Belum berlalu satu hari usai tiga nama calon Sekda Aceh diumumkan oleh Tim Penilai, pada 10 Januari 2019, Taqwallah sudah “diserang.”
Putra kelahiran Lubuk Aceh Besar, 4 Mei 1964 itu, seakan-akan “kudis” berbahaya bagi Pemerintah Aceh, dan karena itu dinarasikan, agar tersingkir dari opsi dipileh, dari calon yang ada.
Posisi abdi negara yang pernah bertugas di Seunedon, Samalanga, Simeulue sebagai dokterl, yang pernah dipanggil sebatas saksi dalam pemeriksaan KPK dalam kasus OTT Irwandi Yusuf, dikesankan sebagai “aib” yang justru akan mengganggu kepemimpinan Plt Gubernur Aceh.
Aneh, setelah posisi saksi dipaksa narasikan sebagai “aib”, tapi cepat-cepat diakui bahwa seseorang tidak bisa dikatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan dan untuk itu perlu mengedepankan azas praduga tak bersalah.
Entah “syetan” apa yang merasuk, meski sadar akan pasal 1 ayat 1 KUHP, tetap saja menarasikan ala “malaikat” dengan meminjam kata etis, bahwa orang yang pernah diperiksa KPK tidak pantas dipilih menjadi Sekda Aceh.
Sebuah framing yang kasar, norak, dan terkesan mengabaikan kecerdasan Plt Gubernur Aceh, sehingga lupa bahwa framing yang salah justru dapat berbahaya kepada calon selain Taqwallah.
Mereka lupa, bahwa Nova Iriansyah juga sosok yang tegas, sekalipun tidak terlihat “se-garang” pasangannya, Irwandi Yusuf. Sebagai politisi Demokrat, Nova cukup berani mengambil keputusan berbeda dengan masukan yang diterimanya.
Publik tentu bertanya, mengapa Taqwallah, sosok yang pernah terpilih sebagai Inovator Top 9 Pelayanan Publik 2014 ini digiring untuk tidak dipilih sebagai Sekda Aceh?
Mengapa sosok yang inovasinya dipakai oleh Irwandi Yusuf, Tarmizi Karim, Zaini Abdullah, Soedarmo, lalu kembali dilanjutkan oleh Irwandi Yusuf dan kini oleh Nova Iriansyah, bahkan sejumlah provinsi pernah belajar ke Aceh tentang inovasinya, ditakuti?
Jawabannya bukan karena Taqwallah sosok yang tidak komunikatif dengan dewan, yang juga disertai sebagai argumen kelemahan Taqwallah, melainkan karena ayah yang belum dikaruniai putra dan putri ini tidak bisa diajak kompromi untuk urusan “cari proyek.”
Bayangkan, ia tidak ramah berbalas pesan dengan orang-orang yang bicara proyek. Ia tidak menerima tamu berdua saja di ruang kerjanya, ia tidak ramah dengan kerja santai, apalagi asal ABS dan cari “kambing hitam,” dan ia memang tidak ramah, bahkan dengan pengusaha yang menawarkan diri untuk membayar tiket perjalanan dan penginapannya.
Taqwallah memang sosok yang tidak ramah dengan mafia proyek dan jabatan, dan karena itu, bisa jadi segelintir orang merasa tidak ada kepentingan yang bisa disusupkan, bila Taqwallah dipilih menjadi Sekda.
Orang-orang yang terbiasa dengan urusan lobi proyek mungkin merasa kuatir, jika Taqwallah mendampingi Plt Gubernur Aceh sebagai Sekda, maka Nova akan terjaga dengan data yang benar.
Lawan-lawan politik yang sedang mengincar kelemahan dan kesilapan Nova Iriansyah bisa jadi akan kehilangan kesempatan untuk menemukan kelemahan Nova dari sisi permainan proyek, dengan begitu hanya bisa menunggu kelemahan Nova Iriansyah di luar urusan proyek, namun bisa dikaitkan dengan kejahatan jabatan.
Jika jujur menilai, mau bertanya kiri kanan kepada mereka yang pernah bergaul dengannya, maka sosok Taqwallah ternyata juga hangat, ramah, dan komunikatif.
Bahkan pengakuan rekan kerjanya, Taqwallah bisa segera ramah dan akrab dengan karyawannya, tentu usai melaksanakan tugas dengan baik, meski diawalnya ia tampil tegas dalam mengawal kerja.
Ia disebut juga akan segera bisa minum kopi bersama rekan-rekannya begitu tugas diselesaikan. Ditambahkan, dirinya kerap pula berinisiatif menghubungi rekan-rekannya untuk bersilaturahmi.
Tapi, karena posisinya sebagai Kepala Unit Kerja P2K APBA dengan peran membantu SKPA dalam hal proses, maka kepemimpinan strong adalah kebutuhan, sebab ia harus berhadapan dengan ragam “penyakit” yang sudah lama menghinggapi ASN.
“Hasilnya, Pemerintah Aceh, siapapun Gubernur dan Wakilnya, selalu berhasil menyerap anggaran di atas 70 persen, sejak 2010,” kata sosok pensiunan yang mengaku mengenal Taqwallah.
Sosok pensiunan di Bappeda ini juga menyebut, Taqwallah juga bukan pribadi yang jumawa. Dia tidak pernah melihat capaian sebagai hasil kerjanya, melainkan buah dari pencapaian SKPA, buah dari kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur. Sebab, tanpa dukungan penuh pimpinan, tanpa kesediaan SKPA, dia sebagai penjaga proses tidak bisa banyak berbuat.
Ditegaskan, sebagai penjaga proses melalui P2K APBA, Taqwallah jelas bukan komunikator ke publik, Kepala SKPA lah yang harus berkomunikasi. Di P2K APBA sendiri sudah ada TV Monitor yang bisa dipantau oleh siapapun termasuk oleh masyarakat.
Berbeda dengan posisinya sebagai Asisten Sekda Bidang Pembangunan dan Ekonomi, apapun yang dilakukan senantiasa disampaikan kepada publik melalui media.
Itulah sebabnya, kerja Taqwa sepenuhnya didedikasikan kepada pimpinan dengan cara membantu SKPA dari sisi proses, yang dia sadar betul bahwa pimpinan adalah pilihan rakyat, yang harus memimpin bagi mewujudkan visi dan misinya, dengan dibantu oleh Pimpinan SKPA berserta jajarannya.
“Mandum kana gareh,” jawabnya singkat dan menolak untuk diwawancarai Antero, karena dirinya memandang soal pemilihan Sekda sudah ada mekanismenya. “Ta preh hasilnya mantong,” sebutnya melalui melalui pesan pendek. Sosok yang tidak suka publisitas dan lebih senang kerja ini menolak wawancara.