Komisi D DPRK Banda Aceh didesak membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki penyebab kekosongan obat di Fasilitas Kesehatan (faskes) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan di Banda Aceh.
Selain itu, Komisi D juga didesak untuk menyuarakan audit kepesertaan jumlah peserta BPJS Kesehatan di Aceh sehingga diketahui berapa jumlah rill peserta BPJS Kesehatan di lapangan.
Demikian poin-poin rekomendasi yang disampaikan oleh Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) kepada Komisi D DPRK Banda Aceh dalam forum diskusi yang diselenggarakan di gedung setempat, Rabu (06/02).
Dalam pertemuan itu MaTA menyampaikan beberapa temuan dalam pemantauan tata kelola obat yang dilakukan pada Juli hingga September 2018.
Salah satu temuannya adalah masih ada pasien peserta BPJS yang dibebankan untuk membeli obat atas biaya sendiri. Padahal berdasarkan Perpres No. 12 Tahun 2013, pasien tidak boleh dibebankan untuk membeli obat karena setiap obat yang dibutuhkan wajib tersedia di faskes.
Selama periode pemantauan, MaTA menemukan 21 pasien yang membeli obat diluar faskes atas resep yang diberikan oleh petugas medis. Pasien ini terdiri dari 11 perempuan dan 10 laki-laki dengan rentang umur 1 – 69 tahun. Adapun biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien yang membeli obat berkisar Rp8000 – Rp100.000. Hasil ini menunjukkan, manfaat jaminan kesehatan belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat sebagaiamana ketentuan.
Menanggapi hasil temuan tersebut, Ketua Komisi D DPRK Banda Aceh, Sabri Badruddin, menyampaikan apresiasi dan terimakasih atas kerja-kerja yang dilakukan oleh MaTA. “Bagi kami pemerintah, temuan MaTA ini akan menjadi masukan untuk terus memperbaiki kinerja pelayanan khususnya layanan kesehatan di Banda Aceh akan dinikmati secara maksimal oleh masyarakat.”
Disisi lain, terkait permintaan MaTA membentuk Pansus untuk menyelidiki penyebab kekosongan obat di faskes-faskes di Banda Aceh, Sabri Badruddin menyampaikan akan duduk kembali dengan anggota komisi untuk mendiskusikan lebih lanjut.
Secara prinsip, Sabri Badruddin menyebutkan bahwa Komisi D DPRK Banda Aceh sepakat dengan apa yang disampaikan oleh MaTA. “Audit kepesertaan bukan ranah kami DPRK Banda Aceh, tapi itu adalah ranahnya Pemerintah Aceh, namun secara prinsip kami sepakat itu dilakukan untuk mengetahui secara rill jumlah peserta BPJS Kesehatan yang selama ini iurannya dibayarkan oleh Pemerintah.”
Koordinator MaTA, Alfian menyebutkan Selama ini Pemerintah Aceh selalu mengalokasi anggaran rata-rata Rp500 milyar per tahun untuk membayarkan iuran jaminan kesehatan masyarakat Aceh kepada BPJS Kesehatan, tapi BPJS Kesehatan selalu mengeluhkan defisit. “Sebenarnya berapa jumlah peserta BPJS Kesehatan di Aceh yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat? Untuk itu perlu dilakukan audit kepesertaan untuk mengetahui angka pastinya”
Sementara itu, Dr. Ihsan, Wakil Direktur RSUD Meuraxa Banda Aceh menyebutkan penyebab kekosongan obat di faskes dikarenakan beberapa masalah. “Masalah utama terjadi kekosongan obat karena terkadang tidak tersedia obat di distributor sehingga hal ini mempengaruhi stok obat di faskes, namun kami selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan obat kepada pasien yang menggunakan jasa layanan di RSUD Meuraxa Banda Aceh.”
Kepala Dinas Kesehatan Banda Aceh, dr Warqah Helmi menyampaikan bahwa persoalan kekosongan obat sudah disampaikan kepada Walikota Banda Aceh. “Akar masalah kekosongan obat sebenarnya berada ditingkat pusat dan kami sudah menyampaikan hal ini kepada Walikota Banda Aceh untuk sama-sama dicarikan solusi sehingga layanan kesehatan khususnya obat-obatan tidak menjadi persoalan yang dapat menghambat layanan kesehatan di Banda Aceh.”