Transparency International Indonesia (TI-Indonesia) bersama Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengembangkan Program Pemantauan Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik 35.000 MW.
Tujuannya, agar proses pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW dilakukan berdasarkan prinsip pengadaan bersih dan anti korupsi dan mampu meningkatkan integritas dan akuntabilitas layanan kelistrikan.
Peneliti dari TI M. Affan berharap kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang melibatkan Anggota DPR RI dan Sekjen Golkar dalam kasus PLTU Riau 1 tidak terulang lagi.
“Kasus itu menjadi bukti nyata dari rentannya sektor ketenagalistrikan terhadap tindak pidana korupsi,” ujar Affan pada kegiatan, Multi-Stakeholder Forum “Peningkatan Integritas dan Akuntabilitas sektor Kelistrikan di Aceh”, Senin (29/04).
Di Aceh sendiri kata Affan, ada sejumlah perusahaan yang terlibat dalam pembangunan kelistrikan di Aceh seperti PLN, PP, Wijaya Karya, Sumberdaya Sewatama, TSK Elektronica, China Datang Overseas Investment dan Meurubo Energi Indonesia.
Affan menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah seperti mendorong implementasi regulasi antikorupsi di sektor kelistrikan yang lebih kuat, mencegah konflik kepentingan di sektor kelistrikan dan mengkriminalisasi korupsi sektor swasta dan perdagangan pengaruh.
Sementara itu Ilyas Isti dari Ombudsman Aceh menyampaikan sejumlah problem kelistrikan di Aceh, antara lain, kesalahan foto meter yang merugikan pelanggan, luasnya areal pemadaman dan lamanya waktu, keberatan prabayar dan mahalnya biaya pemasangan 900 VA.
Seperti diketahui, untuk memenuhi kebutuhan listrik rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, Pemerintah Republik Indonesia memprioritaskan mega proyek pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas sebesar 35.000 MW sejak tahun 2015 – 20191.
Pemerintah Republik Indonesia memberikan penugasan kepada PLN dan turut melibatkan kalangan bisnis dalam pembangunan 109 proyek pembangkit listrik, yang terdiri atas 35 proyek yang dikerjakan oleh PLN dengan kapasitas total 10.681 MW dan 74 proyek yang dikerjakan oleh Pengembang Pembangkit Listrik/Independent Power Producer (IPP) dengan total kapasitas sebesar 25.905 MW.
Nilai investasi dari proyek 35.000 MW tersebut diperkirakan berjumlah Rp 1.189 Triliun. Sampai dengan akhir tahun 2018, capaian kapasitas pembangkit listrik yang terpasang sebesar 62.600 MW, lebih rendah dari target awal sebesar 77.873 MW, yang dikarenakan turut mempertimbangkan faktor pertumbuhan konsumsi listrik pada 2 tahun kebelakang yang memiliki rerata dibawah 5%, sedangkan target awal memproyeksikan angka pertumbuhan konsumsi listrik sebesar 7%2.
Besaran nilai investasi dan sebaran proyek yang sangat luas menempatkan mega proyek pembangkit listrik nasional dalam risiko korupsi yang tinggi. Potensi terjadinya korupsi tidak hanya ada di dalam proses pengadaan pembangkit listrik, tetapi juga dalam proses perjanjian kerjasama pembelian listrik (PJBL) dan manipulasi dari estimasi kebutuhan permintaan listrik.