Pemerintah Aceh mengalokasi anggaran untuk pembelian tas seminar dan pelatihan senilai Rp 21,3 miliar dalam APBA 2019. Atas hal ini, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai, hal itu merupakan pemborosan yang mana seharusnya dapat digunakan untuk hal lain seperti mengatasi masalah kemiskinan di Aceh.
“Ini memang untuk kegiatan pelatihan seluruh SKPA, ada masyarakat dan instansi pemerintah yang ikut. Seharusnya untuk instansi pemerintah tidak perlu lagi karena yang mendapat pelatihan juga bukan pegawai biasa melainkan pegawai yang memiliki jabatan,” ujar Koordinator MaTA, Alfian, Kamis (10/1/2019).
Ia menjelaskan, anggaran Rp 21,3 miliar itu jika dibeli tas seharga Rp 100 ribu maka akan ada sekitar 200 ribuan lebih peserta pelatihan. “Kita belum tahu out put-nya apa karena pelatihan ini setiap tahun dilakukan yang kalau kita lihat hanya sebagai even penyerapan anggaran,” katanya.
Pada APBA 2019 juga ada alokasi anggaran pemborosan lainnya seperti dana beban kerja untuk 4 instansi yakni Bappeda, Badan Keuangan, Badan Investasi dan Promosi serta Inspektorat Aceh yang nilainya sekitar Rp 80 miliar.
“DPRA telah menolak dana beban kerja itu dan kami sepakat karena selain itu pemborosan, bagaimana dengan SKPA yang lain yang tidak dapat dana beban kerja,” ungkapnya.
Meskipun APBA disahkan 31 Desember 2018 lalu, kata Alfian, menurut informasi yang diperoleh pada 3 Januari kemarin Sekda Aceh memanggil seluruh SKPA untuk memperbaiki Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
“Seharusnya selesai di Agustus 2018 lalu, kenapa setelah pengesahan ada perbaikan. Kita menduga ada masalah dalam perencanaan, dimana perencanaan belum selesai tapi dikejar untuk pengesahan anggaran atau tidak jatuh tempo pergub,” katanya.
Selain itu, jelasnya, alokasi anggaran perjalanan dinas di APBA tahun ini sangat boros yang nilainya mencapai Rp 448 miliar lebih untuk perjalanan dinas dalam dan luar negeri jajaran pemerintah Aceh dan anggota DPRA.
“Sejak ada dana Otsus, perjalanan dinas terus dilakukan setiap tahun tapi kita tidak melihat hasil yang signifikan dari perjalanan dinas itu khususnya yang ke luar negeri,” katanya lagi.
Menurut Alfian, seharusnya perjalanan dinas khususnya ke luar negeri dijajaki perjanjian yang telah memiliki dasar kerjasama untuk Aceh. “Jika baru menjajaki, saya pikir akan boros dan perjalanan itu akan sia-sia yang hanya menghabiskan anggaran,” jelasnya.
Lolosnya pemborosan anggaran di APBA 2019 karena lemahnya pembahasan anggaran di DPRA. “Kalau DPRA, kami lihat mereka sederhana saja, jika sudah ada dana aspirasi mereka anggap aman sehingga terkesan tidak peduli mata anggaran lain, karena ini dari dulu kami menolak dana aspirasi yang akan melemahkan pengawas dan peran DPRA sendiri,” jelasnya.
Dana aspirasi ini merupakan usulan program berdasarkan pokok pikiran dan masukan anggota dewan yang muncul dalam pembahasan anggaran anggota DPRA bersama SKPA. Nama dana aspirasi pun berubah menjadi anggaran pokok pikiran (pokir) karena mendapat kecaman.
“Anggaran pokir tahun ini untuk tiap dewan Rp 20 miliar sedangkan untuk tingkat pimpinan dapat Rp 75 miliar. Pemerintah diharapkan dapat mengefesiensikan anggaran boros di APBA 2019 yang alokasinya lebih dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan di Aceh,” harapnya.
Menurut informasi, Plt Gubernur Aceh pun sudah mengintruksikan SKPA agar adanya perbaikan. Pihaknya pun berharap hal ini benar-benar diperbaiki, bukan hanya wacana untuk memperlihatkan ke publik ada perbaikan.
“Kami akan terus pantau kedepannya hal ini dari dokumen-dokumen anggaran Pemerintah Aceh,” tutup Koordinator MaTA, Alfian. Acehbisnis