi dana beasiswa ini hingga sekarang belum ada kejelasan. Sekarang masih stagnan di Ditkrimsus Polda Aceh. Bola panas dugaan pemotongan beasiswa itu sekarang berada di penegak hukum.
Kesaksian Penerima Beasiswa
Y, satu dari ratusan penerima beasiswa. Ia tak menyangka, beasiswa yang diterima dari dana aspirasi itu berbuah pahit. Nikmat yang diterima tak seberapa, namun masalahnya luar biasa.
Berharap bisa menambah biaya untuk kuliah, ternyata pupus seketika. Alih-alih mendapatkan dana yang besar dengan jumlah utuh, malah menerima Rp 750 ribu rupiah dari Rp 20 juta beasiswa yang telah dicairkan awal tahun 2018 lalu.
“Hanya Rp 750 ribu yang saya dapat, lainnya dipotong bang, janjinya dulu bagi dua,” ungkapnya lirih, Senin (11/3).
Tak pernah terbesit di benak Y untuk mengusulkan beasiswa yang kemudian menyeretnya dalam lingkaran gelap dana aspirasi anggota dewan. Hingga dipanggil oleh Inspektorat Aceh untuk menjalani uji petik dugaan penyelewengan beasiswa dari dana aspirasi DPRA.
Seumur hidup ia mengaku tak pernah bermimpi mendapatkan beasiswa ini jika hasilnya begini. Y pun berkisah bagaimana awal mula beasiswa itu ia peroleh.
Suatu hari ia diajak rekan-rekannya nongkrong di kafe di dekat kampus yang ada di Kota Banda Aceh bersama rekan seindeks, melepas penat setelah bergelut dengan perkuliahan. Dan hal seperti itu kerap dilakukan mahasiswa di Aceh.
Sesampai di kafe, tiba-tiba ada yang menawarkan beasiswa oleh rekannya yang belum dikenal. Mulanya ia menolak. Ia berpikir terlalu rumit mengurus segala administrasi.
Apa lagi dia baru semester pertama kuliah saat itu. Namun setelah dijelaskan persyaratan ternyata sangat mudah dan ada orang yang mengurus, hatinya pun luluh dan menerima tawaran itu.
Sebenarnya beasiswa itu bukan hendak diberikan kepada Y. Tetapi kepada rekannya yang baru dikenal saat nongkrong di kafe itu juga. Karena tidak cukup syarat, ditawarkan kepada Y.
“Setelah dijelaskan syaratnya, ya saya terima saja, kebetulan lagi butuh juga, dan kawan gak cukup syarat, karena diploma tiga,” ungkapnya.
Masih kata Y, perjanjian awal cukup manis. Bila nantinya beasiswa itu disetujui, maka akan dibagi dua dengan mahasiswa yang tidak memenuhi syarat tersebut.
Namun semua itu hanya omong-kosong belaka. Setelah beasiswa ditransfer ke rekening milik Y sebanyak Rp 20 juta. Malah Y diminta oleh penghubung berinisial RS mentransfer uang ke rekeningnya sebesar Rp 18,5 juta dan Y hanya menerima Rp 1,5 juta saja.
Y sempat berang. Ia protes akan permintaan itu. Bahkan ada rencana tidak mau menstransfer. Tapi si penghubung tersebut tidak berhenti di situ, setiap saat ia menghubungi Y.
Bahkan Y mendapat ancaman dari penghubung. Bila tidak ditransfer akan didatangi sampai ke rumah untuk menagih uang Rp 18,5 juta itu. Akhirnya Y pun tak punya pilihan lain, mentransfer uang yang diminta penghubung.
“Tiba-tiba dibilang, transfernya Rp 18,5 juta ya ke abang. Saya bilang kok kek gitu,” ungkapnya.
Y hanya menerima Rp 1,5 juta. Lagi-lagi Y harus berbagi dengan rekannya lagi yang gagal mendapatkan beasiswa, yang tidak cukup syarat itu. Alhasil, dia hanya mendapatkan Rp 750 ribu dari Rp 20 juta masuk ke rekeningnya.
Merdeka.com mendapatkan berita acara konfirmasi uji petik dari Inspektorat Aceh. Pemotongan beasiswa dari dana aspirasi 2017 itu bervariasi. Setidaknya tercantum 200 dokumen lebih hasil konfirmasi tercatat, penyelewengan dana pendidikan itu terjadi.
Menurut sumber merdeka.com pemberi dokumen itu di Banda Aceh. Semua dokumen diperoleh dari orang dalam di Inspektorat Aceh. Dokumen itu hasil uji petik dari Inspektorat Aceh yang dilakukan pemeriksaan sejak awal Maret 2018 lalu. Dia juga memberikan sejumlah dokumen dan saksi lainnya. Dokumen yang menunjukkan dugaan keterlibatan 9 anggota dewan itu diduga melakukan penyelewengan dana beasiswa tersebut.
Diduga pola pemotongan dana beasiswa dilakukan oleh penghubung yang bertugas menjaring mahasiswa calon penerima.
Setelah ada calon penerima beasiswa diminta untuk melengkapi persyaratan penerima beasiswa. Cara ini dilakukan oleh penghubung agar gampang dipotong setelah dikirim ke penerima.
Setiap anggota dewan diduga memiliki beberapa orang penghubung. Penghubung yang memiliki peran penting untuk menjaring penerima beasiswa tersebut. Jadi, beasiswa itu tidak diberitahukan secara umum, tetapi secara tertutup.
Adapun persyaratan yang diminta seperti surat aktif kuliah, transkrip nilai, buku rekening bank, kartu mahasiwa dan surat permohonan. Semua dokumen itu diserahkan kepada penghubung. Kemudian penghubung yang membawa dokumen itu untuk diusulkan sebagai penerima beasiswa.
Berdasarkan dokumen berita acara hasil konfirmasi dimiliki merdeka.com dari Inspektorat Aceh penerima beasiswa, mahasiswa penerima beasiswa hanya mendapatkan antara Rp 2,5 juta hingga Rp 7 juta dari Rp 20 Rp 35 juta yang dikirimkan. Meskipun ada juga pengakuan penerima saat ditemukan menerima utuh.
Hampir ratarata penghubung yang ditunjuk pengusul adalah orang terdekat dari anggota dewan pemilik dana aspirasi tersebut. Ada yang menunjukkan orang dekat, saudara, adik ipar bahkan ada yang menunjukkan anak kandungnya sendiri menjadi penghubung. Penghubung inilah kemudian mencari penerima beasiswa dan bertugas untuk memotong setelah dana dikirim ke rekening penerima.
Ada dua modus penghubung memotong dana beasiswa tersebut. Pertama semua buku rekening dan ATM serta pin dipegang oleh penghubung. Hingga sekarang buku rekening milik penerima yang diambil belum dikembalikan.
Setelah dana dicairkan ke rekening. Penghubung yang menarik dana tersebut, setelah dipotong dengan jumlah bervariasi. Baru kemudian penghubung menyerahkan dana tersebut ke penerima secara cash.
Rata-rata penghubung menyerahkan uang itu kepada penerima di kafe yang ada di seputaran Banda Aceh. Ada juga diantar langsung ke rumah penerima oleh penghubung. Bahkan penghubung diminta untuk tidak memberitahukan kepada rekan-rekannya yang dikenal, kalau dana tersebut sudah cair.
Bagi penerima yang belum memiliki buku rekening. Penghubung meminta kepada penerima untuk membuat rekening dan ATM di Bank Aceh. Buku rekening dan ATM itu memang dikhususkan untuk menerima beasiswa.
Hal Ini dibenarkan oleh seorang penerima beasiswa lainnya yang ditemui mereka.com. Mahasiswa yang tak bersedia disebutkan namanya itu mengaku, diminta oleh penghubung berinisial Z untuk membuka rekening baru.
“Iya, kami diminta buat rekening baru,” ungkapnya.
Mahasiswa yang masih berusia 21 tahun itu, kuliah di kampus negeri di Aceh ini mengaku juga kaget saat diminta buku rekening, ATM berserta pin. Namun dia tak punya pilihan lain, sehingga apa yang diminta oleh penghubung terpaksa diberikan.
Meskipun mahasiswa ini merasa keberatan untuk memberikan itu. Namun dia berpikir, buku rekening itu tidak ada saldo lain, selain untuk keperluan pengiriman dana beasiswa. Sehingga ia pun memberikan kepada penghubung yang berinisial Z tadi.
Dia mengaku, saat hendak membuat rekening bank Aceh. Teller sempat mempertanyakan keperluan rekening tersebut. Setelah dijelaskan untuk keperluan beasiswa. Teller bank Aceh sempat mengingatkan agar tidak memberikan buku rekening dan ATM kepada siapapun, termasuk kepada orang yang mengurus beasiswa itu.
“Orang teller bank bilang, dulu pernah terjadi. Dibilang jangan kasih buku rekening dan ATM kepada siapapun. Buku itu sampai sekarang belum dikembalikan,” jelasnya.
Modus kedua, buku rekening dan ATM tetap dipegang oleh penerima beasiswa. Sebelum dana itu cair, mereka selalu diawasi. Baru kemudian setelah dana sudah dikirim. Penghubung langsung menghubungi penerima untuk meminta agar ditransfer sejumlah uang yang hendak dipotong itu.
Bahkan penerima sempat diancam, bila tidak ditransfer akan menjemput langsung ke rumah untuk meminta dana tersebut. Penerima yang mayoritas masih mahasiswa semester awal pun merasa ketakutan, sehingga langsung mengirim uang tersebut ke rekening penghubung.
Hal ini seperti diakui oleh penerima berinisial IM yang hanya menerima uang sebesar Rp 5 juta dari Rp 20 juta yang cair. Sisa Rp 15 juta diminta untuk ditransfer ke penghubung.
Pada saat mengusulkan beasiswa, IM selalu berkomunikasi dengan penghubung berinisial F. Penghubung ini punya kedekatan dengan anggota dewan yang mengusulkan dana pendidikan itu. Mereka juga berasal dari daerah yang sama, yaitu dari Kabupaten Aceh Timur.
Sesama penghubung pun saling berebutan untuk mengambil dana yang harus ditransfer itu dari penerima. Seperti diceritakan IM, saat dana sudah cair, penghubung F dan RS yang se-daerah dengan anggota dewan berebutan mengambil uang dari IM.
Penghubung F meminta kepada IM untuk diberikan kepadanya. Namun F terlalu banyak memotong, yaitu sebesar Rp 16 juta. Maka IM menolak tawaran dari F.
Kemudian IM bertemu dengan saudara dari penghubung lainnya berinisial RS. Kata sepakat pun tercapai. Lalu IM mengirim Rp 15 juta ke rekening atas nama berinisial N.
Meskipun awalnya IM sempat menolak diminta transfer uang ke rekening penghubung N, karena merasa tidak enak. Namun penghubung N menyebutkan, segala urusan dengan penghubung F dia yang mengurus nantinya.
Setelah kejadian itu, hubungan IM dengan penghubung F sempat memburuk. Penghubung F marah karena uang itu ditransfer ke rekening N. Penghubung N ternyata bersaudara dengan penghubung RS.
“Kami bertemu di asrama. Saya bilang gak enak. Lalu kami buat perjanjian gak bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu,” jelas IM.
Kami juga menghubungi kedua penghubung yang berinisial F dan RS. Namun kedua penghubung ini menampik telah memotong sejumlah beasiswa itu.
Akan tetapi, penghubung RS mengakui bahwa nama yang disebutkan oleh IM berinisial N adalah adik kandungnya. Penghubung N juga tercantum dalam dokumen berita acara konfirmasi dari Inspektorat.
“Tidak ada itu,” kata RS melalui saluran telepon.
Begitu juga F saat ditemui di salah satu warung kopi di Ulee Kareng menampik telah memotong beasiswa itu. Dia juga menolak disebut sebagai penghubung yang bertugas memotong beasiswa tersebut.
Sementara itu merdeka.com juga mencoba konfirmasi kepada penghubung Z. Baru berhasil tersambung setelah 4 kali dihubungi. Pertamanya dia mengaku sedang berada di Aceh Singkil dan belum bersedia untuk diwawancara.
Empat hari kemudian, kami mencoba menghubungi kembali melalui saluran telepon. Saat diminta untuk bertemu, dia tidak bersedia. Dia juga menolak untuk mewawancara soal beasiswa tersebut. Dia bersikeras tidak terlibat dalam kasus tersebut. Menurut pengakuaannya ia hanya menerima beasiswa tahun 2016.
Padahal dalam dokumen diperoleh merdeka.com, jelas tercantum beberapa kali nama penghubung berinisial Z. Bahkan dalam dokumen itu, rata-rata penerima beasiswa menyebutkan penghubung Z yang menyita buku rekening, ATM serta pin.
Ini seperti diakui oleh seorang penerima beasiswa lainnya berinisial SA dan FZ. Juga tercatat dalam dokumen berita acara konfirmasi Inspektorat Aceh.
Penerima beasiswa SA dan FZ mengaku, informasi beasiswa diperoleh dari penghubung Z. Selama proses pengusulan, mereka selalu berkomunikasi dengan penghubung Z.
Buku rekening milik mereka hingga sekarang masih dikuasai oleh penghubung Z. SA dan FZ tidak berani meminta lagi buku tabungan dari Bank Aceh tersebut yang diambil sejak awal pengusulan beasiswa.
“Buku rekening masih sama dia (penghubung Z),” kata SA yang juga dibenarkan oleh rekannya FZ.
SA mengaku setelah dana beasiswa itu cair. Penghubung Z menghubunginya dan mengantar langsung ke rumah pada bulan Januari 2018 lalu. Uang sebesar Rp 3 juta dimasukkan dalam amplop. Sedangkan penerima FZ bertemu dengan penghubung Z di kafe yang berada di Jambo Tape, Banda Aceh. Dana beasiswa itu dimasukkan dalam amplop senilai Rp 4 juta.
Kedua pemerima beasiswa itu tidak mengetahui beasiswa yang sebenarnya keluar Rp 20 juta. Baru mereka mengetahui beasiswa yang sebenarnya setelah dipanggil oleh Inspektorat. Keduanya juga menampakkan pesan singkat pemanggilan pemeriksaan dari pihak Inspektorat.
Saat kasus ini sudah muncul ke publik, Inspektorat Aceh mulai memanggil sejumlah penerima beasiswa untuk dilakukan uji petik. Penghubung Z sempat melarang SA dan FZ datang bila dipanggil Inspektorat Aceh.
Namun kedua penerima beasiswa ini tidak menggubris. Mereka tetap memenuhi panggilan Inspektorat. Baru kemudian SA dan FZ selaku penerima beasiswa mengetahui dana yang cair itu sebesar Rp 20 juta.
Kedua penerima ini juga mengaku, sempat disodorkan berkas yang tidak mereka ketahui isinya oleh penghubung Z. Berkas itu ada dicantumkan materai dan mereka menandatanganinya.
“Saya enggak tahu isinya,” ungkap SA dan juga FZ di lokasi terpisah.
Hingga sekarang kasus dugaan penyelewengan dana beasiswa dari aspirasi DPRA tahun 2017 ini belum ada kejelasan. Inspektorat sudah menyerahkan seluruh dokumen kepada Ditkrimsus Polda Aceh. MERDEKA.COM