Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) akan kembali membahas Rancangan Qanun Aceh Tentang Program dan Isi siaran Lembaga Penyiaran Aceh.
Hal demikian disampaikan Ketua Pansus Qanun Iskandar Usman Alfarlaky disela-sela rapat persiapan pembahasan bersama Komisi Penyiaran Aceh di ruang Banmus DPR Aceh, Selasa (21/05).
Iskandar menyebutkan rancangan qanun tersebut sudah di masukkan dalam program legislasi tahun 2019 dan menjadi qanun inisiatif dewan.
Menurut Iskandar, saat ini pihaknya sedang menyiapkan draft dan naskah akademik untuk dibawa ke dalam sidang paripurna, sehingga bisa disahkan sebelum anggota dewan periode ini berakhir.
Iskandar mengakui adanya kekhawatiran sejumlah pihak dengan kehadiran qanun ini, akan tetapi Ia memastikan qanun yang akan dibahas tidak sama dengan qanun yang btal dibahas sebelumnya karena banyaknya penolakan dikarenakan bertolak belakang dengan unang-undang Pers.
“Tapi ini yang baru lebih flexible dan mengikuti perkembangan zaman, dan berbeda dengan qanun sebelumnya. Memang ada pro kontra sebelumnya, tapi ini baru, kita adopsi dengan aturan-aturan terbaru,” ujarnya.
Qanun yang akan dibahas kata Iskandar akan mengakomodir sejumlah keistimewaan Aceh. Misalnya terkait dengan isi siaran lokal Aceh, kekhususan Aceh, budaya Aceh yang harus ditampilkan, seperti di Jogjakarta.
“Yang tidak cocok tidak masukkan dalam qanun. Dan KPI kita mintakan pendapat di awal,” lanjutnya.
Sementara itu Ketua KPI Aceh Muhammad Hamzah mengatakan, pihaknya meminta adanya penguatan kelembagaan KPI dalam qanun penyiaran yang akan dibahas DPRA, KPI juga menyerahkan draft awal sebagai bahan masukan untuk pembahasan qanun.
Sementara pembuatan konten lokal harus sesuai dengan kearifan lokal Aceh yang menjalankan syariat Islam.
“Nanti juga dalam siaran harus ada siaran berbahasa daerah, dan lainnya, yang selama ini sebenarnya sudah berjalan di Aceh seperti azan lima waktu, tapi masih sebatas surat edaran, maka perlu diperkuat dengan qanun,” ujar Hamzah.
Hamzah mengatakan terkait pro kontra rancangan qanun tersebut pada pembahasan sebelumnya dikarenakan adanya pasal yang mengatur terkait dengan sensor. Menurut Hamzah, qanun yang akan dibahas oleh DPRA masih mengacu qanun lama, namun pihaknya minta dibuatkan yang baru seperti yang diajukan kepada DPRA.
“Karena sensor ini bertentangan dengan undang-undang pers. Karena pasca reformasi tidak ada lagi istilah sensor itu. Dan kita tadi sudah usulkan terkait penguatan kelembagaan dan sumber daya lokal di Aceh,” ujarnya.
Seperti diketahui, sebelumnya DPR Aceh juga sempat mengusulkan pembahasan Rancangan Qanun Program dan Isi Siaran Lembaga Penyiaran di Aceh yang diusulkan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Aceh dinilai berpotensi menghambat kebebasan pers. Namun rencana tersebut mendapatkan penolakan banyak pihak karena dinilai berpotensi menghambat kebebasan Pers.