Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh Zainal Arifin Lubis menyampaikan sejumlah kelemahan industri kreatif di Aceh saat ini sehingga membutuhkan perhatian secara bersama,
Kelemahan tersebut antara lain penggunaan teknologi yang relatif rendah, produksi yang masih relatif rendah, jangkauan pemasaran yang masih mengandalkan cara tradisional serta kapasitas SDM yang belum memenuhi dan permasalahan regenerasi.
Hal demikian disampaikan Arifin pada kegatan seminar industri kerajinan tenun songket Aceh di kantor Bank Indonesia Perwakilan Aceh, Kamis (11/04).
“Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dukungan dan sinergi seluruh pihak agar dapat kebijakan dan program yang dibangun untuk mengembangkan ekonomi kreatif dapat lebih terarah,” ujar Arifin.
Arifin mengatakan seperti halnya industri pariwisata, industri kreatif juga memiliki multiplier effect bagi perkembangan perekonomian Aceh. Bedasarkan penelitian KPJU, Aceh menurutnya memiliki beberapa industri kreatif unggulan antara lain, kain bordir, tas bordir, dan kuliner.
“Salah satu faktor pendorong ekonomi Aceh adalah industri kreatif. industri kreatif di Aceh ini sebenarnya memiliki potensi besar dan signifikan menyerap tenaga kerja. Kita ingin maju dalam berbagai aspek, oleh sebab itu hari ini kita selenggarakan seminar dan kita panggil ahlinya sehingga produk yang dihasilkan lebih berkualitas,” tambahnya.
Pada kesempatan itu Arifin juga mengajak peserta untuk serius menyimak materi dari pakar yang didatangkan sehingga kerajinan tenun songket di Aceh Besar kembali pada kejayaan nya masa lalu.
“Kita harapkan setelah seminar ini lahir pengusaha baru dari Aceh Besar.” ujarnya.
Ia menyebutkan pada tahun 1970 Aceh sempat jaya dengan tenun songket, dan salah satu tokoh nya yang sempat menerima penghargaan Upekerti dari Presiden Soeharto tahun 1991 adalah Maryamun atau Nyak Mu. Nyak Mu kata Arifin telah mewariskan keahliannya kepada para penenun di berbagai daerah seperti Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Besar dan Banda Aceh. Nyak Mu dikenal mahir menciptakan motif baru yang fenomenal dan laris sampai merambah pasar internasional.
“Tapi hari ini kerajinan tenun songket kian meredup, jumlah pengrajin terus menurun, dan produktivitas semakin tergerus. Bahkan saat ini kalau kita pesan kain tradisional maka harus menunggu dalam waktu yang lama, karena penenun hanya mampu menghasilkan 3 kain dalam sebulan. Dan hal ini tidak boleh dibiarkan, karena tenun ini merupakan warisan budaya yang harus tetap dilestarikan,” tambahnya.
Arifin mengakui kerajinan tenun Aceh masih memiliki prospek yang baik, hal itu terlihat dengan masih tingginya tingkat permintaan di pasar, oleh sebab itu pihaknya kata Arifin bersama Dekranasda dan Disperindagkop Aceh Besar akan melaksanakan beragam program untuk meningkatkan kapasitas perajin tenun songket Aceh.
“Makanya kami berharap dengan kegiatan ini para pengrajin dapat menggali ilmu sebanyak-banyaknya sehingga termotivasi untuk meningkatkan produktivitas klaster tenun songket Aceh,” ujarnya.