LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggugat Gubernur Aceh terkait pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pembangunan PLTA Tampur-I. Gugatan dilayangkan karena kegiatan tersebut dinilai dapat mengancam keberadaan satwa.
“Kita menggugat Gubernur Aceh atas penerbitan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian IPPKH dalam rangka pembangunan PLTA Tampur-I (443 MW) seluas lebih kurang 4.407 hektare atas nama PT KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh tanggal 09 Juni 2017,” kata Kadiv Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh M Nasir kepada wartawan, Selasa (12/3/2019).
Gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh pada 11 Maret kemarin. Dalam gugatan bernomor 7/G/LH/2019/PTUN.BNA itu pada bagian klasifikasi perkara tertulis ‘hal-hal yang mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan’.
Ada empat poin tuntutan dalam gugatan tersebut, di antaranya:
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya
2. Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) Seluas ± 4.407 Ha Atas Nama PT KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh tanggal 09 Juni 2017
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) Seluas ± 4.407 Ha Atas Nama PT KAMIRZU di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh tanggal 09 Juni 2017
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini.
Walhi melayangkan gugatan itu dengan menggandeng sembilan pengacara dan bekerja sama dengan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA). Walhi menilai Gubernur Aceh telah melampaui kewenangan dan perusahaan yang ditunjuk belum melunasi kewajibannya.
Selain itu, area IPPKH disebut berada dalam kawasan zona patahan aktif. Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, area IPPKH berada dalam kawasan rawan gempa bumi, ditetapkan dengan ketentuan kawasan yang memiliki risiko tinggi jika terjadi gempa bumi dengan skala VII – XII MMI (Modified Mercalli Intensity), dan terletak di zona patahan aktif.
PLTA Tampur-I, kata Nasir, memiliki luasan genangan mencapai 4.070 hektare dengan ketinggian bendungan mencapai 193 meter. Hal itu dinilai sangat berisiko tinggi untuk hancur atau jebol jika penempatan kawasan tersebut benar-benar akan dilakukan.
“Sehingga tidak dapat diprediksi akibat yang akan terjadi apabila bendungan ‘raksasa’ tersebut tetap akan dilaksanakan pembangunannya,” jelas Nasir.
Alasan lainnya, yakni pembangunan PLTA Tampur-I juga dapat mengancam keberadaan satwa dilindungi. Selain itu, potensi konflik antara binatang buas dan masyarakat setempat diprediksi bakal meningkat dikarenakan hilangnya koridor satwa dan habitatnya.
“Pembangunan PLTA Tampur-I yang berada di kawasan hutan akan berdampak terhadap bencana alam, seperti longsor dan banjir. Potensi bencana ini tidak hanya di Gayo Lues, juga berada di Aceh Timur dan Aceh Tamiang,” ujarnya.
Nasir mengungkapkan, ancaman lain yang terjadi yaitu terhadap sumber air. Hal itu karena seluruh sumber air akan dialiri untuk memenuhi bendungan raksasa dan butuh waktu satu tahun untuk penuh.
“Sehingga selama itu pula manusia dan seluruh makhluk hidup yang berada di areal lokasi akan kehilangan sumber airnya. Potensi dampak yang akan terjadi seperti kekeringan yang berakibat kekurangan air untuk konsumsi maupun mengaliri areal pertanian dan perkebunan warga setempat dan bahkan kematian bagi manusia maupun makhluk Hidup lainnya tidak dapat dihindari,” paparnya.
Sementara itu, Pemerintah Aceh mengaku belum mengetahui adanya gugatan tersebut. detik