Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Pidie, Aceh mengusulkan agar perawat yang bertugas di rumah sakit tidak melayani pasien nonmuhrim atau lawan jenis. Aturan itu ditujukan khusus untuk perawat dan tidak berlaku bagi dokter. Lalu apa alasannya?
“Karena melihat moral anak-anak sekarang sudah tidak baik lagi, maka kita juga mencoba menyarankan sekolah yang berbasis syariat Islam. MPU berhak menyampaikan saran dan pertimbangan dalam berbagai segi, itu kewenangan MPU,” kata Wakil Ketua I MPU Pidie, Teungku H Ilyas Abdullah, saat dimintai konfirmasi, Jumat (22/3/2019).
Usulan dari ulama ini dikeluarkan untuk mencegah terjadinya perbuatan melanggar syariat Islam. Meski demikian, ulama Pidie hanya menyampaikan saran namun tindak lanjutnya ada di tangan bupati.
Sebelum mengusulkan dalam bentuk surat, para ulama telah memberi saran kepada Pemkab Pidie melalui lisan. Dalam surat itu mengatur beberapa poin, salah satunya soal perawat tidak melayani lawan jenis.
“Supaya pasien perempuan dirawat oleh perawat perempuan dan juga sebaliknya,” ungkap Ilyas.
“Sekarang kita lihat perawat banyak perempuan dan laki-laki, maka kita mencoba. Persoalan dokter itu lain. Kita belum sampai ke situ, coba dipisahkan. Misalnya yang ada dokter saraf perempuan, bagaimana tidak melayani pasien laki-laki,” jelas Ilyas.
Majelis Permusyawaratn Ulama (MPU) Kabupaten Pidie, Aceh mengirimkan surat berisi saran dan masukan kepada Bupati Pidie Roni Ahmad.
Surat bernomor 451.7/089/2019 M itu disampaikan MPU Pidie pada Selasa, 5 Maret 2019. Pada bagian perihal tertulis “penyampaian masukan dan saran”. Dalam surat itu, tertera dua poin utama dan empat sub poin.
Satu poin dalam surat bertuliskan, “Pelayanan keperawatan di rumah sakit/Puskesmas hendaknya pasien laki-laki dilayani oleh petugas laki-laki begitu juga pasien perempuan dilayani oleh petugas perempuan.”
Surat tersebut diteken tiga ulama Pidie yaitu Ketua MPU Pidie Teungku H Ismi A. Jalil, Wakil Ketua I Teungku H Ilyas Abdullah, dan Wakil Ketua II Teungku H Muhammad Amin Ibrahim. detik