Pemerintah Aceh telah mengakhiri 98 Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dan Operasi Produksi (OP) mineral logam dan batubara secara kolektif.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor 540/1436/2018, yang ditandatangani oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah tertanggal 27 Desember 2018.
Terkait hal ini, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mengapresiasi Pemerintah Aceh karena telah berani mencabut atau mengakhiri sebanyak 98 IUP, itu membuktikan keseriusan pemerintah untuk menjaga hutan dan lahan serta tata kelola pertambangan yang baik.
Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh Hayatuddin Tanjung mengatakan dengan dikeluarkan Surat Keputusan (SK) pencabutan tersebut maka perusahaan pertambangan tidak bisa lagi melakukan aktivitas pertambangan baik eksplorasi maupun operasi produksi.
“Patut kita apresiasi langkah baik Pemerintah Aceh ini dalam menjaga hutan dan lahan, ini merupakan salah satu komitmen untuk mewujudkan visi Aceh Green,” kata Hayatuddin Tanjung, Selasa 15 Januari 2019.
Menurut Hayatuddin, keluarnya keputusan tersebut tidak terlepas dari upaya teman-teman Civil Society Organization (CSO) yang terus mengadvokasi perbaikan tata kelola pertambangan di Aceh yang kemudian disambut baik oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh.
“Kita minta kebijakan-kebijakan yang mengedepankan keselamatan hutan dan lahan Aceh ini perlu ditingkatkan lagi sampai benar-benar tertata baik,” ujarnya.
Kata Hayatuddin, dengan dikeluarkannya keputusan tersebut maka pemerintah juga lebih mudah untuk menghitung serta menagih tunggakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini belum dibayarkan perusahaan sampai batas berakhirnya izin.
Untuk itu, GeRAK berharap Dinas ESDM Aceh terus melakukan evaluasi terhadap IUP bermasalah sampai benar-benar tertata dengan baik sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Disisi lain, GeRAK juga mendukung adanya investasi sektor Sumber Daya Alam (SDA) di Aceh, namun harus mengedepankan prinsip menjaga hutan dan lahan, serta mematuhi aturan yang berlaku, apalagi Aceh juga memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA), dimana juga mengatur tentang tata kelola pertambangan.
“Kita tetap dukung investasi di Aceh, tapi tetap patuh terhadap aturan, jangan sampai setelah digali, bencana menanti,” tuturnya.
Selain itu, GeRAK Aceh juga mendesak Pemerintah Aceh untuk melanjutkan Instruksi Gubernur tentang moratorium pertambangan yang sudah berakhir Juni 2018 lalu, ini penting untuk mencegah timbulnya persoalan pertambangan baru, sehingga tata kelola hutan dan lahan di Aceh terus dapat terjaga.
Pasalnya, dengan diperpanjang moratorium pertambangan maka akan banyak perubahan yang cukup signifikan terhadap tata kelola hutan dan lahan di Aceh.
“Tidak cukup sampai disini, jika ingin tata kelola pertambangan benar-benar baik, maka kelanjutan moratorium salah satu upaya yang sangat efektif,” pungkas Hayatuddin Tanjung.